Wasripin Dan Satinah Part 4
ENAM
1
WASRIPIN ingin melaut. Para nelayan berebutan menerima, sebab dia akan membawa keberuntungan. Wasripin memilih perahu dengan rumah-rumahan, sehingga ia dapat berteduh dari panas matahari dan angin laut. Dia tahu persis kekuatan badannya, sebab dia pernah diajak kawannya melaut di Jakarta. Pada waktu itu dia muntah-muntah karena ombak, matahari, dan angin. Sampai rumah emak angkatnya mengerokinya, “Lain kali tidak usah coba-coba melaut,” katanya. “Orangtuamu bukan pelaut.”
Dia sudah bilang kawan-kawannya seperahu untuk tidak terkejut bila dia mabuk laut. Sepengetahuannya, dia tidak ada turunan pelaut. Ibunya memang dari pantai, tapi petani bukan pelaut. Mereka berangkat pagi-pagi. Wasripin duduk di atas perahu, menikmati bunyi mesin, ombak yang pelan, dan matahari yang baru keluar. Dia melihat kawan-kawannya mulai menebarkan jaring.
“Jangan di situ, tiduran saja di dalam.”
“Tak apa.”
Makin lama ombak makin terasa. Dan betul, baru tiga jam dia melaut perutnya terasa mual, dia masuk ke dalam. Ombak laut menggoyangkan perahu. Ia pergi ke dalam dan duduk. Berjaga-jaga menampung isi perut dengan sarong. Dari perut keluar semua sarapan paginya. Seorang kawan membuka sarong dan membuang muntahannya ke laut.
“Tiduran saja.”
“He-eh.”
Ia telentang, tiduran.
Kawan yang membuang muntahan berteriak,
“Ikan!”
Ikan-ikan besar memperebutkan muntahan. Makin lama, makin banyak. Kawan-kawannya sibuk mengarahkan jaringnya pada ikan-ikan itu. Dengan cepat ikan-ikan terjaring, dan dengan cepat mereka tenggelam di pecahan-pecahan es.
Ketika mereka kembali siang itu, mereka membuat kejutan. Mereka kembali dengan tangkapan ikan-ikan besar, ikan yang biasanya terdapat di tengah laut dan di dapat setelah dua hari melaut. TPI heboh.
“Tidak mungkin. Mereka berangkat pagi, pulang siang.”
“Percaya atau tidak, itulah yang terjadi.”
“Ikannya besar-besar!”
“Jenis yang berharga mahal!”
Kesimpulan mereka tidak terduga: Mereka membawa Wasripin. Ia membawa keberuntungan. Lain hari para nelayan berebut membawanya melaut. Aku dulu! Aku dulu! Para nelayan mengambil inisiatif, mereka membuat nomor antrean. Wasripin mengajukan masalahnya pada Pak Modin, dan dianjurkannya untuk tidak melaut lagi. Mendengar bahwa Wasripin tidak lagi melaut, mereka kecewa. Mereka lalu menggandakan foto Wasripin yang ada di TPI.
Para nelayan melaut dengan foto Wasripin di perahunya. Dan entah karena apa, musim ikan atau karena foto itu perolehan nelayan selalu besar. Keyakinan para nelayan, keberuntungan itu ialah karena mereka membawa foto Wasripin. Kemudian para juragan tahu, pedagang ikan tahu, orang-orang pasar tahu. Wasripin keberatan fotonya dipasang, “Tikus saja tidak takut, bagaimana fotoku membawa keberuntungan?” Tapi atas nasihat Pak Modin, menasihati nelayan itu harus pelan-pelan, jangan melarang-larang seketika, ketika orang lagi bersemangat.
Bahwa foto Wasripin membawa keberuntungan dengan mudah menyebar ke seluruh desa. Dari para nelayan ke masyarakat luas, telinga masyarakat ke telinga pejabat. Pejabat-pejabat agami di kecamatan merasa risih. Mereka melapor ke pejabat agama kabupaten, tapi isu tidak ditindaklanjuti. Rerasan yang tersebar dari mulut ke mulut, makin lama makin besar seperti kata ungkapan sak dawa-dawane lurung, isih dawa gurung (berapa pun panjang lorong, masih panjang kerongkongan): ada agama sesat di lingkungan nelayan!
Bahkan, menurut berita Wasripin mengadakan pengajian di rumahnya, membagi-bagikanjimat, mengajarkan ilmu kebal. Menurut peraturan, itu ajaran sesat.
2
BERITA itu membuat Badan Pengawas agama, lembaga resmi yang mengawasi penyiaran agama, tingkat kabupaten penasaran. Mereka mengadakan rapat. Keputusannya ialah mereka minta pihak kepolisisan
menyelidiki perkara ajaran sesat yang meresahkan masyarakat. Kepolisian pun mengirim orang untuk menyidik perkara keresahan itu. Ketika intel polisi kembali, mereka melapor, “Lapor! Tidak ada keresahan. Laporan selesai!”
Maka ketika lembaga bertanya, kata Kepala Polisi Kabupaten, “Menurut intel kepolisian, tidak ada keresahan. Ada memang perahu yang disertai foto: bintang film, bintang sepak bola, bintang bulu tangkis, penyanyi dangdut. Foto Wasripin memang ada juga.” Kepolisian menolak dengan alasan tidak ada gangguan publik yang mengancam rasa aman. Lagi pula pekerjaan polisisudah banyak: pencurian, pembakaran rumah, tawur antarpenyokong calon lurah, penipuan, dan masalah-masalah lainnya, sehingga perkara ajaran sesat yang tidak ada itu dianggap mengada-ada. “Ini bukan perkara kriminal, tapi delik aduan,” kata kepala polisi itu. “Jadi Bapak-bapak tetap punya hak menggugat. Tulis surat gugatan ke polisi.”
Mereka yang mengadu tak puas.
“Polisi makan duit rakyat!”
“Akhir bulan banyak cegatan dijalan!”
“Tidak ada keresahan?” Diucapkan dengan mulut dimiringkan.
“Ini delik aduan. Kalau diteruskan Bapak-bapak akan kalah.”
Mereka mengadakan rapat, nekad menulis gugatan.
Sementara itu para nelayan juga mengadakan rapat. Mereka setuju membentuk perkumpulan nelayan yang akan mereka daftarkan sebagai koperasi. Tujuan akhir koperasi sangat indah, yaitu menambah pendapatan dengan menjadikan nelayan tidak semata-mata melaut, tapi juga memelihara tambak. Mereka juga memutuskan untuk memelihara ikan dengan sistem karamba di sungai yang agak jauh. Ketika tiba menunjuk ketua, semua mengusulkan nama Wasripin. Wasripin menolak: tidak ada pengalaman, jadi penyembuh saja sudah cukup sibuk. Akhirnya dia diangkat jadi penasihat.
Polisi sebenarnya sudah enggan memeriksa, tapi terpaksa juga memanggil Wasripin. Wasripin datang disertai lima belas nelayan. Polisi berkeberatan dengan teman-teman Wasripin. Tapi daripada ribut-ribut di luar, lebih baik ribut di dalam. Pemeriksaan dimulai, hasil pemeriksaan itu dilimpahkan ke pengadilan.
Di pengadilan lebih banyak lagi nelayan yang mengantar. Ruangan penuh. Wasripin disumpah. Lalu Hakim Ketua bertanya,
“Jadi, benar kamu guru ngaji?”
“Bukan, Pak. Tapi Pak Modin.”
“Bohong, Pak,” sela penggugat.
“Nanti ada waktu untuk Bapak,” kata Hakim Ketua.
“Kita lanjutkan. Apa kamu mengharuskan para nelayan memasang fotomu?”
“Tidak, Pak.”
“Apa kamu berpendapat bahwa fotomu membawa keberuntungan?”
“Itu bukan pendapat saya.”
“Kabarnya kamu orang berpendidikan, mengapa tidak rasional?”
“Ya, saya berpendidikan. Saya punya ijazah SD, tapi entah di mana saya taruh.”
“Mengapa tidak rasional?”
“Apa artinya itu, Pak?”
“Artinya, apa kamu membagikan jimat?”
“Tidak, Pak.”
Para nelayan yang mengantar ribut. “Tidaak!” “Jangan dijawab!” “Pertanyaan itu sampah!” “Pertanyaannya yang tak masuk akal!” “Hakim jangan memihak!” seorang berteriak keras. “Hakim menjebak!” kata orang lain lebih keras. “Hakim bodoh!” kata seorang lebih keras lagi.
Hakim Ketua menggedor meja. “Dog, dog. Tenang! Tenang!”
Gedoran meja itu seperti mengingatkan para nelayan. Mereka mulai menggedor-gedor bangku tempat duduk. Mereka bersama-sama bilang, “Bebaskan Wasripin! Bebaskan Wasripin!” Hakim Ketua memerintahkan, “Keluarkan mereka. Sidang diskors, dog, dog!” Polisi pamong praja yang menjaga pengadilan hanya empat orang, mereka menelepon minta bantuan polisi sungguh-sungguh. Beberapa orang malah maju ke meja hakim, menuding-nuding Hakim Ketua. Melihat mereka semakin merangsek tiga orang hakim yang di depan cepat-cepat pergi. Wasripin tidak mengira bahwa keributan akan terjadi. Polisi datang. Kedatangan mereka membuat para nelayan mulai duduk. Hakim-hakim datang lagi. “Sidang kita lanjutkan, dog, dog!”
“Agamamu apa?”
“Islam, Pak.”
“Sebutkan surah apa ayat berapa yang menyebutkan nelayan harus bawa jimat?”
“Apa ada?”
“Ada atau tidak?”
“Sepengetahuan saya jimat itu dilarang.”
“Kalau dilarang, kenapa kamu membagikan jimat?”
“Tidak, Pak.”
“Lalu foto siapa yang ditempel di perahu?”
“Suka-suka, Pak. Bagaimana saya tahu?”
“Ah, yang benar saja!”
“Benar, Pak. Ada saksi.”
Seorang nelayan maju sebagai saksi.
“Jadi, kamu memasang foto Wasripin?”
“Ya, Pak. Saya juga memasang Rhoma Irama, Titik Puspa, Elvy Sukaesih, dan penyanyi Amerika.”
“Dari semua itu, mana yang kau anggap sebagai jimat?”
“Tidak ada. Foto-foto itu saya pasang karena suka.”
“Mengapa foto Wasripin kamu pasang?”
“Karena suka. Dia penasihat ASNI, Satpam TPI, dan tukang pijat, pengusir jin. Tolong, Pak. Sebutkan undang-undang apa ayat berapa, pasal berapa, peraturan apa, pasal berapa yang menyebutkan bahwa memasang foto tak boleh?”
“Ya, tak ada. Sekarang sebutkan Wasripin mengajarkan rapal-rapal apa saja untuk melaut?”
“Tidak dari dia, Pak. Ada memang rapal-rapal yang kami pelajari dari orang-orang tua.”
“Bisa sebutkan rapal itu?”
“Nanti saja kalau Bapak mau jadi nelayan.”
Setelah beberapa hari Wasripin sebagai tergugat dan para penggugat diundang untuk mendengarkan amar pututsan hakim. Pengadilan memutuskan, tak ada ajaran sesat, tak ada jimat. Para nelayan pun mengadakan syukuran.
Ceritanya, ada komandan tentara baru di kecamatan itu. Wasripin, surau, TPI, dan para nelayan lega. Sebab, kabarnya komandan yang sekarang sangat lunak pada mereka, bahkan cenderung mengabaikan tugasnya. Tugas utamanya ialah mengurus dirinya sendiri. Dia tergila-gila pada waranggana klub wayang kulit di kecamatannya yang dulu, jauh di luar kecamatannya sekarang.
Di depan rapat pimpinan kecamatan tanpa malu-malu di menyebut waranggana dengan sebutan yang tak pernah diucapkan seorang pada orang lain, “Bayangkan, kalau kau punya isteri bidadari dengan suara emas.” Ia akan berpikir, “Ya rupanya ya suaranya. Ck-ck.” “Ayu sejagat kok dimiliki sendiri,” “Akan kutunggu kau jadi janda sampai kapan pun.”
Yang menguntungkan ialah dia bukan pemberani soal yang satu ini. Maka, sekalipun omongannya sudah seperti sungguh-sungguh, tidak ada langkah-langkah yang dikerjakannya. Meski hari hujan ia akan naik sepeda motor bebek dan duduk di belakang niyaga yang sedang mengikuti dalang. Kepindahannya ke kecamatan itu sebenarnya adalah atas aduan isterinya.
“Percayalah, aku tak akan meninggalkan kamu dan anak-anak, Mam.”
Lain kali dia bilang, “Hanya saja ada orang kok cantik seperti puteri raja, suaranya merdu seperti rebab.”
Minatnya pada waranggana tambah-tambah besar saja, makin jauh makin besar sampai isteri menyerah. Ia pergi dari orang pintar ke orang pintar lain, tapi suaminya tak berubah. Ia menyerah, menunggu nasib. Isteri itu mendapat harapan baru ketika ia menghadiri pertemuan isteri-isteri pejabat sekecamatan. Ada seseorang yang menyebutkan nama Wasripin. Ia pun pergi ke Wasripin, membawa gula dan teh.
Ketika siang itu ia ke rumahnya, hampir-hampir ia tak percaya kalau yang di depannya adalah Wasripin, yang kira-kira sebaya dengan adiknya yang bungsu. Untung baginya, hanya ada seorang ibu dengan anaknya usia SD kelas 3 sedang dipijat karena sulit menerima pelajaran. Di depan Wasripin dia memperkenalkan diri sebagai isteri Danramil, dan mengatakan apa adanya tentang suaminya.
“Suami ibu kena gendam yang disebarkan wanita itu.”
“Betul, kata orang begitu.”
“Saya lihat ibu membawa gula dan teh.”
Bu Danramil memberikan bungkusan itu. Lalu bungkusan itu pun dibuka Wasripin. Setelah gula teh itu diisi (diberi doa), barang itu disodorkan kembali.
“Begini, Ibu. Tolong buatkan minum suami Ibu dengan gula teh ini.”
Beberapa hari kemudian ketika pagi-pagi dia pulang nonton wayang, katanya pada isteri,
“Bu, bu. Ternyata dia itu srigunung, dilihat dari jauh tampak cantik, dilihat dari dekat jeleknya bukan main. Kerempeng, wajah penuh kukul, rambut kusut. Suaranya juga tak beda dengan penampilannya.”
“Jangan begitu, Pak. Gething nyandhing [benci itu malah mendekatkan].”
“Sungguh, kok.”
“Iya, iya. Tapi jangan bikin komentar yang jelek tentang orang lain.”
“Maaf, Bu. Selama ini saya telah menyakitimu. Saya kapok, takkan terulang lagi.”
Nama Wasripin lebih terkenal daripada TPI, surau, dan bahkan desa itu sendiri. Itulah yang akhir-akhir ini sangat menggelisahkan Ketua Partai Randu sebagai lulusan Pendekar (Pendidikan Kader) partai. (Peserta, “Namanya kok Pendekar?” Instruktur menjawab, “Wo, bagaimana kamu ini! Kekuasaan itu kuasa, termasuk kuasa menciptakan makna-makna.”). Sudah pasti Wasripin akan bergabung dengan kelompok surau yang selalu menjadi Golput. Padahal, DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Partai Randu sudah menargetkan perolehan suara yang tak mungkin diraih bila surau masih Golput. Maka sebagai pemuka masyarakat dan lulusan Pendekar dia mengusulkan dalam rapat LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) untuk memberi saja sebuah KTP (Kartu Tanda Penduduk) pada Wasripin, tanpa embel-embel ET (Eks Tapol). Syaratnya, dia berjanji tak akan Golput. Usulan itu diterima, seperti biasanya dengan aklamasi.
Kadus ditugaskan untuk menjajagi perkara itu.
“Apa itu Golput, saya belum pernah dengar.”
“Pokoknya yang tidak berpartai.”
“Partai saya apa?”
“Ya, nyoblos apa dalam Pemilu lalu.”
“Saya belum nyoblos, belum umur.”
“Keluargamu? Ibumu? Bapakmu?”
“Tidak punya. Mereka semua sudah meninggal.”
“Pokoknya jangan Golput.”
“Tidak janji.”
Kadus melapor dalam rapat LKMD soal tugasnya.
“Kalau begitu, jangan diberi KTP dulu,” ujar Ketua Partai Randu.” Atau beri KTP dengan ET.”
“Jangan. Waktu tahun 1965 dia masih balita.”
Itulah yang menyebabkan Ketua Partai itu sulit tidur, dan hatinya ketar-ketir. Kalau sampai gagal, sudah pasti dia tidak menjadi anggota DPRD Tingkat II. Bagaimanapun, ia akan tetap berusaha.
Hari Pasar di pasar TPI. Hari pasar yang dulu seekor sapi hilang. Tidak ada protes dari orang banyak, sebab pemiliknya memang dikenal pelit pada tetangga. Dan hari itu seekor sapi lagi, padahal pemiliknya terkenal sebagai pemurah. Maka, para belantik menolak untuk membayar pajak. Mereka marah kepada pasar TPI. Ketika petugas penarik pajak datang, mereka menuding-nudingnya.
“Apa? Pajak? Jamin keamanan kami!”
“Panggil Hansip!”
“Hansip tidak punya bedil. Punyanya pistol air!”
“Kalau begitu panggil polisi!”
Petugas pergi ke kantor polisi membawa dua orang polisi yang berbedil. Polisi yang satu akan menjaga pintu masuk, satu lagi pintu keluar. Pemilik sapi hari pasar yang lalu memanfaatkan kedatangan polisi, petugas hukum.
“Nah, kebetulan. Bapak–bapak menjadi saksi keteledoran pasar ini. Saya akan menggugat pengadilan. Tidak ada penjagaan di pintu masuk, tidak ada penjagaan di pintu keluar!” Penarik pajak bingung. Ia memang sudah mendengar bahwa hewan-hewan itu hilang begitu saja, padahal tali masih di tangan belantik. Kesimpulan dia, kehilangan itu peristiwa yang gaib. Maka pikirannya ialah pada Wasripin. Wasripin sedang berjongkok dalam lingkaran, mendengarkan Satinah menyanyi. Penarik pajak pasar membisikkan sesuatu. Mereka berdua lalu pergi menuju pasar hewan. Dua orang yang kehilangan sapi menemui penarik pajak dan Wasripin. Wasripin bertanya kepada belantik,
“Bagaimana ceritanya?”
“Masak dua ekor sapi hilang begitu saja!”
“Lalu tugasku apa?”
Belantik yang kehilangan hari pasar lalu menjawab, “Tugasmu ialah supaya sapiku dibayar.”
Belantik yang kehilangan hari itu, ”Kalau saya, asal jelas untuk apa.”
Wasripin diam sebentar. Lalu katanya,
“Ada dua keluarga di dunia lain besanan, mereka pesta besar-besaran. Mereka memerlukan dua ekor sapi, seekor sekeluarga.”
“Katakan sapi saya harus dibayar mahal.”
“Kalau ada yang pesta, ya sudah sapi saya sumbangkan.”
Tiba-tiba di kantong seorang belantik ada uang.
“Tengoklah kantongmu.”
“Ada uang!” Lalu dia menghitung, dan memasukkan kembali uang itu. Padahal, uang itu jauh lebih banyak dari harga seekor sapi.
“Kau ikhlas?” tanya Wasripin pada belantik satunya.
“Ikhlas.”
Wasripin lalu kembali ke lingkaran.
Beberapa hari pasar kemudian terbetik berita bahwa belantik yang pemurah itu mendapat order untuk menyetor setiap minggu sepuluhan sapi dari sebuah rumah pemotongan hewan di Jakarta.
Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan penari jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain Ketua Rombongan bermimpi (setengah terbangun) bahwa untuk keperluan sekali itu harus ada restu dari danyang kuburan. Setelah omong-omong sebentar di sananya, restu memang diberikan, dan permainan nanti diharapkan berjalan lancar seperti biasa. Tapi, rupanya restu bersyarat: danyang minta sajen, salah satu bayi di lingkungan keluarga pemain akan jatuh sakit, dan mati. Ketua rombongan yang tahu syarat itu sangat sedih, sebab biasanya tidak ada sajen apa pun, kecuali kembang-menyan setiap malem Jumat. Dan mampir ke kuburan sebelum berangkat. Sepertinya danyang itu tahu bahwa pertunjukan kali ini istimewa.
Sepertinya dia juga tahu bahwa kali ini jadwalnya diatur dengan ketat, tidak bisa ditunda, tidak bisa diurungkan.
Mereka akan bermain dalam sebuah pertemuan resmi yang dihadiri para pejabat dari provinsi, para bupati, dan tamu-tamu asing. Gubernur sudah cerita-cerita bahwa kesenian unggulan daerah itu ialah jatilan. Ia pusing, pergi ke seorang paranormal. “Itu sih gampang saja,” kata paranormal. “Bayi artinya tunas. Nah, carilah tunas pisang, bungkus dengan kain putih, letakkan di kuburan.”
Ia mengerjakan saran paranormal itu. Tapi, rupanya sajen itu tidak berkenan di hati danyang kuburan. Malam hari dia bermimpi (juga setengah terbangun) didatangi laki-laki tinggi besar, berambut dan berjenggot putih. Di sananya laki-laki itu membuang sesajiannya. Pagi harinya dia ke paranormal itu. “O ya, maaf. Ternyata yang dimaksud bayi ialah bantal kecil yang masih baru, gres.”
Ketua rombongan mengikuti saran paranormal. Tapi malam harinya dia mimpi didatangi laki-laki yang dulu. Jalan sudah ditempuh tapi buntu. Mungkin akhirnya ia harus menyerah. Ya, tapi bagaimana lagi.
Ia teringat nama Wasripin, mungkin dia dapat menolong.
Maka pagi-pagi sekali dia menjemputnya untuk mengamankan pemain dan keluarganya. “Saya tidak usah ke sana, dari sini sama saja. Kalau ada saya, nanti pertunjukannya tidak jadi. Tapi sekali ini saja. Kalau minta macam-macam, jangan diturut.”
Wasripin tidak ikut rombongan, hanya memayungi dari kejauhan. Pertunjukan berjalan lancar. Tamu-tamu asing berdebar-debar melihat orang kerasukan, mengupas kelapa dengan mulut, makan beling, dicambuk keras, pemain yang berputar-putar tak kenal lelah kemudian terjatuh tak sadarkan diri. Ketika Ketua Rombongan mengusap jidatnya ia pun sadar. Tamu-tamu asing bersorak, bertepuk tangan.
Beberapa hari dinanti, ternyata tidak ada bayi sakit, apalagi mati. Ketika tidur, Ketua Rombongan didatangi orang tua itu. Di sananya orang tua itu tertawa-tawa, ”Aku hanya guyon. Kok dianggap sungguhan. Ha-ha-ha!”
Ceritanya, partai-partai sibuk mempersiapkan diri untuk Pemilu. Partai Randu mengumpulkan para Pendekar Tingkat Desa untuk diangkat jadi Pendekar Tingkat II, syaratnya ialah ia bisa menunjuk orang lain untuk jadi Pendekar, diutamakan calon Pendekar perempuan. Pendekar perkampungan nelayan kita tidak mau ketinggalan. Dia berhasil merekrut anak Pak Kaur Kesra, seorang perawan tua guru SD berumur 35, untuk jadi Pendekar Tingkat Desa, dia pun naik jadi Pendekar Tingkat II.
Pendekar Tingkat II dan Pendekar Tingkat Desa diwajibkan merencanakan strategi (Renstra) pemenangan Pemilu untuk unitnya (desa, pelabuhan, bandara, kantor, stasiun, universitas). Maka tidak usah dikatakan bahwa Ketua Partai dan Pendekar sangat dekat. Persoalan-persoalan resmi selesai, mereka lalu membicarakan persoalan pribadi. Mereka sembronoan.
“Cantiknya cantik, umur masih muda, pintar dandan, kok belum kawin itu kenapa, Jeng?”
“Ah, jangan mengada-ada.”
“Saya sungguh-sungguh, Jeng.”
“Tidak laku ya tidak laku!”
“Jangan begitu, ah. Kalau terus-terusan begitu, hidup ini tidak lengkap.”
“Tidak lengkap, ya biar saja.”
“Saya mau, kok. Disuruh melengkapi.”
“Ah, jangan begitu. Nanti saya kepengin.”
“Kepengin ya boleh, kok.”
Untuk membahas Renstra Pemenangan Pemilu mereka terpaksa menginap di hotel. Sembronoan lagi.
“Saya sudah 20 tahun kawin kok belum punya anak, padahal saya thok-cer, lho Jeng.”
“Aku tak percaya, kalau thok-cer.”
“Percaya atau tidak, pokoknya percaya saja.”
“Percaya itu perlu bukti.”
“Perlu, to?”
“Ya perlu, kok aneh.”
“Sungguh?”
“Sungguh!”
Pendekar tak menolak ketika Pendekar Tingkat II melepas kancing blusnya. Dan terjadilah apa yang terjadi. Setelah semua selesai Pendekar memuji, “Terima kasih. Umur 40-an ternyata masih thok-cer!” Hotel itu kemudian jadi tempat pertemuan mereka.
Ketika Pendekar Tingkat Desa ada tanda-tanda hamil, Pendekar Tingkat II mengusulkan seorang dukun yang bisa menggugurkan. Tapi Pendekar menolak, “Ini bayi, bayiku sendiri! Jangan gelem nangkane, emoh pulute (mau enaknya, tak mau susahnya).” Perkampungan nelayan geger ketika tahu bahwa Pendekar hamil. Di TPI, hajatan sunatan, hajatan perkawinan, bahkan pada waktu takziyah orang membicarakan aib itu. Orang tahu belaka bahwa kehamilan Ibu Guru berkat ulah Ketua Partai. Desa itu terbelah. Satu pihak membela suami, satu pihak isteri. “Soalnya, isterinya galak.” “Tidak, isteri kurang perhatian!” “Isterinya selalu awut-awutan, tak pernah dandan!” “Yang laki-laki sudah membanting tulang, isteri tak pandai bersyukur!” Rumah tangga Ketua Partai jadi berantakan. Isterinya mengomel terus, “Rasakan!” “Kualat!” “Sokur!” Suami-isteri itu bukan saja pisah ranjang, tetapi suami takut pulang, tidur di rumah teman-temannya. DPD Partai Randu pun khusus bersidang untuk itu.
“Kecelakaan bagi Partai!”
“Partai pasti kalah di perkampungan santri itu!”
“Pecat saja!”
Keputusannya? Sementara persoalan ditangguhkan alias tidak ada keputusan.
Sementara itu Ketua Partai Randu (Pendekar Tingkat II) menemui Wasripin. Wasripin sedang dinas di TPI, dan Ketua Partai bisik-bisik minta keduanya bisa berbicara berdua saja di tempat sepi. Ketua Partai mengeluh
bahwa dia tak tahan cemooh masyarakat, bahwa dia sangat kasihan dengan isterinya, bahwa rumah tangganya berantakan.
“Kau kan bisa berhubungan dengan dunia gaib. Nah, saya akan minta tolong sedikit. Coba, mintalah seorang kenalan dari dunia sana supaya kandungan yang ada di perut guru itu digugurkan, diambil, atau dicuri. Pokoknya dihilangkan.”
“Wah, nanti dulu saya pikirnya, Pak. Apa itu jalan terbaik untuk semua.”
“Pikirlah. Saya tunggu beberapa hari, nanti saya balik lagi.”
Wasripin berkonsultasi dengan Pak Modin.
“Bagaimana kalau kawin siri, Pak?”
“Itu hanya memecahkan sebagian masalah.”
Diputuskan bahwa jalan terbaik ialah menikahi perempuan itu secara resmi. Tapi karena Ketua Partai adalah pegawai di kantor Kabupaten, isteri pertama harus tanda tangan bahwa dia mengikhlaskan suaminya kawin lagi. Wasripin pergi membujuk isteri pertama. Bolak-balik.
“Dia sangat terpukul, dia putus asa, Bu.”
“Biar saja!”
“Sebagai pegawai dia nanti pasti dipecat.”
“Itu resiko dia!”
“Tolonglah, Bu. Jangan sampai anak tak berdosa nanti jadi anak haram.”
“Biar dia rasakan!”
“Semua tergantung Ibu. Tidak ada jalan lain, Bu.”
Sesudah beberapa, perut makin membesar. Ketua Partai terlihat semakin kuyu, pucat, dan sangat gelisah. Akhirnya setelah dipikir panjang, isteri pertama jatuh kasihan.
Katanya ketika Wasripin datang untuk kesekian kalinya,
“Kalau memang tidak ada jalan lain menutup aib itu, ya apa boleh buat.”
Kemudian isteri itu menaruhkan tanda tangan di atas kertas bermeterai. Calon suami-isteri pergi ke KUA. Isteri pertama dengan hati yang ditegar-tegarkan ikut mengantar. Dan seperti dongeng rumah tangga dengan dua isteri itu hidup rukun, makan bersama, bercanda, sembahyang berjamaah.
TUJUH
1
ADA gerakan baru di desa-desa sepanjang pantai. Mereka menyebut diri GPL, Gerakan Pemuda Liar. Gerakan itu terdiri dari pemuda pengangguran, pemuda putus sekolah, dan mereka yang sekedar suka iseng. Pekerjaannya ialah menculik gadis-gadis, ibu-ibu rumah tangga, dan para ibu bakul. Biasanya, mereka yang sendirian di tempat sepi atau malam hari. GPL juga menyekap mereka yang meskipun bersuami tapi cantik. Untuk beberapa hari gadis-gadis atau ibu-ibu akan disekap dan dicabuli. Mereka mengembalikan korbannya setelah bosan, melemparnya di sembarang tempat seperti sampah. Gadis dan ibu yang mereka sekap kembali dalam keadaan linglung atau gila.
Hanya tempat-tempat hiburan malam (bagi desa-desa itu hiburan malam selalu berarti bordil) dan para anggotanya leluasa bergerak, sebab para GPL dapat gratisan.
Di desa-desa itu perempuan tidak berani keluar rumah pada malam hari. Kelahiran, sunatan, perkawinan, bahkan takzijah di malam hari berjalan tanpa perempuan. Tak ada perempuan bermukena ikut shalat ‘Isya’ di surau Pak Modin. Jadi tidak seperti biasanya, malam hari akan sepi. Bahkan GPL itu memang keterlaluan. Ada seorang janda memboncengkan anaknya dengan sepeda ontel untuk dibawa ke rumah sakit gawat darurat juga mereka tangkap. Tangis yang mengiba-iba ibu itu tidak digubris. Anak yang sakit itu dibiarkan kesakitan, sendirian di tempat sepi, sampai orang-orang yang lewat pagi hari mengetahui anak itu telah mati. Juga seorang dukun bayi yang masih melek ditangkap di perjalanan menuju orang yang akan melahirkan, dan sadonya disuruh balik. Singkatnya, kejahatan mereka sampai ke tingkat iblis, terkutuk betul.
LKMD-LKMD mengadakan rapat intern dan kemudian rapat gabungan.
Mereka bikin resolusi supaya pihak keamanan, yaitu TNI/POLRI bertanggung jawab. Resolusi itu dibawa para Kades dan Sekdes ke atas dan diteruskan sampai atas betul. Kodim sebagai tentara hanya bisa menawarkan satu pemecahan yang cespleng, yaitu menembak mereka ala Petrus (penembak misterius) yang terbukti sangat efektif di tempat lain. Memenjarakan dan memproses berdasar hukum akan mahal biayanya. Penjara tidak memuat mereka yang bejat moralnya dan terlalu bertele-tele. Solusi itu diterima dengan perasaan senang.
Maka di tempat-tempat sepi, pagi-pagi sekali, dan malam hari di desa-desa banyak Petrus berkeliaran. Mereka juga memberi tahu kata sandi malam itu untuk diketahui Hansip dan Siskamling. Suasana malam hari persis seperti perang, hanya tidak ada jam malam. Mulai sore hari begitu matahari terbenam di perempatan dekat warung bakmi, sate Madura, lauk-pauk, dan gorengan mereka akan ikut nongkrong. Hanya laki-laki yang berani jualan, hanya laki-laki yang datang membeli. Petrus juga bersembunyi di tempat-tempat gelap dan membidik mangsanya. GPL semakin pintar. Mereka seperti dapat mencium bahwa di suatu tempat ada polisi. Kata sebuah ungkapan, pencuri lebih pandai daripada polisi berlaku di sini. Belum ada satu pun GPL yang tertembak.
Penduduk mulai gelisah. Mereka meragukan kemampuan aparat. Polisi juga jadi gregetan. Mereka bukannya pasif menunggu tapi aktif memburu. Warung-warung yang buka malam, panti pijat tradisional, dan tempat hiburan malam digrebek. Mereka yang mencurigakan diinterogasi, seperti yang tanpa KTP dan yang bertato. Ketika cara itu pun tak jalan, mereka semakin penasaran. Lelaki yang berewok, yang bertampang jagoan, yang berambut panjang, yang bercelana sempit, yang kira-kira mata keranjang, semua ditangkap. Maka salah tangkap, salah urus, dan salah duga menjadi gejala umum. Untung saja mereka tidak menerapkan semboyan, tembak semua yang mencurigakan. Mereka tidak pernah menembak, tapi membawa ke kantor tentara atau polisi, ditanyai ini itu.
Sementara ada ramai-ramai soal GPL, Satinah punya keperluan yang tak terelakkan untuk pergi sore-sore sehabis Magrib ke rumah Wasripin. Pamannya terjatuh dari tangga waktu membetulkan genteng untuk menghadapi musim hujan. Satinah sebenarnya ragu-ragu soal keamanan jalan. Tapi pamannya yang terus mengerang membuatnya nekat. Setelah selesai memijat dan sudah semakin malam, Wasripin menawarkan tempat menginap. Wasripin dan paman yang sudah sehat tidur di surau, Satinah bisa memakai dipannya. Sebenarnya Satinah sangat senang dengan tawaran itu. Tapi pamannya berkeras pulang. Pamannya juga menepis alasan bahwa jalan tak aman. Mereka berdua pulang. Tak ada cara bagi Wasripin untuk mengantar.
Betul, di jalanan yang sepi tiga orang GPL menghadang. Mereka menutup jalan. Satinah melambatkan motor, mau berbalik.
“Apa yang terjadi?”
“Waduh, Pak Lik. Ada GPL.” Satinah membelokkan motor, mau kembali.
“Jangan, terus saja.”
“Terus bagaimana, mereka menutup jalan.”
“Ya, kalau sudah dekat saja nanti diurus.”
“Berhenti!” Salah satu mereka membentak.
Satinah berhenti, mesin tetap hidup.
“Pembonceng turun!”
Mereka maju, mau menangkap Satinah, dan melempar pamannya.
“Berhenti di situ!”
Di luar dugaan tiga orang GPL berhenti, tidak bisa bergerak.
“Kakiku, kenapa!”
“Seperti melekat!”
“Terjerat di tanah. Tak bisa digerakkan!”
“Terus saja,” kata Paman pada Satinah.
“Kasihan mereka! Suruh saja lari.”
“Mereka yang tidak kasihan dengan dirinya sendiri, tak berhak dikasihani. Nanti tentara atau polisi datang menjemput.”
Satinah dan pamannya meneruskan perjalanan. Malam hujan turun. Para GPL basah kuyup, kedinginan. Patroli gabungan tentara dan polisi datang mengangkut mereka dengan Colt terbuka.
2
RUPANYA ada orang mengetahui tentang tiga orang GPL yang termangu-mangu di jalanan. Kabar itu menyebar dari mulut ke mulut dan semakin serem saja. Dikabarkan, ada serombongan GPL yang dibekuk jagoan seorang diri dan dibawa ke kantor polisi. Tidak seorang pun tahu siapa jagoan itu. Kabar itu ditularkan menurut selera penyampai. “Tentara dan polisi tak becus!” “Masyarakat lebih unggul!” “Hidup rakyat!” Berita-berita miring tentang aparat itu sampai juga ke telinga pemerintah. Mereka berdalih punya banyak keterbatasan: dana, personel, peralatan, dan banyaknya masalah yang harus diselesaikan. Dan, operasi makin lama makin kendor.
Meskipun aparat sudah jauh lebih melunak, tidak ada Petrus, tidak ada aparat yang menyamar, tidak ada aparat yang bersembunyi di tempat gelap, toh, kebijakan itu mendapat protes juga. Sebuah asosiasi pramuria alias pengusaha bordil alias para mucikari yang kabarnya punya backingorang dalam melayangkan surat protes. Banyak pelanggan yang dibawa ke kantor Kodim ketika tempat-tempat hiburan itu digrebek. Tempat hiburan jadi sepi pengunjung. Pendapatan menurun drastis.
Surat protes itu dimulai dengan dukungan kepada Pancasila, UUD ’45, dan kepemimpinan Presiden Sadarto. Kemudian dilanjutkan dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa mereka memberikan layanan pada masyarakat, hiburan gratis pada pejabat, dan menyumbang pendapatan daerah. Kemudian mereka memprotes sekeras-kerasnya tindakan aparat yang sangat merugikan, dan mendesak supaya operasi GPL dihapuskan.
Beberapa hari kemudian memang operasi dihentikan. Aparat mengaku telah berhasil membekuk tiga orang GPL di jalanan pada waktu hujan. Dari GPL yang ditangkap operasi gabungan itu, aparat berhasil mengembangkan perkara sehingga mereka sudah tahu semua perbuatannya, siapa-siapa anggotanya, dan siapa pemimpinnya.
Orang-orang GPL ditangkap, yang lainnya kabur. Tidak ada yang mengaku siapa pimpinan, aparat menanyakan tentang siapa orang paling mereka hormati. Anehnya, Wasripin kebanyakan mereka sebut yang pertama. Tokoh kedua yang mereka sebut ialah Ketua Partai Randu di perkampungan nelayan.
Mengenai pimpinan GPL ada kontroversi di kalangan pejabat. Ketua Partai Randu jelas tidak mungkin. Bupati atas pertimbangan Badan Pengawas Agama percaya bahwa Wasripin adalah pemimpin GPL. Tentara kabupaten berdasar keterangan mantan Danramil setempat memuji-mujinya sebagai tidak berpendidikan tetapi cerdas, rendah hati, tidak berpolitik, sederhana, tidak punya rumah. Kapolres dan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa ia bersih, tidak tersangkut kriminalitas dan berkelakuan baik. Namun, segalanya tergantung keputusan instansi yang lebih tinggi.
Keputusan Laksusda menjadi penting, sebab jangan-jangan hal itu sebuah subversi. Pak Modin mendapat bocoran soal kontroversi itu. Dia menelepon Pati berbintang satu di Laksusda. Desas-desus mengenai peranan Wasripin itu pun segera mereda. GPL terus diburu, ada yang dihukum berat dianggap makar, 20 tahun, 15 tahun, 8 tahun, dan ada pula yang dibebaskan setelah melalui pembinaan. Mereka yang dibebaskan ialah yang dibawah umur, hanya ikut-ikutan, dan yang sekedar disangkut-sangkutkan. Hanya nama Wasripin yang masih merupakan ganjalan bagi pemerintah kabupaten.
3
RAMALAN paman Satinah tentang fitnah untuk Wasripin ternyata benar. Mula-mula mandor tebu berlari-lari ke desa malam hari. Sambil napasnya turun-naik ia bilang pada orang-orang di pos jaga, “Ada mayat membusuk!” Kemudian orang-orang desa mendatangi kebun tebu dengan baterei, teplok, petromak, dan obor. Sambil menutupi hidung mereka merubung mayat. Mayat
itu sukar dikenali, bajunya penuh darah mengering, luka sekujur tubuh. Mayat segera dibawa ke rumah sakit oleh polisi. “Dukun santet!” kata seorang. “Ya, sudah pasti! Aku kenal betul,” kata yang lain. Dukun itu bisa membuat orang busung perutnya, kemasukan paku pahanya, gatal-gatal kulitnya, mati pelan-pelan, dan mati seketika. Ketika orang-orang desa sudah yakin, mereka justeru senang. Ia merupakan aib desa. “Sokur!” kata mereka. “Modar! Itu saja belum setimpal. Seharusnya mayatnya dicacah-cacah,” kata seorang yang ayahnya mati kena santet. Mayat sudah dibawa pergi. Waktu dia masih hidup, mereka tidak bisa menghukumnya, tidak ada bukti. Polisi segera bertindak untuk mencari pembunuhnya. Tapi polisi tidak menemukan jejak apa pun. Kepada para wartawan yang datang polisi menyatakan, “Tunggu hasil autopsi.” Autopsi hanya menemukan mengapa ia meninggal, dengan apa ia dibunuh, ancar-ancar waktu pembunuhan, dan kira-kira berapa orang membunuhnya.
Di dua desa lain ada kejadian serupa. Seorang dukun penyembuh kedapatan mati di luar rumah. Nampaknya ia diseret keluar lalu dibunuh. Mayatnya dibawa ke rumah sakit. Kematiannya banyak diratapi orang. “Pembunuh ngawur!” kat orang desa itu. Polisi berusaha mengungkap peristiwa itu, tapi juga tak menemukan apa pun. Ada lagi kejadian. Seorang dukun pengasihan ditemukan mati di luar rumah. Padahal, dukun pengasihan itu orang baik: merukunkan suami-isteri yang hampir bercerai, memberi jodoh perawan dan jejaka tua, dan memberi kesempatan para isteri punya anak sebab para suami menjadi rajin. Dia akan menolak kalau ada orang tua minta pengasihan karena mencintai gadis muda. Seperti kasus pembunuhan lainnya mayatnya juga dibawa ke rumah sakit. Tapi juga sama saja dengan dua desa lainnya, hasil penyelidikan polisi nol besar. Penduduk jadi ragu-ragu akan kemampuan polisi. “Polisi? Ah!” “Polisi? Sontoloyo!”
Pemerintah Kabupaten mengkhawatirkan terjadinya anarki. Jangan-jangan penduduk yang tak puas mencari sendiri para pembunuh. Lalu beramai-ramai menghakimi. Mereka minta para ulama untuk menenangkan rakyat melalui khotbah, pengajian, dan ceramah. Pemerintah yakin benar, cepat atau lambat pembunuh akan tertangkap. Polisi menyatakan bahwa pelakunya tidak hanya seorang, tapi orang banyak. “Percayalah pemerintah!” “Percayalah polisi!” kata selebaran resmi di jalan-jalan, di pasar-pasar, di warung-warung, di tempat-tempat ramai.
Koran daerah membesar-besarkan berita pembunuhan itu. Mereka sudah menduga pemerintah akan mencari kambing hitam. Sebuah editorial menulis, “Menerima lamaran, calon kambing hitam.” Benar saja. Setelah polisi reserse mengotak-atik mereka menemukan sebuah nama, Wasripin yang dikenal sebagai dukun penyembuh di kampungnya. Dugaan itu bukan tak beralasan: dukun santet dibunuh karena memang musuh bebuyutan, dukun penyembuh dibunuh karena persaingan bisnis, dukun pengasihan dibunuh atas suruhan orang. Klop, sudah!
Kepala Polisi Kabupaten itu geleng-geleng kepala, “Dia lagi!”. Ia segera memerintahkan polisi untuk memanggil Wasripin. Kepala Polisi sendiri yang menginterogasinya. Menurut penglihatannya Wasripin tidak punya wajah
kriminal. Tapi orang sering nyolong pethek, penampilan dan kelakuan tidak sama.
“Namamu?”
“Wasripin.”
“Bin, siapa?”
“Tidak tahu, Pak.”
“Masak ada orang tidak tahu ayahnyaj.”
“Sumpah, Pak!”
“Ya sudah. Pekerjaan?”
“Satpam TPI.”
“Pekerjaan sampingan?”
“Tidak ada.”
“Bohong! Dukun penyembuh?”
“Itu bukan pekerjaan.”
“Bukan bagaimana?”
“Ya, begitu saja. Menolong ya menolong. Begitu pesan orang tua itu.”
“Punya orangtua to, namanya?”
“Tidak tahu.”
“Alamatnya?”
“Tidak tahu.”
“Nanti dulu. Kau tidak memungut bayaran?”
“Tidak, Pak. Kata Pak Modin hidup ini hanya untuk mencari ridha Tuhan.”
“Tapi ya itu, Pak. Jadi dukun itu banyak senangnya. Kalau sedang musim rambutan ya rambutan datang sendiri, kalau musim durian ya durian datang sendiri, kalau musim mangga ya mangga datang sendiri, tidak tahu siapa yang memberi. Kawan-kawan yang ikut senang, kalau ada orang mengirim apa-apa.”
“Jadi kau senang, kalau ada pasien sakit kanker payudara, kesempatan meremas-remas. Lebih lagi kalau kanker rahim, ya?”
“Ya tidak, to Pak. Karena saya mengharuskan pasien wanita ditemani suami. Dan memijatnya dari jauh, kata orang tangan saya mengeluarkan tenaga.”
Kepala Polisi menulis di formulir, “Sudah. Kau boleh pulang. Ini surat-suratnya, barangkali kau perlu.”
Wasripin kembali, diiringi wajah-wajah bertanya para serse. Bahwa Kepala Polisi membebaskan segera menyebar di kalangan pemerintah, dewan, tentara, dan pengadilan. Mereka menyesalkan polisi yang terlalu lunak. Kepala Polisi diundang Dewan Perwakilan untuk dengar pendapat.
“Pembunuhnya sudah tertangkap. Mengapa dilepaskan?”
“Polisi memakai asas ‘Praduga Tak Bersalah’.”
“Sudah dipikirkan akibatnya?”
“Kami sudah menduga. Pembunuh semakin berani.”
“Anarki?”
“Tidak akan terjadi.”
“Polisi percaya rakyat.”
“Rakyat tidak percaya polisi?”
“Rakyat akan percaya. Lebih baik membebaskan orang yang tak bersalah daripada salah tangkap.”
Dewan mengusulkan Kepala Polisi dimutasikan. Beberapa hari kemudian memang dia dipindahkantugaskan. Kasus pembunuhan itu dinyatakan sebagai dark number oleh pengadilan, artinya tidak pernah diurus lagi.
4
ANTARPEMUDA di desa nelayan kita dengan desa sebelahnya saling menyatroni. Kejadiannya semula sederhana saja. Hari sudah mulai gelap, tidak ada andong, tidak ada colt, tidak ada ojek. Seorang gadis dari desa lain minta diantar pulang oleh pemuda dari desa nelayan yang kebetulan lewat dengan sepeda motor.
“Sampai pinggir desa saja, ya?”
“Sampai rumah, dong!”
“Nanti pacarmu marah.”
“Pacar apaan. Saya belum punya pacar, kok.”
“Ya sudah, kalau begitu.”
Tapi para pemuda desa yang setiap sore suka ngrumpi di pertigaan jalan desa melihatnya, dan jadi penasaran. Pemuda nelayan itu dihentikan, dihujani pukulan sampai babak belur, dan motornya ringsek. Rengekan gadis untuk menghentikan pukulan tidak digubris.
Sebelum pulang ke rumah, pemuda nelayan itu mampir ke tampat Wasripin. Tulang-tulangnya seperti patah-patah, kepalanya benjol-benjol, seluruh badannya lebam. Ia lari, tapi kakinya yang pincang menghambatnya. Napasnya keras. Pemuda-pemuda surau tahu ia ke samping surau. Mereka mengikutinya. Wasripin memijit-mijit dan disuruhnya minum air putih. Setelah selesai, tanya teman-temannya,
“Kau kok ngos-ngosan. Apa yang terjadi?”
“Jatuh dari sepeda motor.”
“Tidak mungkin. Jatuh tidak babak belur seperti itu.”
“Sungguh, kok.”
“Berkelahi ya?”
“Tidak, mana aku punya potongan.”
“Jujur saja.”
“Suruh jujur apalagi?”
“Mana sepeda motormu?”
“Apa sepeda motor dibawa ke mana-mana?”
Mereka lalu bubar. Semuanya berakhir di situ, kalau tidak pagi-pagi sekali seorang pekerja bengkel sepeda motor datang menggotong sepeda yang ringsek. Ia berhenti di surau.
Katanya, “Aku tahu ini pasti milik orang sini. Sepeda motor ini bengkelnya di tempat saya bekerja.” Para pemuda mengamati. “Di mana ditemukan?” Ia menyebut nama desa. “Kata orang, orang yang membawa motor ini habis-habisan dihajar pemuda desa.”
“Jelas sekarang!”
“Siaaap!”
Pemuda-pemuda lalu berkumpul di depan surau. Puluhan pemuda itu pergi berboncengan sepeda motor. Mereka berpapasan dengan gadis yang minta dibonceng kemarin. Dia datang ke desa itu untuk minta maaf kejadian semalam. Gadis itu merasa akan terjadi sesuatu, lalu kembali ke desanya. Pemuda yang marah itu menangkap seseorang yang akan ke sawah, lalu memukulnya. “Pergi, bilang pemuda-pemuda sini kalau kami menanti di perempatan!” Gadis datang dan mengatakan kalau dia yang bersalah, tidak ada tanggapan. Pemuda-pemuda nelayan itu membunyikan knalpot dan klakson keras-keras. Tidak seorang pemuda pun keluar. Berulang-ulang mereka meneriakkan tantangan. Tidak seorang pemuda pun. Aparat desa melarang mereka keluar, sebab mereka tahu apa yang akan terjadi. Tiba-tiba satu truk polisi datang. Melalui megaphone mereka menyuruh pemuda-pemuda nelayan untuk pulang. Pemuda-pemuda di perempatan jalan itu pulang. Mereka berteriak, “Tidak sekarang, ya besok pagi,” “Tidak di sisni, ya di jalan!”
Peristiwa masih berlanjut. Ada pengeroyokan dan perkelahian antarpemuda di mana saja: di jalan, di pasar, di warung. Aparat kedua desa bertemu, mereka sepakat untuk rujuk. Diundanglah wakil-wakil pemuda dari dua desa. Mereka sepakat untuk menghentikan permusuhan. Tapi polisi tidak puas sampai di situ saja. Mereka menyebar intel untuk mencari biak kerok perkelahian itu. Akhirnya nama Wasripin keluar. Sebelum pergi mereka berkumpul di depan surau. Pemuda nelayan yang babak belur akan datang ke Wasripin minta disembuhkan. Kesimpulannya, Wasripin ada di balik para pemuda.
Kepala Polisi Kabupaten menolak untuk menandatangani pemanggilan. Alasannya, reserse telah salah panggil. Ia tidak percaya kerja intel, “Intel Melayu!” katanya. Bahwa Kepala Polisi menolak menandatangani pemanggilan menjadikan bagian reserse resah. Mereka diam-diam merencanakan pemogokan.
5
PEMOGOKAN itu benar-benar terjadi waktu ada tawur antara pendukung Partai Randu dan Partai Langit.
Ketua Partai Randu dan para pimpinan pusat akan datang. Polisi dikerahkan, menjaga titik-titik rawan dua hari sebelum hari-H. Rencana kunjungan itu tersebar luas. Koran-koran daerah dan pusat diramaikan dengan perang pernyataan. Partai Langit menuduh Partai Randu mencuri start, kampanye sebelum waktunya. Partai Randu membantah, katanya itu hanya pertemuan biasa untuk konsolidasi. Partai Langit mengatakan pertemuan biasa itu seharusnya tanpa pidato-pidato di alun-alun kota.
Ceritanya, panggung calon tempat pidato Ketua Partai Randu roboh pagi-pagi, hanya beberapa jam sebelum dipakai. Panitia geger,tidak mungkin lagi membuat panggung. Pimipinan Partai Randu menuduh Partai Langit yang telah berbuat itu. Partai Langit membantah, menyatakan perlunya dibentuk tim pencari fakta independen. Polisi menyatakan ada pihak ketiga sengaja
memperkeruh situasi. Kepala Polisi berjanji akan mencari pihak ketiga itu, artinya ekstrem kiri (PKI), ekstrem kanan (DI/TII), dan Golput. Rapat di alun-alun dibatalkan, jadi hanya ada rapat tertutup.
Sementara itu, penduduk di sekitar kantor-kantor partai membuat ulah. Jalan-jalan menuju kantor partai lawan penuh rintangan: drum-drum, kayu, ban bekas, dan dijaga Satgas masing-masing. Mereka yang mau masuk ke suatu wilayah harus menunjukkan kartu identitas, menemui siapa, dan maksud kedatangannya. Suasana seperti perang. Pedagang, tukang becak, sopir-sopir, anak sekolah, guru, pegawai, penunggu toko, semuanya mengeluh. Di depan kantor Walikota ada unjuk rasa spontan. Mereka minta pemerintah bertindak tegas terhadap para Satgas yang memblokir jalan. Polisi bertindak, tapi mereka kalah berdebat dengan Satgas.
“Bubar! Bubar!”
“Jalan ini, jalan rakyat! Polisi jangan memihak!”
“Karena itu jangan halangi rakyat yang mau lewat!”
“Kami juga rakyat, Pak!”
Baru ketika tentara ikut operasi pembersihan barikade, Satgas bubar.
Pimpinan Pusat Partai Randu menyesalkan peristiwa itu. Surat protes ditujukan pada Walikota, Dewan Perwakilan, dan Kepala Polisi. Janji Kepala Polisi untuk mencari pihak ketiga ditagih. Kepala Polisi memerintahkan bagian serse untuk mencarinya. Mereka bekerja dengan ogah-ogahan dengan prinsip nggih ora kepanggih (disanggupi tapi tidak dilaksanakan sungguhan). Mereka menangkap pedagang yang akan ke pasar, sopir truk, dan tukang becak lalu diserahkan Kepala Polisi untuk interogasi.
Kepala Polisi marah-marah. Katanya, bagian serse kerja sembarangan, salah-salah menangkap. Lalu memanggil kepala bagian serse.
“Disuruh menangkap siapa lagi?”
“Pihak ketiga itu.”
“Nanti dibebaskan lagi.”
“Asal tidak salah tangkap saja. Kerjakan!”
“Siap, Pak. Kerjakan!”
Mereka sudah tahu orangnya. Mereka berangkat untuk menangkap Wasripin yang dipersangkakan Golput. Dia sedang istirahat di emper surau, omong-omong bersama kawan-kawannya, para nelayan yang tak melaut. Polisi datang dengan sebuah mobil sedan.
“Minggir semua, kecuali Wasripin!”
Orang-orang minggir.
“Kau ikut kami ke markas!” kata mereka pada Wasripin.
Seorang nelayan yang baru saja mengikuti kursus kesadaran hukum (Kadarkum) maju.
“Ada perintah?”
“Ada atau tidak, ini perintah!”
“Nanti dulu, Bapak-bapak. Warga negara tak bisa ditangkap begitu saja. Mana surat perintahnya?”
“Tidak ada. Pokoknya ikut kami!”
“Tidak bisa!”
“Ikut!”
“Tidak!”
Wasripin menengahi.
“Begini saja. Biarlah saya ikut, tapi kawan-kawan ini juga.”
Para polisi berunding.
“Ya, sudah.”
Wasripin dan kawan-kawannya yang berboncengan sepeda motor tiba di kantor polisi. Kepala Polisi melihat wajah Wasripin dan para nelayan yang memenuhi minibis terbuka itu. Mukanya merah. Menutup telinga.
“Sudah, sudah! Bawa mereka kembali! Aku tak mau dengar alasan!”
0 Comments:
Post a Comment