Wasripin Dan Satinah Part 5


DELAPAN
1
“PAK Modin dedengkot Golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata Renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”). Meskipun Renstra itu sudah dicabut pembuatnya baru-baru ini, tapi Renstra itu terlanjur menyebar. Alasan pencabutan: Pak Modin ialah orang Jawa, “Huruf Jawa mati bila dipangku, demikian pula Pak Modin.” (pangku adalah tanda huruf konsonan terakhir). Ketua Partai Randu setempat memberi contoh bagaimana mengusahakan elektrifikasi surau Pak Modin. “Itulah contoh yang gagal,” putus rapat Pimpinan Daerah Partai Randu. Ketika dimintai klarifikasi soal kegagalan itu, Ketua Partai Randu perkampungan nelayan menjawab, “Tunjukkan bahwa perbuatan kita tanpa pamrih. Air tuba dibalas dengan air susu.” “Ah, mbelgedes!” ujar seorang anggota Pimpinan Daerah Partai. Usaha Partai Randu supaya Pak Modin tidak jadi lurah sudah berhasil. “Tinggal langkah berikutnya untuk menggencetnya,” rapat memutuskan. Dan caranya bagaimana diserahkan kebijaksanaan Ketua Partai Kabupaten yang biasanya panjang akalnya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat menyetujuidengan aklamasi usul untuk menjadikan KH Rifa’i Kalisalak yang dibuang Belanda pada 1859 sebagai Pahlawan Nasional. Ini menyulitkan Partai Randu. Partai Randu mensinyalir pengikut-pengikut aliran Rifa’iyah kebanyakan Golput. Mengakui pendirinya sebagai Pahlawan Nasional sama dengan mengakui Golput. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Randu diundang Pimpinan Partai untuk diminta pertanggungjawaban. “Biyangane! Bikin ruwet saja,” kata Ketua Pimpinan Partai. Mereka yang diundang sepakat satu suara.
“Mengapa tidak konsultasi dengan Partai?”
“Kami yakin Partai Randu adalah partai berhati nurani.”
“Salah. Partai Randu adalah partai berkuasa.”
“Jadi Partai Randu mengingkari fakta sejarah?”
“Belum tahu, to. Kekuasaan berwenang membuat fakta?”
“Tidak bisa, fakta tetap fakta.”
“Maksudnya, faktanya dulu memang begitu. Tetapi fakta sekarang pengikutnya jadi Golput. Kami sedang memikirkan untuk mencoret nama kalian dari daftar jadi.”
“Bila Partai mencoret nama kami, kami akan menyeberang.”
“Itu baru rencana, lho?”
Untung Partai Randu masih punya kartu truf yang mujarab. Partai menghubungi angkatan bersenjata untuk mengeliminir keputusan Dewan itu. Angkatan Bersenjata memveto putusan Dewan. Dan jadilah keputusan itu hanya sebagai dokumen.
2
KEBERHASILAN menyetop usul menjadikan KH Rifa’i Pahlawan Nasional, membuka jalan lebar-lebar untuk membidik Pak Modin yang menganut Rifa’iyah. Partai Randu menghubungi Badan Pengawas Agama, minta supaya lembaga itu mengusahakan Pak Modin ditahan atau dipenjara dengan alasan apa saja.
“Bisa, bisa. Kami punya file-nya. Kapan?”
“Yang kami perlukan ialah saat-saat Pemilu.”
“Beres, beres. Tapi, yaitu, Bapak harus mengerti sendiri. Kami punya anak-isteri.”
“Pasti. Masak kami lupa sama Bapak-bapak. Edan, pa.”
Bola ada di tangan Badan Pengawas Agama. Lembaga bergerak dengan cepat. Polisi diminta mengusut perihal politisasi agama yang dilakukan Pak Modin. Benar. Dua orang intel ditugaskan untuk mengikutinya. Dalam sebuah khotbah Jum’at Pak Modin mengecam pembagian harta yang tak adil, orang yang menumpuk harta, dan pejabat yang tak amanah. Dalam ceramah di sebuah pengajian ia memuji orang-orang yang berjihad di jalan Tuhan. Ia juga diundang untuk ceramah Isra Mi’raj ke Jawa Timur, dan tidak mengusahakan ijin dari kantor Badan Pengawas Agama.
Kepala Reserse menemui Ketua Badan Pengawas Agama untuk menunjukkan hasil kerja anak buahnya. Sambil mengacungkan jempol Ketua Badan Pengawas Agama mengatakan bahwa kerja Serse bagus. Dengan bahan itu kepolisian memanggil Modin untuk interogasi. Kepala Reserse sendiri yang menginterogasi.
“Tuliskan orangtua, saudara-saudara, dan keponakanmu. Alamat, pekerjaan, afiliasi politik.”
“Kedua orangtua dan saudara-saudara semua meninggal pada waktu ada wabah cacar sesudah Kles II.”
“Anak?”
“Tidak ada.”
Selanjutnya ditanyakan betul-tidaknya pada tanggal anu di anu dia mengatakan anu, pada tanggal anu di anu dia mengatakan anu, pada tanggal anu ceramah di anu tanpa ijin yang berwewenang. “Tuliskan apa saja!” katanya pada polisi. Pak Modin sebenarnya ingin menerangkan maksud dan tujuan ceramah-ceramahnya dan alasan ia berceramah di luar, tapi diurungkannya sebab toh tidak ada gunanya menerangkan di tempat itu. Ia tahu semua pemeriksaan adalah kesengajaan: ia harus bersalah. Ia diminta untuk kembali tiga hari lagi guna menandatangani BAP (Berita Acara
Pemeriksaan), sebab ada banyak cara untuk menggagalkan rencana putusan pengadilan, tahanan, atau bahkan hukuman.
Salah satu cara itu ialah menelepon Perwira Tinggi kenalannya di Laksusda, Semarang. Ia sudah mendengar, hubungan pribadi macam itu akan lebih ampuh dari kerja intel, kepolisian, dan pengadilan. Telepon dapat menyelesaikan banyak hal. Maka dari kepolisian ia langsung pergi ke kantor telepon. Ia menceritakan aib yang baru saja menimpanya.
“Aduh terlambat tiga hari, Pak. Ada mutasi besar-besaran di instansi saya, saya ditarik ke Pusat. Mutasi akan terjadi sampai tingkat Koramil.”
“Kalau begitu, maaf.”
“Begini, Pak. Mungkin saya justeru yang perlu pertolongan. Saya sendiri sedang menghadapi kesulitan. Dituduh bersimpati dengan ekstrem kanan atau ekstrem kiri, belum tahu persisnya. Ceritanya panjang. Begini.”
“Sudah, Pak. Terima kasih. Saya ada keperluan lain.”
Ia cepat-cepat meletakkan gagang telepon, meskipun kenalannya itu masih ingin bercerita. Ia tahu bahwa telepon orang yang dicurigai disadap intel. Ke rumahnya? Ia tahu itu tak mungkin terjadi. Orang yang dicurigai rumahnya selalu diawas-awasi. Akan ada penjual bakmi tiban, gelandangan berambut pendek, penjual asuransi yang tiba-tiba nyelonong ke rumah waktu ada tamu. Menulis surat? Tidak mungkin juga. Kabarnya surat-surat dibuka amplopnya dan disensor. Tertutup sudah. Tidak ada cara lain, bisanya hanya berdoa.
3
BEBERAPA hari kemudian sebuah jip tentara datang di rumah Pak Modin, dan membawanya pergi. Teriakan isteri Pak Modin, “Jangan, jangan!” tidak digubris. Mereka hanya bilang bahwa Kodim ingin meminjamnya barang dua atau tiga hari. Setelah tentara pergi isteri Pak Modin ke surau. Di depan surau sambil menahan napasnya yang tersengal-sengal dikatakannya, “Suami saya … diciduk … Kodim.” Sebentar saja kabar bahwa Pak Modin diciduk sudah menyebar di perkampungan nelayan itu. Seperti biasa, mereka menyusun kebulatan tekad.
Lima puluhan nelayan ke Kodim. Mereka berboncengan sepeda motor dan sepeda ontel. Membawa bendera merah-putih. Orang di tepi jalan menonton. Mereka berdebat satu sama lain, “Ini rombongan pemain bola!” “Bukan, itu kampanye!”
“Bukan, itu demonstrasi!” Sesampai di markas mereka menemui prajurit piket.
“Kami ingin bertemu Pak Komandan.”
“Tidak bisa. Komandang sedang rapat.”
“Ya, kami tunggu selesainya.”
Prajurit jaga masuk ke dalam untuk melapor. Beberapa orang berseragam melihat lewat kaca jendela, “Mau apa mereka?”
Pak Modin mendapat kehormatan diperiksa langsung Komandan, karena ia pengurus veteran kabupaten.
Jadi, Komandan sudah kenal baik dengan Pak Modin. Tentara juga memberinya tempat duduk ber-ac, sofa empuk, secangkir kopi, dan sekotak gula-gula di meja.
“Ini bukan interogasi, Pak. Hanya omong-omong biasa.”
“Lakukan apa saja, Pak. Apa ini ada hubungannya dengan pemeriksaan polisi?”
“Tidak ada. Ini perintah dari atasan.”
Dengan bisik-bisik komandan itu mengatakan bahwa ada kekuatan yang dahsyat seperti benteng tak tertembus di atas sana. Dan ditambahkannya, “Ini konfidensial, lho Pak. Saya punya firasat, sebentar lagi akan dipindah. Sudah ada mutasi di tingkat propinsi.”
Ketika ada yang melapor, komandan mengatakan bahwa Wadandim dapat menemui mereka. Ketika wakil komandan datang seseorang membacakan kebulatan tekad seperti biasa, dan minta supaya Pak Modin dibebaskan. Betul, Pak Modin dibebaskan tanpa syarat. Ketika melepas Pak Modin komandan itu berbisik lagi, “Ini pekerjaan terakhir saya untuk Pak Modin.” Pak Modin diantar ke depan oleh Komandan.
4
BEBERAPA hari kemudian Pak Modin diciduk lagi. Namun, Pak Modin yakin tidak akan terjadi apa-apa. Maka, dia sudah berpesan kepada isteri dan orang surau untuk tidak bersusah payah mengurusnya. Para nelayan percaya saja dengan pesan itu, sebab ternyata Pak Modin punya banyak teman tentara. Hanya, ketika ternyata sehari ia tidak juga pulang para nelayan jadi risau. Mereka mendatangi Kodim, dengan arak-arakan yang sama. Dandim yang baru saja ditugaskan di situ menemui mereka.
“Modin bukan urusan kami, tapi urusan polisi!”
Mereka mendatangi kantor polisi. Kata Kapolres baru, “Datang saja ke kantor pengadilan!”
Di kantor pengadilan mereka diberi tahu bahwa Pak Modin adalah tahanan kejaksaan.
Mereka pergi ke kejaksaan.
“Berkasnya memang ada di sini. Tetapi, orangnya kami titipkan ke Lembaga Pemasyarakatan.”
Mereka pergi ke penjara.
“Datanglah hari Rabu, ada jam bezoek,” kata seorang sipir.
Mereka mau marah, tetapi tidak tahu marah kepada siapa. Lalu kembali. Mereka menanti hari Rabu. Mereka datang tepat pada waktunya. Ketika mereka menanyakan Pak Modin, dijawab oleh petugas bahwa Pak Modin sudah dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan di kota lain. Karena, dia tahanan politik dan lembaga itu hanya mengurusi tahanan kriminal, seperti pencuri, pembunuh, curanmor, pemerkosa, perkelahian. Tiap hari ada perkelahian, kata sipir penjara, sehingga penjara penuh. “Itu kami lakukan demi kepentingan dia sendiri, supaya bisa lebih tenang.”
Mereka mendatangi lembaga yang ditunjuk sekalipun sangat jauh.
“Terlambat jamnya. Bezoek ialah tadi pagi.”
Mereka pulang, untuk kembali pagi-pagi sekali.
“Modin sudah kami kirim kembali. Akan diadili besok pagi.”
Keesokan harinya mereka datang ke Pengadilan. Dengan bendera dan arak-arakan seperti biasa. Polisi yang sudah menduga kelakuan para nelayan sudah menjaga pengadilan.
“Kebulatan tekad, demonstrasi, arak-arakan bertentangan dengan hukum. Coba digulung bendera itu. Masuk satu per satu. Duduk yang baik. Dilarang gaduh.”
Mereka masuk. Membubuhkan nama, tanda tangan, dan meninggalkan KTP. Pak Modin yang duduk di kursi terdakwa sempat menoleh dan melihat mereka datang. Hakim, jaksa, pembela juga melihat kedatangan mereka. Kehadiran para nelayan itu memenuhi ruangan. Semula pengadilan tak mengira bahwa pengadilan Pak Modin merupakan adegan yang menarik. Kursi yang semula disediakan untuk para wartawan, dosen, dan mahasiswa terpaksa ditambah.
“Anda tahu, apa kira-kira kesalahanmu?” tanya Hakim Ketua.
“Tidak.”
“Anda tidak datang ke TPS waktu Pemilu, bukan?”
“Datang, Pak.”
“Tapi benarkah semua tanda gambar dicoblos?”
“Dari siapa keterangan itu?”
“Panitia Pemilu setempat.”
“Bagaimana mereka tahu?”
“Keberatan!” sela jaksa.
“Keberatan diterima. Apa kau menganjurkan teman-temanmu untuk berbuat sama?”
“Keberatan!” kata pembela.
“Sidang diskors seperempat jam!”
“Nanti dulu. Tidak perlu saksi-saksi?” tanya pembela.
“Tim hakim memutuskan, tidak perlu ada saksi-saksi.”
Hakim Ketua mengetukkan palu. Para hakim masuk. Nelayan-nelayan maju menyalami Modin.
Di ruangan lain hakim-hakim berdebat.
“Mengetahui Modin mencoblos semua partai itu melanggar kerahasiaan Pemilu.”
“Tentu ada perintah.”
“Dia sudah diawasi.”
“Singkatnya saja, ada surat sakti?”
Hakim Ketua menunjukkan surat, “Surat sakti ini mengatakan supaya dia ditahan. Karena ternyata dia tak bersalah, solusinya harus kita cari. Tapi jangan khawatir, sudah ada di kepala saya.”
“Sudahlah, kami setuju-setuju saja.”
Sidang dimulai lagi untuk mendengarkan putusan hakim.
“Mengingat …. Menimbang …. Memutuskan: Satu, Pak Modin bersalah karena tingkah lakunya mencurigakan. Dua, Menjatuhkan hukuman: nihil. Tiga, Pak Modin dinyatakan sebagai tahanan desa selama enam bulan. Empat,
Pak Modin dikenakan wajib lapor ke Makodim setiap dua minggu, hari Senin. Lima, selesai.”
Para nelayan bertepuk tangan. Modin akan diarak para nelayan pulang ke rumah. Sepeda motor di depan berboncengan membawa bendera merah-putih. Polisi menghadangnya. Mereka melarang arak-arakan, “Itu demonstrasi,” kata mereka. Modin diminta naik mobil polisi saja, lebih nyaman untuk tulang tua. Para nelayan menolaknya, mereka khawatir itu hanya akal-akalan polisi. “Masak kalian tidak percaya aparat,” kata polisi. “Bukannya kami tidak percaya, tapi lebih suka pulang sama-sama,” kata para nelayan. Akhirnya segalanya diserahkan Modin.
Modin tahu bahwa ia terlalu tua untuk angin sepeda motor, tapi dengan niat menuruti para nelayan, sambil mengenang petualangan masa muda, ia pun memutuskan untuk membonceng sepeda motor. Walhasil, surau mendapatkan kembali imamnya. Mereka sujud syukur.
5
LEGIUN Veteran Daerah resah. Mereka menyesali tentara, polisi, dan pengadilan. Kalau tidak ada koran mereka tidak pernah tahu bahwa Pak Modin kena perkara. Buru-buru ketua dan pengurus lainnya menemui Pak Modin di rumah. Mereka menyatakan maaf dan penyesalan yang dalam telah tidak mengetahui aib yang menimpa Pak Modin.
“Tentara ingusan, polisi gadungan, dan pengadilan pura-pura telah meludahi wajah veteran seluruhnya. Kami tidak bisa menerimanya,” kata mereka.
“Sudahlah, semuanya selesai dengan baik.”
“Tidak, Pak. Ini tak boleh terulang lagi.”
Juga ditanyakan apakah benar bahwa Pak Modin tak boleh jadi lurah, padahal rakyat menghendaki. Dengan berputar-putar, dari tidak mau, sudah terlalu tua, tak sesuai dengan irama pembangunan, akhirnya Pak Modin membenarkan dugaan itu.
Pada akhir pembicaraan, Ketua Legiun Veteran berjanji.
“Percayalah, kami akan berbuat sesuatu.”
Sungguh, Legiun Veteran Daerah menulis surat langsung ke Jalan Cempaka, kepada Presiden Sadarto. Tembusan disampaikan ke semua pejabat tinggi dan tertinggi.
Ternyata dengan sepucuk surat itu dunia terbalik. Seminggu kemudian sebuah surat balasan yang ditandatangani tangan Presiden Sadarto datang. Surat itu berisi bahwa Modin sama sekali bersih, dan pihak-pihak yang telah mencemarkan namanya diminta untuk minta maaf dan merehabilitasi namanya secara terbuka. Tembusan surat ditujukan kepada semua instansi tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan. Tentang cara permintaan maaf dan rehabilitasi tidak ada petunjuk secara spesifik. Instansi-instansi mengadakan rapat intern secara kilat.
Keesokan harinya, semua instansi tingkat kecamatan memasang iklan permintaan maaf, menyatakan Pak Modin bersih, dan berhak memangku jabatan apa saja. Kodim, Kapolres, Ketua Pengadilan tingkat kabupaten datang
ke rumahnya. Demikian pula pimpinan kecamatan. Khusus Camat, ia membawa surat Bupati yang menetapkan Modin adalah lurah definitif. Camat juga memerlukan datang ke kantor kalurahan, dan menyatakan bahwa sejak waktu itu mereka punya lurah baru: Pak Modin.
Pak Modin ingin menolak jabatan itu, tapi para nelayan akan kecewa. Ia pun resmi jadi lurah, bukan Kepala Desa Rakyat. Rencana Peraturan Desa pertama yang dibuatnya ialah soal pembatasan umur lurah. Seseorang harus berhenti jadi lurah pada umur enam puluh lima tahun, tidak ada perkecualian. Semua anggota Lembaga Musyawarah Desa setuju, dan jadilah peraturan itu mengikat semua warga. Camat dan Bupati pun menyetujui putusan itu. Pak Modin sendiri sudah enam puluh enam, karenanya harus lengser.
“Itu artinya ia tidak mau menjabat.”
“Mari kita hormati keputusannya.”
“Dia ingin jadi pandita saja.”
Desa itu menempuh prosedur yang sama seperti dulu. Terpilihlah Sekretaris Desa jadi lurah. Pak Modin dan para nelayan tidak lagi harus berurusan dengan tentara, polisi, dan pengadilan. Untuk sementara!
Tentang adanya Surat Sakti yang betul-betul cespleng itu menjadi sorotan pers pusat dan daerah dan kalangan akademisi lokal dan nasional. Pada umumnya, mereka mulai dengan sebuah pengantar yang menegaskan bahwa yang digugat adalah Surat Saktinya, bukan Pak Modin atau Legiun Veteran. Pertanyaan seperti “Milik Siapa Negar?”, “Perorangan atau Hukum?”, dan “Siapa Berkuasa?” menjadi topik bahasan. Pers makin berani, dan telepon-telepon tidak lagi digubris. Telepon diam-diam dikhawatirkan akan malah jadi perbincangan terbuka. Kebebasan mimbar juga demikian. Hari ini dihentikan, hari lain diadakan. Keadaan dirasakan akan lepas kendali.
6
RUPANYA emprit abuntut bedhug (perkara kecil menjadi besar). Presiden sendiri membawa soal kritik pers dan kampus pada Surat Sakti itu ke Sidang Kabinet. Karena menggugat Surat Sakti berarti menggugat Presiden, sehingga dia merasa digoyang-goyang. Padahal, selama ini tak seorang pun berani menggugat. Kalau yang menggugat perorangan, semua life line-nya akan diputus. Kalau lembaga, akan dinyatakan terlarang. Dan orang-orangnya dinyatakan tersangkut ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Semua anggota kabinet tahu bahwa dia marah besar, meskipun dari luar nampak senyumnya selalu hadir. Lembut dalam penampilan tapi keras dalam perbuatan, kira-kira begitu semboyannya. Pada kesempatan itu dinyatakan bahwa negara dalam bahaya, dan ia memerintahkan menteri-menterinya untuk tidak ragu-ragu bertindak tegas. Maka, beberapa hari kemudian Menteri Penerangan melarang surat-surat kabar mengecam Surat Sakti, tidak melalui telepon tapi melalu Keputusan Menteri. Ancamannya ialah Pencabutan Ijin terbit. Menteri Perguruan Tinggi berbuat serupa, mengancam akan membubarkan sebuah Perguruan Tinggi yang mengecam Surat Sakti.
Pers dan kampus tidak kurang akal. Mengecam terang-terangan dilarang, mereka lalu memuji terang-terangan. Seminar bertema, “Surat Sakti,
Hak Prerogatif”, “Sesuai UUD ’45: Surat Sakti, Membubarkan Parlemen, Memberi Grasi”, dan “Surat Sakti versus Mafia Pengadilan”. Mereka sudah betul-betul berhenti menghujat, sebaliknya malah memuji-muji. Tetapi, orang tahu bahwa mengecam menimbulkan kebencian, memuji menimbulkan sinisme masyarakat. Mendapat laporan tentang maraknya puji-pujian pers dan kampus serta sinisme masyarakat, Menteri Penerangan dan Menteri Perguruan Tinggi hanya bisa pusing kepala. Ternyata jadi pesuruh itu sulit, meskipun pesuruh itu bernama menteri, “Salah lagi!”
SEMBILAN
1
PERKARA Pak Modin jadi isu nasional. Tanpa sepengetahuan Pak Modin dan para nelayan, surau, Pak Modin, dan perkampungan nelayan itu dikenal luas. Semua pemerhati hukum: dosen, hakim, jaksa, polisi, advokat, mahasiswa hukum, semuanya mengenal. Kedudukan Pak Modin, surau, nelayan, tak tergoyahkan. Partai Randu tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Bahwa di atas langit masih ada langit, ternyata betul belaka. Bahkan Partai Randu punya batas yang tak bisa dilalui. Kenyataan itu menggelisahkan pimpinan daerah partai. Bayang-bayang kekalahan Pemilu di perkampungan nelayan itu tak terelakkan lagi. Padahal, perkampungan itu adalah barometer untuk seluruh pantai utara. Kekalahan di tempat itu berarti kekalahan di seluruh Pantura. Mungkin Golput tidak akan mempengaruhi hasil Pemilu di Pantura secara keseluruhan, tapi jelas Partai Langit akan lebih unggul dari pada Partai Randu. Kemenangan suara dalam mengesahkan jadinya KH Ahmad Rifa’i sebagai pahlawan nasional adalah bukti goyahnya Partai Randu.
Dengan lemas Ketua Partai Randu dan jajaran pengurus mendatangi kantor Badan Pengawas Agama. Kedua pihak bertemu hanya untuk berbagi kekecewaan dan gelengan kepala. Mereka – sama seperti orang lain – juga terheran-heran mengapa tiba-tiba saja sebuah Surat Sakti dari jalan Cempaka bisa menggagalkan usaha mereka yang tersusun rapi. Partai Randu tak bisa menyalahkan Badan Pengawas Agama. Seterusnya, lembaga itu tak bisa menyalahkan polisi, jaksa, dan hakim. Mereka sudah berbuat sebaik-baiknya sebagaimana dipesan. Setelah gagal mengalahkan Pak Modin, mereka sependapat untuk mematahkan tangan kanannya saja, Wasripin. Tetapi bagaimana caranya?”
Seorang anggota Badan Pengawas Agama yang ditempatkan oleh Komando Intelijen Negara seminggu yang lalu dalam rangka konsolidasi pendukung Pemerintahan Orde Konstruksi yang secepat kilat berpikirnya mengacungkan jari.
“Aku tahu!”
“Bagaimana? Kita harus transparan, dong.”
“Ini operasi intelijen.”
“Sangat rahasia?”
“Ya.”
“Partai Randu adalah partai terbuka. Jadi, kita harus blak-blakan. Tidak boleh sembunyi-sembunyi.”
Kemudian ia bisik-bisik dengan Ketua Badan Pengawas Agama, lalu bisik-bisik itu disampaikan kepada rapat.
“Maaf, mungkin ini akan melukai hati Saudara-saudara, tapi karena operasi ini sifatnya rahasia tak boleh diketahui banyak orang,” kata Ketua Badan Pengawas Agama.
“Kalau kami tak dipercaya, baiklah.”
“Jangan emosional begitu, to.”
“Habis, bagaimana!”
“Ini nasib seluruh keluarga besar Partai. Ada yang untuk konsumsi massa, ada yang untuk konsumsi pengurus, ada yang untuk konsumsi ketua saja. Tidak semuanya dibuka, nanti kacau, disiplin partai runyam.”
“Ya, sudahlah.”
Mereka bertiga: Ketua Partai Randu, Ketua Badan Pengawas Agama, dan sang intel yang cerdas masuk ke ruangan khusus. Intel itu sudah tahu banyak mengenai perkampungan nelayan (umumnya pendukung Partai Langit dan Golput, Partai Randu minoritas tapi kuat karena didukung oleh aparat, pegawai negeri, dan sebagian juragan), Pak Modin (dipersangkakan dedengkot Golput), Wasripin (dipersangkakan mendapat ilmu dari Nabi Hidhir, tangan kanan Pak Modin), surau (markas Golput), dan para nelayan (Golput). Ia itu jalma limpat seprapat tamat, diberitahu seperempat bagian saja sudah tahu keseluruhannya. Maklum dia rajin dan sangat cerdik, lagi pula mempunyai salemanshipyang sempurna. Ia sudah tahu soal kegagalan mengenai jimat yang dituduhkan pada Wasripin, entah dari siapa. Maka dengan lancar ia menguraikan rencana yang membuat kagum kedua ketua itu. Mereka dengan gairah mendengarkan Plan 1 dan – kalau gagal – Plan 2.
“Asal saja semua konsekuensi keuangan disediakan Partai,” kata Ketua Badan Pengawas Agama.
Ketua Partai menyetujui. Katanya, “Tetapi tolong rencana pembiayaannya, meskipun dana itu biasanya selalu tersedia.”
“Ini harus agak longgar.”
“Tentu saja, kami sudah mengerti.”
“Saya otak-atiknya dulu supaya tidak terlalu besar.”
Ketua Partai kemudian mendekati Bendahara Partai yang menunggu di luar. Bendahara yang memang selalu oposan terhadap Ketua Partai mengomentari,
“Perlu dipikirkan untung-ruginya. Jangan cari untung, malah buntung.”
“Ini kebijaksanaan Ketua.”
“Jangan begitu, itu namanya … eh … diktator, maaf lho, Pak. Tapi ini harus dibicarakan dalam rapat pengurus. Jadi, tanggung jawab kolektif, bukan perorangan.”
Kemudian ada rapat pengurus. Dalam rapat rencana itu ditolak. Karena, tidak sesuai dengan prinsip Partai Randu, terasa mengada-ada, dan jumlah uang yang eksak belum diketahui. Kalau pengurus tidak setuju, Ketua mengatakan setidaknya pengurus memberi ijin padanya untuk mencari dana dari mana saja. Pengurus setuju.
Ketua Partai kemudian menghitung-hitung perusahaan mana yang dapat membantu Partai. Ia mendekati beberapa perusahaan kontraktor reklamasi laut, jalan, jembatan, dan bangunan untuk menyumbang dengan janji kemudahan dalam tender dan urusan dengan bank.
2
PAGI-pagi sekali Wasripin baru saja turun dari sembahyang sudah ditunggu orang. Orang itu mengatakan menderita kanker. Ia sudah pergi ke dokter, sudah pergi ke dukun, tetapi penyakitnya tak juga hilang. Dokter sudah angkat tangan, rumah sakit sudah menolak. Ia sudah divonis dokter, menurut perhitungan medis, tinggal empat bulan lagi hidupnya. Ia sudah menulis surat wasiat untuk isteri dan anak-anaknya. Sudah menulis surat pamit dan permintaan maaf kepada saudara-saudara, teman-teman, dan semua kenalannya.
Semuanya sudah diberi prangko, dan tinggal memasukkan ke kotak surat pada hari dia meninggal. Harapannya tinggal pada Wasripin. Wasripin memegang-megang bagian yang dikatakan sakit,
“Bapak tidak sakit. Sebentar, saya ambilkan air putih. Biar tambah sehat.”
Wasripin membuka lemari yang berisi botol air. Selagi ia membuka lemari, orang itu memasukkan uang ke bawah taplak meja. Wasripin merasa ada yang tak benar dengan orang itu. Orang itu bohong.
“Tolong, Pak. Air ini diminum, air ini akan jadi obat kalau Bapak sakit, sebaliknya air ini jadi racun kalau tidak sakit.” (Konon, ia tak berani minum).
Pagi itu datang beberapa orang lagi dengan keluhan yang berbeda-beda. Ia tergesa-gesa pergi ke TPI sebab ia masuk pagi-pagi. Hari itu adalah Hari Pasar, ia akan bertemu Satinah di penjual soto.
Ketika ia bertemu, Satinah menegur.
“Kok tidak bilang-bilang, kena urusan polisi begitu. Untung ada yang bercerita.”
“Itu dulu. Apa harus diceritakan kemana-mana?”
“Ya, sudah. Mungkin saya tak berhak,” katanya sambil melengos.
“Bukan begitu. Maksud saya jangan membebani orang lain.”
“Saya ini orang lain, to. Ya sudah!”
“Satinah membayar makanan, lalu mengajak pergi pamannya. Pamannya gerundal-gerundel, “Sudah kubilang, jangan suka emosi ….” Wasripin garuk-garuk kepala.
“Nah, bukan itu maksud saya!”
Tapi suaranya ditelan kemandang suara-suara pasar. Dia lalu mengejar Satinah,
“Maaf, maaf Nah!”
“Untuk apa minta maaf pada orang lain?”
“Sumpah, kok. Bukan itu maksud saya!”
“Maksud saya, maksud saya!”
Mereka mencari tempat yang longgar, lalu omong-omong sampai waktunya Satinah menyanyi dan Wasripin kembali ke TPI.
Tidak disangka-sangka sesampai di rumah polisi telah menunggu.
“Masuk saja, Bapak-bapak. Rumah tidak terkunci.”
“Ini surat perintahnya. Kami harus memeriksa rumah ini.”
Polisi membuka lemari, membalik kasur, mengeluarkan laci, dan melingkap taplak meja.
“Ini apa?”
“Kok ada uang di situ?”
“Saya malah tidak tahu.”
“Jadi bukan kau yang menaruh?”
“Bukan.”
“Kalau begitu, ini kami ambil.”
“Silakan, silakan.”
Paginya ia menerima panggilan dari polisi. Ketika ia pamit pada Kepala TPI bosnya bilang untuk tidak memberitahu teman-temannya. Mereka tidak sempat melaut hanya untuk mengantarnya. Maka dia pergi sendirian. Disempatkannya mampir ke rumah sewa Satinah. Satinah gemetar sebab kata polisi saja sudah menakutkannya. Air mata menetes di pipinya.
“Lho, katanya disuruh memberitahu.”
“Apa? Saya tak berhak sedih, ya?”
“Sedih ya sedih. Tapi jangan keluar air mata, to.”
Baru setelah pamannya meyakinkannya bahwa tidak akan terjadi apa-apa, Satinah menghapus air mata di pipinya. Paman yang buta itu kembali pada pekerjaannya. Membiarkan keduanya bicara.
“Sebentar, sebentar. Boleh saya ikut menghapus?”
Satinah menyodorkan pipinya. Wasripin mencari-cari saputangan di saku celana,tidak ketemu.
“Maaf, saputangan saya ketinggalan.”
“Tidak punya tangan, to?”
“Nanti marah.”
“Siapa bilang?”
“Biasanya, begitu.”
“Ini luar biasa, kok.”
Wasripin mengulurkan tangan, menyentuh pipi Satinah. Dia gemetar. Ada perasaan yang aneh. Bahkan hanya dengan menyentuh pipi!
Sampai di kantor polisi ia langsung menemui Kepala Reserse.
“Ada laporan dari masyarakat, engkau mengaku dapat ilmu dari Nabi Hidhir. Padahal, sebenarnya engkau memelihara tuyul. Beberapa orang kehilangan uang sesudah berkunjung ke rumahmu. Ternyata tuyulmu menaruh di bawah taplak meja.”
“Siapa pelapornya?”
“Nanti kau akan bertemu di pengadilan.”
“Siapa Nabi Hidhir itu, Pak? Setahu saya Muhammad adalah Nabi terakhir.”
“Jadi kau tak kenal dengan Nabi Hidhir?”
“Tidak.”
“Tuyul itu?”
“Juga tidak.”
“Pemeriksaan selesai. Kau boleh pulang. Tapi sebelumnya kautandatangani ini. Dokumen ini untuk pengadilan.”
“Masih ada pengadilan?”
“Tunggu kira-kira seminggu lagi.”
“Mbok itu saja dianggap cukup. Tidak enak, Pak. Mbolos kerja.”
3
HARI Pasar berikutnya Wasripin harus pergi ke pengadilan. Panggilan itu dijatuhkan di TPI. Maka, teman-temannya tahu dan mengantarnya. Satinah tahu dari Mbakyu penjual soto bahwa hari itu Wasripin ke pengadilan diantar banyak nelayan. Satinah mengeluh pada pamannya bahwa hal sepenting itu sampai dia tidak tahu.
“Mesti ada alasannya, Nduk. Tapi jangan khawatir, tak akan terjadi apa-apa,” kata pamannya.
“Ah, Pak Lik ini bisa-bisanya tidak prihatin.”
“Prihatin, ya prihatin. Tapi jangan merusak diri sendiri. Sudah kubilang, tidak akan ada apa-apa.”
“Ah.”
“Coba saja, kalau tak percaya.”
Para pelapor nama dan alamat disebutkan, tapi tidak datang. Hakim Ketua menyatakan bahwa persidangan sah, meskipun pelapor tidak hadir. Disebutkan bahwa pelapor sengaja tidak hadir, karena kehadirannya mengandung risiko: dia akan kena tenung atau jadi korban tuyul.
“Wasripin, ada laporan dari masyarakat bahwa kau dapat ilmu dari Nabi Hidhir?”
“Tidak tahu.”
“Kalau tidak tahu, jadi memelihara tuyul, ya?”
“Tidak.”
“Apa pelapor dapat jadi saksi?”
“Saksi pelapor tidak hadir karena penuh risiko,” kata Jaksa Penuntut.
“Baiklah. Apa buktinya?”
“Ketika pelapor datang, dia membawa uang di celana. Tetapi uang itu hilang. Tiga orang punya pengalaman sama. Ternyata BAP itu menyebutkan bahwa uang ditaruh tuyul di bawah taplak meja.”
“Maaf, Pak Hakim. Apa jaksa bisa menghadirkan saksi?”
Polisi yang datang ke rumah Wasripin menjadi saksi. Kesaksiannya memberatkan Wasripin.
“Bolehkah saya menghadirkan saksi bandingan?”
“Kami saksinya. Ini pengadilan rekayasa!” teriak seorang nelayan.
“Saudara tak punya hak!” kata Hakim Ketua keras.
“Kalau begitu saya tak bisa diadili, Pak. Tidak ada saksi pelapor, tidak ada saksi pembanding. Siapa tahu barang bukti itu fitnah. Tolong, suruh Jaksa menghadirkan tuyul.”
Orang-orang di ruang pengadilan tertawa. Hakim Ketua menyuruh pengunjung tenang.
“Pengadilan diskors setengah jam untuk memberi waktu bagi Jaksa.”
Ketika ada skors para wartawan mendekati Wasripin, memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Kau kok pandai. Lulusan Fakultas Hukum, ya?”
“Tidak. Saya lulus SD.”
“Berapa orang sudah kau sembuhkan?”
“Wah, saya lupa.”
“Kau pantas dapat doktor HC.”
“Apa itu?”
“Kami akan menulis bahwa kau adalah penyembuh alternatif.”
Hakim Ketua membuka sidang. Dia mengatakan bahwa Wasripin melakukan penipuan yang menurut pasal anu ayat anu juncto pasal anu ayat anu dapat dihukum sekian anu. Sidang ditutup.
Dua hari berikutnya Wasripin diminta datang untuk mendengarkan vonis hakim. Wasripin dan para nelayan datang, demikian pula wartawan.
“Menimbang …. Mengingat …. Gugatan tidak terbukti. Maka, terdakwa dinyatakan bebas!”
Pengunjung tepuk tangan. Wakil dari Badan Pengawas Agama juga kembali ke kantor. Wartawan mendekati Wasripin. Kata mereka, “Kau gugat balik saja, biar ramai.” Wasripin hanya menggeleng, tidak tahu caranya, tidak tahu siapa yang digugat.
Keesokan harinya pengadilan soal tuyul muncul di koran-koran. “Grrr di Pengadilan”, “Jaksa Tak Bisa Hadirkan Tuyul”, “Pengadilan Rekayasa?”
Wakil dari Badan Pengawas Agama memberi laporan. Bahwa saksi-saksi pelapor tak berani datang, takut disantet. Ketua dan intel mengadakan rapat.
“Wah, Plan 1 kita gagal. Koordinasi dengan pengadilan kurang rapi,” kata Ketua.
“Yang kurang itu fulusnya, bukan koordinasinya. Maka, saya usul uang ditambah,” kata intel.
Plan 2!”
Plan 2!”
4
PLAN 2 dijalankan bersamaan dengan upacara peluncuran perahu nelayan yang diadakan setiap tahun pada bulan Rajab. Pasar bertambah ramai. Banyak pedagang tiban. Anak-anak sekolah diliburkan setengah hari. Teluk itu berbah jadi tempat keramaian. Panjual balon, wayang kertas, terompet, bolang-baling, martabak telur, martabak terang bulan, roti, jamu, tahu petis. Ibu-ibu menggendong anaknya dengan balon di tangan. Perahu yang akan diluncurkan dipercantik dengan ular-ularan, warna-warni asal tidak mengesankan warna partai-partai dalam Pemilu. Mahasiswa menonton peristiwa itu untuk membuat makalah. Wartawan berita, wartawan foto, crew film dokumenter datang untuk meliput. Polisi datang untuk menjaga ketertiban. Di surau ada kenduri yang dipimpin Pak Modin. Pak Modin nanti juga akan memimpin doa untuk keselamatan perahu. Teratak dibangun untuk kursi-kursi para pejabat. Pengeras suara disediakan untuk MC, pidato-pidato,
dan para peserta slawatan. Camat diminta datang untuk memecahkan periuk sebagai simbol banyak rizki.
Satinah tidak ketinggalan. Ia mengeret-eret pamannya mencari tempat yang baik dan teduh untuk menonton. TPI dihias juga dengan ular-ularan warna-warni. Pasar tiban ramai, tenda-tenda pedagang memenuhi lapangan. Di surau dipasang tambahan pengeras suara dengan kabel di pohon juhar, sehingga doa-doa kenduri terdengar jelas. Wasripin tidak ikut kenduri, tapi melayani pasien. Di tengah-tengah kesibukan seorang wanita dengan kain sutera yang tipis melilit sampai di atas payudara berlari keluar dari rumah Wasripin sambil berteriak-teriak, menuding-nuding ke belakang, terengah-engah, “Tolong, tolong! Memperkosa!” Wasripin mengejarnya sampai pintu. Tiga wartawan foto mengabadikan peristiwa itu, jepret-jepret. Beberapa orang menarik wanita itu ke TPI. Polisi-polisi datang. Dengan sigap mereka memasukkan Wasripin ke sedan patroli. Sementara itu, seorang polisi menanyai wanita di TPI itu. Tidak ada nelayan tahu, mereka sedang berkenduri di surau. Orang-orang pasar, orang-orang yang berbelanja, dan mereka yang mau nonton keramaian hanya ternganga-nganga memberi jalan mobil polisi yang pakai sirine. Satinah mendengar sirine, hatinya merasa ada yang kurang, lalu menyeret pamannya ke pasar. Masih didengarnya sirine dan dilihatnya mobil itu di kejauhan.
“Apa to Mbakyu?”
“Wasripin dibawa polisi.”
“Seleranya menonton keramaian hilang, dia mengajak pamannya pulang, “Tidak apa Nduk, jangan khawatir.” Mereka pulang, sampai di rumah air mata Satinah membasahi bantal.
Peserta kenduri yang turun dari surau bertanya pada orang-orang pasar. Mereka tahu apa yang telah terjadi. Wasripin mereka dibawa polisi. “Utamakan kepentingan orang banyak,” kata Pak Modin pada para nelayan. Baru keesokan harinya mereka mulai bergerak. Mereka tahu kemana harus mencari. Mereka pergi ke kantor polisi, tapi mereka diberitahu bahwa urusan dengan polisi sudah selesai, dan sekarang ada di kejaksaan. Mereka jadi ingat disuruh berputar-putar waktu ingin menjenguk Pak Modin. Mereka duduk, “Kami tak mau lagi disuruh kesana-kemari. Tolong, Pak. Pastikan dia ada di sana.” Polisi menjamin.
Maka hari itu Wasripin menerima kunjungan kawan-kawannya.
Mereka mengatakan tetap percaya padanya, dan mengharapkan dia tabah menghadapi fitnah. Siang itu dia juga menerima kunjungan dari sejumlah mahasiswa yang belum dikenalnya dan mengaku dari sebuah Fakultas Hukum. Mereka menyarankan supaya diadakan sumpah pocong di Masjid Jami’i untuk mempertemukan korban dengan dia. Siapa yang bersalah akan mati, siapa yang benar akan hidup. Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan oleh korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta supaya diadakan sumpah pocong. Namun, hakim mempertimbangkan permohonan itu. Sidang ditunda selama dua hari untuk mempertimbangkan permintaan itu.
Berita tentang sumpah pocong yang langka itu memenuhi koran-koran. Topik di antaranya ialah: “Kebenaran Melalui Sumah Pocong”, “Tontonan Hukum”, dan “Sumpah Pocong: Institusi Hukum?” Dosen-dosen mewajibkan mahasiswanya membuat makalah dan menonton. Tidak ketinggalan para advokat.
Laporan itu sampai ke intel yang diperbantukan ke Badan Pengawas Agama. Intel marah-marah. Katanya, “Hukum agama, hukum nasional, hukum modern tidak mengenal sumpah pocong.” Ia sudah membayangkan bahwa orang suruhannya yang diambil dari sebuah tempat hiburan malam pasti tak berani menghadapinya. Satu-satunya langkah ialah mendekati hakim-hakim. Ia akan pergi sendiri menemui mereka. Sebelum ke kantor Pengadilan ia mampir ke tiga tempat: Kantor Partai Randu, seorang paranormal tersakti di daerah itu, dan Ibu pengusaha tempat hiburan malam.
Di kantor Partai Randu dia dapat kepastian tentang komitmen finansial. “Jangan khawatir, kami tetap komit secara moral dan finansial,” kata Ketua Partai. Adapun di rumah paranormal ia minta jaminan bahwa sumpah pocong itu takkan punya akibat. “Itu sudah di luar wewenang seorang paranormal,” jawab paranormal. “Kabarnya kau punya jin yang dapat mengubah batang pisang jadi orang,” kata intel. “Ya, tapi sumpah pocong terlalu sakral. Saya tak berani.” Keputusan paranormal itu memperjelas bayangannya mengenai kegagalan. Langkah selanjutnya ia pergi ke rumah bordil. Ibu menyambutnya dengan ramah, “Waduh, waduh. Intel kita kok terlihat murung. Siang-siang butuh hiburan, ya?” “Nanti mudah, Bu. Saya butuh pertolongan seperti dulu,” katanya. Ibu itu memanggil anak buahnya yang dulu ditugaskannya ke rumah Wasripin. Anak buah itu datang, dan intel menerangkan maksudnya. Mendengar kata “sumpah pocong” itu badannya menjadi dingin, mata berkunang-kunang, dan dunia menjadi gelap. Ia jatuh pingsan, lalu digotong ke dalam. “Kalau bukan dia, orang lain juga boleh,” kata intel. Ibu itu punya naluri melindungi anak buahnya, dan ditolaknya permintaan intel.
Harapannya tinggal pada hakim. Ia minta supaya hakim menolak sumpah pocong yang bukan merupakan bukti hukum itu. Tim hakim memang mula-mula akan keberatan dengan sumpah pocong berdasarkan sebuah memo yang mereka terima. Karena, cara kuno itu tidak terdapat dalam KUHP. Akan tetapi, ketika koran-koran ikut meramaikan perihal sumpah, mereka berubah pikiran. Maka ketika intel datang, mereka mengatakan bahwa terlanjur tahu. Mereka sudah memutuskan untuk mengabulkan sumpah pocong.
“Hakim harus independen!”
“Korbankan seorang, selamatkan belasan ratus juta jiwa!”
“Korbankan kebenaran?”
“Mengapa tidak. Kalau terpaksa.”
“Terpaksa atau rekayasa?”
“Rekayasa, itu hanya pendapat orang. Masyarakat! Media massa! Persetan!”
“Kami tidak bisa tinggalkan kebenaran. Nanti ada anarki hukum.”
Tidak, tak ada jalan buntu bagi orang yang mau berpikir. Ia akan mengirim telex ke atasan, minta supaya hakim yang sekarang diganti. Hakim mau suapnya, tak mau kerjanya. Mereka penipu!
5
HARI itu Masjid Jami’i ramai dikunjungi orang: nelayan, wartawan, mahasiswa, advokat, dosen, dan para peminat lain. Akan tetapi, mereka semua kecewa. Semua petugas sudah siap, Wasripin siap, penonton siap. Setelah ditunggu satu jam, saksi korban tak juga muncul. Mereka bubar.
Wasripin dinyatakan bersih oleh Hakim.
Di kantor Badan Pengawas Agama anggota-anggotanya tampak murung. Kegagalan demi kegagalan membuat kantor interdepartemental itu tak efektif. Para anggota bisik-bisik satu dengan lainnya, supaya Ketua dan intel tak mendengar.
“Kantor ini melanggar tujuannya sendiri. Kata statuta pendirian: mencegah ajaran sesat, mencegah politisasi agama, mencegah penyelewengan agama untuk kepentingan pribadi dan golongan, dan mencegah perpecahan intra-agama serta antar-agama. Mana semua itu?”
“Pekerjaan kita tak sesuai dengan hati nurani.”
“Fitnah melulu. Duit ya duit. Tapi kesadaran tertindas.”
“Kata orang pandai, manusia tak hidup hanya dengan roti saja.”
“Kita keluar, kembali ke departemen masing-masing.”
“Bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh.”
“Nanti kalau ditanya tentang inisiator semua mengaku jadi inisiator.”
Mereka semua mengajukan surat pengunduran diri. Tidak ada komentar, tidak ada pertanyaan. Beberapa hari kemudian keluar Surat Keputusan pembubaran lembaga itu untuk seluruh Indonesia demi efektivitas, efisiensi, dan penghematan. Intel yang melapor pada atasannya di Jakarta mendapat jawaban yang menggembirakan, “Masih banyak jalan untuk mengikis habis Golput dan kaum ekstremis.”

0 Comments:

Post a Comment