Topeng Sang Putri Part 3


7


“Selamat pagi, Paduka.”
Illyvare meninggalkan jendela kamarnya.
“Saya membawa jadwal kegiatan Anda untuk hari ini. Pagi ini Anda dan Paduka Raja akan berkeliling Skellefreinth dan memberi pidato di tempat-tempat penting.”
Linty memberikan jadwal itu pada Illyvare.
Illyvare tidak membacanya. Ia hanya melihatnya. Gadis itu tahu kegiatan sehari-harinya akan penuh seperti ini.
“Sarapan telah siap, Paduka. Anda ingin makan di sini atau di Ruang Makan?”
“Ruang Makan,” Illyvare menjawab singkat.
“Baiklah, Paduka,” Linty mengangguk mengerti, “Silakan duduk di sini, Paduka. Saya akan merapikan rambut Anda.”
Illyvare duduk di meja rias sementara Linty menata rambutnya. Setelah selesai menggelung rambut Illyvare, Linty berkata, “Sudah selesai, Paduka.”
“Terima kasih.”
“Sudah menjadi tugas saya melayani Anda, Paduka,” kata Linty, “Saya akan mengantar Anda ke Ruang Makan.”
Illyvare mengikuti Linty menuju Ruang Makan. Semalam ketika Elleinder mengantarnya ke kamar yang sudah dipersiapkan untuknya, Illyvare tidak sempat menghafalkan bagian-bagian Istana yang telah dilaluinya. Illyvare terlalu lelah untuk memperhatikan sekelilingnya. Bahkan ketika makan pun, Illyvare sama sekali tidak bernafsu. Ia merasa sangat lelah.
Penjaga pintu membungkuk hormat melihat kedatangannya dan membukakan pintu.
“Silakan, Paduka,” Linty mempersilahkan.
Illyvare terus melangkah masuk sedangkan Linty tetap di tempatnya.
“Selamat pagi, Illyvare,” Elleinder mencium tangannya. “Engkau dapat tidur nyenyak?”
Illyvare mengangguk.
“Aku senang mendengarnya. Hari ini kita akan melakukan banyak kegiatan di luar Istana dan itu akan sangat melelahkanmu.”
Elleinder menarikkan kursi untuk Illyvare.
“Engkau telah menerima jadwal kegiatanmu?”
Lagi-lagi Illyvare hanya mengangguk.
Pelayan mulai membawa masuk baki-baki perak. Mereka meletakkan baki itu di depan mereka.
Seperti biasa, Illyvare berdiam diri. Elleinder juga tidak banyak berbicara. Ia telah tahu sifat pendiam Illyvare. Sepanjang makan pagi itu Elleinder menjelaskan tempat-tempat yang akan mereka datangi dan apa saja yang akan mereka lakukan.
Seusai makan pagi, Illyvare kembali ke kamarnya untuk mengambil topi. Kemudian ia menuju pintu depan tempat Elleinder telah menantinya.
Sebuah kereta emas yang lain telah siap mengantar mereka ke Skellefreinth dan ke semua tempat yang akan mereka datangi hari ini.
Seperti kemarin, sepanjang jalan dipenuhi orang yang ingin bertemu Ratu mereka, Illyvare. Tetapi sayang hari ini mereka tidak menaiki kereta terbuka tetapi kereta yang tertutup.
Sesekali Illyvare mengintip keluar. Jendela kereta membuat wajahnya tak tampak dari luar.
“Engkau sudah siap?”
Illyvare mengangguk. Ia telah siap melakukan segala kegiatannya sebagai seorang Ratu sejak ia melangkah menuju altar. Ia telah siap menghadapi semuanya.
“Hari ini akan terasa sangat berat,” Elleinder mengingatkan, “Tetapi besok sudah tidak lagi. Hanya hari ini kita akan berkeliling Skellefreinth untuk memberikan pidato dan melakukan berbagai macam hal.”
Illyvare mendengarkan dengan tekun. Ia tidak pernah meninggalkan Istana Vezuza untuk menemui rakyatnya tetapi dari kesibukan ayahnya, Illyvare tahu beratnya menjadi seorang Raja apalagi Raja dari dua kerajaan.
Kereta berhenti di depan sebuah bangunan yang besar. Pada bangunan itu tertulis huruf-huruf besar, “Gedung Pertemuan”.
“Penduduk Skellefreinth selalu mengadakan rapat-rapat besar dan penting mereka di sini. Kadang tempat ini juga digunakan untuk pementasan drama dan konser besar.”
Illyvare tidak menanggapi penjelasan Elleinder itu. Gadis itu melihat orang-orang yang membungkuk hormat pada mereka. Di antara mereka ada yang datang mendekat.
“Selamat datang, Paduka,” sambutnya, “Silakan masuk, Paduka.”
Kemudian pria itu mengantar mereka ke sebuah ruangan yang telah dipenuhi orang. Orang-orang itu membungkuk hormat melihat kedatangan mereka. Pria itu terus mengantar Elleinder dan Illyvare ke tempat yang telah disediakan untuk mereka.
Setelah Elleinder dan Illyvare duduk, acara dimulai. Sambutan-sambutan diucapkan pertama-tama dari penanggung jawab acara ini hingga ke ketua pengurus gedung ini.
Elleinder terkejut melihat Illyvare tidak mengantuk mendengar pidato yang panjang lebar ini. Ia menduga seorang gadis yang selama ini hidup tenang di dalam Istananya yang megah tak biasa mendengar pidato yang diucapkan dengan monoton selama dua jam ini. Tetapi Illyvare tidak tampak bosan maupun mengantuk. Ia tetap duduk dengan tenang mendengarkan setiap ucapan penanggung jawab acara ini.

Walau Illyvare tidak pernah muncul di hadapan umum, bukan berarti ia tidak terbiasa mendengar pidato sepanjang ini. Ia terlalu sering mendengar pidato yang lebih panjang dari ini.
Setiap kali memberi pengarahan atau nasehat pada putrinya, Raja Leland selalu berbicara panjang lebar. Bila ia sedang bersemangat, nasehat-nasehatnya bisa terucapkan terus-menerus selama lebih dari tiga jam.
Elleinder tidak tahu itu.
Illyvare sudah tahu panjangnya sebuah acara penting seperti ini. Sebenarnya acara ini hanya jamuan makan siang biasa. Namun karena ada sepasang orang terpenting dari dua kerajaan, maka sebuah jamuan bisa sepanjang ini. Karena seorang pria dan seorang gadis, jamuan makan siang ini telah dimulai ketika hari masih menunjukkan pukul setengah sepuluh.
Illyvare melihat beberapa orang telah bosan mendengarkan pidato yang panjang lebar dari penanggung jawab acara ini. Tetapi bukan berarti kebosanan mereka telah berakhir, masih ada pidato dari ketua pengurus gedung ini sebelum tiba pidato terakhir yaitu dari Elleinder. Beberapa orang tampak berusaha menutupi kantuk mereka dengan berbisik-bisik.
Duduk di podium atas samping orang banyak itu membuat Illyvare dapat melihat semua yang hadir dengan jelas.
Ketika akhirnya tiba giliran Elleinder untuk memberikan pidatonya, beberapa orang telah terkantuk-kantuk.
Elleinder berjalan ke podium diiringi tepuk tangan. Illyvare terus memandang tenang ke podium.
“Saya tidak akan berkata banyak. Saya hanya mengharapkan dukungan dari Anda semua dalam pemerintahan saya bersama istri saya, Putri dari Kerajaan Aqnetta, Putri Illyvare.”
Elleinder mengulurkan tangannya ke arah Illyvare yang duduk dengan tenang di tempatnya. Melihat semua orang memalingkan kepada ke arahnya, Illyvare berdiri dan memberikan senyuman tipis sambil sedikit menganggukan kepala.
“Setelah hari ini, saya berharap Anda semua mau bersama-sama saya semakin mengeratkan hubungan dengan Kerajaan Aqnetta dalam segala hal. Tentu saja saya tetap akan berusaha sebaik-baiknya demi kemakmuran kerajaan ini. Akhir kata saya sangat mengharapkan dukungan Anda semua dalam usaha saya mempererat hubungan Kerajaan Skyvarrna dengan Kerajaan Aqnetta.”
Semua orang kembali bertepuk tangan.
Illyvare menyembunyikan kekagumannya pada pidato Elleinder yang singkat namun penuh semangat itu, di balik sikap tenangnya.
Elleinder kembali ke sisi Illyvare.
Pria yang tadi menyambut kedatangan mereka, berdiri di podium depan dan berkata, “Terima kasih kami ucapkan pada Yang Mulia Paduka Raja Elleinder atas kesediaan Anda memberikan pidato pada siang hari ini. Saya mewakili semua yang hadir di sini mengucapkan selamat kepada Anda. Semoga Anda berdua hidup bahagia untuk selamanya.”
Semua kembali bertepuk tangan sambil melihat Elleinder dan Illyvare yang telah berdiri di podium atas itu.
“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, makanan telah siap. Silakan menuju ruang yang telah disediakan,” pria itu melanjutkan.
Elleinder melihat jam sakunya. “Sudah kuduga pidato sambutan ini akan sampai pukul dua belas lebih.”
Elleinder membantu Illyvare berdiri.
Prajurit memberi jalan pada mereka dan terus mengawal ketika mereka melewati kerumunan orang banyak.
Pria yang tadi disebut sebagai ketua pengurus gedung ini, mendekati mereka. “Ijinkan saya mengantar Anda ke ruang makan, Paduka.”
“Silakan,” jawab Elleinder.
Pria itu mengantarkan mereka hingga ke meja makan panjang di sebuah ruangan. Ia menunjukkan tempat duduk Elleinder di ujung meja dan menarikkan kursi untuk Illyvare di samping kanan Elleinder.
“Terima kasih,” kata Illyvare lirih tak terdengar di keramaian itu.
Beberapa orang yang belum duduk segera menempati tempat yang telah diatur untuk mereka.
Di depan Illyvare duduk seorang wanita dan di kirinya seorang pria setengah baya. Namun Illyvare tidak tampak memperhatikan keberadaan mereka juga keberadaan Elleinder.
Ketika dalam perjamuan itu orang-orang di sekitarnya berbicara, Illyvare hanya diam mendengarkan dengan tekun.
Elleinder yang sudah kenal betul sifat Illyvare hanya tersenyum melihat gadis itu tetap diam dalam ketenangannya. Tetapi orang lain yang belum mengenal baik Illyvare, khawatir.
“Apakah ia bisu?” bisik beberapa di antara mereka. “Mungkin ia tidak mengerti bahasa Latin,” bisik yang lain.
Illyvare yang diam dalam ketenangannya itu dapat mendengar setiap bisikan itu tetapi ia tidak mempedulikannya. Selama ini ia telah membiarkan orang-orang mempunyai anggapan yang aneh-aneh tentang dirinya. Sekarang ia juga tidak memikirkan kata-kata mereka itu.
“Saya dengar Kerajaan Aqnetta mempunyai banyak tempat yang indah. Apakah itu benar, Paduka Ratu?” Orang yang duduk di samping Illyvare mencoba mengajak Illyvare bicara dengan bahasa Kerajaan Aqnetta.
Illyvare hanya mengangguk. Dan membuat tiap orang yang hadir semakin merasa dugaan mereka benar.
“Raja Leland pasti menyembunyikannya karena ia bisu,” beberapa dari mereka berbisik penuh keyakinan.
Samar-samar Illyvare dapat mendengar bisikan itu tetapi ia bersikap seolah-olah ia tidak mendengarnya. Tiba-tiba Illyvare merasa seseorang sedang memandang tajam ke arahnya. Tanpa sadar ia telah memalingkan kepala ke arah perasaan itu berasal.
Wanita berambut merah itu cepat-cepat membuang muka ketika Illyvare melihatnya. Ia bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa dan mengajak pria di sampingnya berbicara.
“Ada apa, Illyvare? Apakah ada yang membuatmu merasa tidak nyaman?” tanya Elleinder cemas melihat sikap Illyvare.
Melihat Illyvare menggeleng, Elleinder bertanya lagi, “Engkau yakin?”
Illyvare mengangguk.
“Baiklah,” Elleinder mengalah, “Kalau ada sesuatu yang tidak beres, beritahu aku.”
Illyvare mengangguk lagi.
Tanpa disadarinya, Illyvare membuat setiap orang di sana semakin yakin ia tidak dapat berbicara. Elleinder telah mengajaknya berbicara dengan bahasa Kerajaan Aqnetta tetapi sedikitpun ia tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggerakkan kepalanya sebagai jawabannya.
Kalaupun Illyvare menyadari, hal itu tidak akan mengusiknya. Illyvare terlalu tenang untuk diganggu. Setelah peristiwa kecil tadi, Illyvare kembali dengan tenang menghadapi makanan dan tidak banyak berbicara.
Akhirnya makan siang terpanjang yang pernah dialami Illyvare dalam hidupnya itu selesai. Belum pernah Illyvare merasa suatu makan siang bisa selama itu karena tamu yang makan bersama mereka lebih dari tiga puluh orang dan juga karena pembicaraan selama hidangan disajikan itu.
Seperti biasa, Elleinder mengulurkan tangan membantu Illyvare bangkit dari kursinya dan mengapit tangan Illyvare dengan sikunya.
Orang-orang itu mengantar kepergian Elleinder dan Illyvare hingga di depan kereta.
“Sekali lagi saya mewakili kami semua mengucapkan terima kasih atas kedatangan Anda dalam jamuan makan siang ini,” pria yang tadi disebut sebagai penanggung jawab acara berkata.
“Aku juga berterima kasih atas jamuan yang mewah ini,” balas Elleinder.
Seorang pasukan pengawal membuka pintu kereta.
“Terima kasih atas jamuan yang menyenangkan ini,” kata Illyvare dalam bahasa Latin Kuno.
Kata-kata yang diucapkan perlahan tetapi cukup keras untuk didengar oleh semua yang berdiri di dekat kereta kuda itu membuat semua orang terpana.
Orang-orang itu masih terpana di tempatnya ketika kereta melaju meninggalkan tempat itu.
Di dalam kereta, Elleinder tertawa geli.
“Engkau pintar, Illyvare,” pujinya, “Aku tak menyangka engkau pandai membuat orang-orang terkejut hingga melupakan segala-galanya.”
Illyvare memandang Elleinder dengan keheranan.
“Aku tidak tuli, Illyvare. Aku juga mendengar bisik-bisik mereka itu. Sebelum engkau berbicara tadi, aku bermaksud mengajakmu berbicara sehingga semua orang tahu engkau tidak bisu juga mengerti bahasa kami.”
“Caramu itu akan membuat setiap orang tutup mulut,” puji Elleinder, “Engkau akan membuat orang-orang yang suka bergunjing itu menutup mulutnya rapat-rapat selama berhari-hari.”
Illyvare tidak menanggapi.
Kembali Elleinder melihat Illyvare memandang jauh ke depan. Sering ia melihat Illyvare seperti ini.
Pernah suatu kali ketika Illyvare memandang jauh, Elleinder bertanya, “Apakah yang sedang kaupikirkan? Apakah engkau memikirkan seseorang?”
Illyvare menggeleng tanpa berkata apa-apa.
Bukan hanya sekali Elleinder menanyakannya, tetapi jawaban Illyvare tetap sama. Akhirnya Elleinder hanya dapat membuat kesimpulan Illyvare suka memandang jauh.
“Sekarang kita akan menuju pemakaman keluarga kerajaan di belakang Katedral Agung Machiavell. Aku ingin engkau mengenal leluhur-leluhurku. Ini sudah menjadi kebiasaan dalam kerajaan kami bahwa setiap menantu keluarga raja harus dibawa mengunjungi leluhur-leluhur kerajaan setelah menikah. Seharusnya kemarin sore kita ke sini tetapi karena kita baru tiba malam hari, maka kunjungan ini ditunda sampai saat ini.”
Illyvare terus melihat keluar jendela hingga mereka tiba di Katedral Agung Machiavell.
Seorang prajurit membukakan pintu kereta. Ia membungkuk hormat ketika Illyvare melewatinya.
Beberapa biarawati menanti mereka di depan bangunan gereja yang besar itu.
Seorang pendeta tua menghampiri mereka. “Selamat datang, Paduka. Kami senang Anda mau berkunjung ke tempat ini,” sambutnya.
“Ia adalah Pater di Katedral Agung Machiavell ini, Pastur Marcellus,” Elleinder memperkenalkan, “Pastur Marcellus, ini adalah Putri dari Kerajaan Aqnetta yang kini menjadi istriku, Putri Illyvare.”
“Merupakan suatu kerhormatan bagi saya untuk dapat berkenalan dengan Anda, Paduka Ratu,” kata Pastur Marcellus, “Ijinkan saya mewakili semua yang ada di sini mengucapkan selamat datang di Kerajaan Skyvarrna. Semoga Anda senang tinggal di sini.”
“Terima kasih, Pastur Marcellus. Aku senang dapat mengenal kalian semua dan kerajaan yang luas ini,” Illyvare berkata tenang.
Pastur Marcellus berkata, “Ijinkan saya mewakili semua yang tinggal di Gereja ini mengucapkan selamat atas pernikahan Anda berdua, Paduka. Semoga Anda hidup bahagia selamanya.”
“Terima kasih, Pastur Marcellus,” kata Elleinder. “Engkau tentu telah mengetahui maksud kedatangan kami ke sini.”
“Tentu, Paduka,” sahut Pastur Marcellus, “Silakan masuk. Saya akan mengantar Anda ke pemakaman keluarga kerajaan.”
Pastur Marcellus berjalan di samping Elleinder dan menunjukkan jalan ke belakang Katedral Agung Machiavell.
Di tempat yang luas itu terdapat makam yang megah. Itulah makam-makam raja-raja dan ratu Kerajaan Skyvarrna terdahulu. Di sini pula terdapat makam orang tua Elleinder.
Illyvare melihat di antara makam-makam itu ada sebuah yang sangat megah dan diberi pagar batu di sekelilingnya.
Beberapa prajurit muncul membawakan keranjang bunga. Sementara Pastur Marcellus membawa Elleinder dan Illyvare berkeliling, mereka dengan setia mengikuti di belakang. Di tiap makam, mereka berhenti untuk menaburkan bunga.
Mereka berjalan menurut urutan raja-raja itu dimulai dari raja pertama Kerajaan Skyvarrna hingga orang tua Elleinder.
Ketika sampai di makam termegah itu, Elleinder berkata, “Beliau adalah raja terbesar kami. Beliaulah yang membuat kerajaan ini menjadi seluas ini.”
Illyvare menatap lekat-lekat nisan itu. Bahkan ketika mereka meninggalkan makam itu, Illyvare masih melihatnya.
“Ada apa, Illyvare?” tanya Elleinder penuh perhatian, “Apakah ada sesuatu pada makam itu?” Kemudian Elleinder bergurau, “Apakah engkau melihat Raja Geroge VIII?”
“Kurasa.”
Mereka meneruskan berkeliling makam hingga ke makam yang terakhir. Setelah menabur bunga di makam orang tua Elleinder, mereka kembali ke Katedral Agung Machiavell untuk berdoa bagi leluhur keluarga Kerajaan Skyvarrna.
Pastur Marcellus terus mendampingi Elleinder dan Illyvare hingga mereka kembali ke kereta kuda. Usai mengucapkan selamat tinggal, mereka naik ke kereta dan melaju kembali ke Istana Qringvassein.
“Ada yang mau kaukatakan?”
“Tidak,” kata Illyvare tenang.
“Aku tahu engkau mengetahui sesuatu tentang Raja Geroge VIII dan engkau ingin mengatakannya. Tetapi kalau engkau tidak mau mengatakannya, aku mengerti. Mungkin suatu hari nanti engkau akan mengatakannya. Aku percaya itu.”
Illyvare menunduk mendengar pengertian Elleinder. Ia senang Elleinder dapat mengerti dirinya. Sungguh suatu keajaiban bagi Illyvare bahwa ada orang yang mengerti dirinya walau ia tidak mengatakan apa-apa.
“Engkau akan mengatakannya suatu hari nanti, bukan?”
Illyvare ragu-ragu. Ia khawatir apa yang diketahuinya berakibat tidak baik bagi hubungan kedua kerajaan ini.
“Sekarang kita kembali ke Istana Qringvassein,” Elleinder mengalihkan pembicaraan, “Aku yakin engkau lelah. Aku mengerti engkau tidak terbiasa dengan kesibukan seperti ini, karena itu kuputuskan untuk tidak terlalu memperpadat jadwal kegiatan sehari-harimu. Engkau akan lebih banyak berada di Istana Qringvassein sampai engkau terbiasa dengan kesibukan ini.”
Illyvare melihat Elleinder.
Elleinder tersenyum. “Tentu saja aku akan menemanimu.”
Tak lama kemudian mereka tiba di Istana Qringvassein.
“Beristirahatlah,” kata Elleinder, “Setelah ini kita tidak mempunyai kegiatan lagi.”
Illyvare menuju kamarnya. Dengan tenang ia melintasi Hall yang dipenuhi orang banyak. Ia mendengar orang-orang itu berbisik-bisik ketika ia berjalan, tetapi ia tidak memperhatikannya dan terus melangkah.
Malam itu seusai makan malam, Illyvare memadangi langit malam melalui jendela kamarnya.
Di bawah sana prajurit yang bertugas menjaga Istana telah berkeliling. Pintu gerbang Istana telah ditutup rapat. Skellefreinth telah memancarkan cahaya malamnya. Kota-kota lain juga telah menunjukkan sinar malamnya.
Pandangan Illyvare menerang jauh menembus langit malam. Tidak ada yang dipikirkan gadis itu. Ia duduk dan memandang langit malam yang dipenuhi awan. Hanya itu.
Melalui jendela kamarnya, Illyvare dapat melihat Ruang Kerja di lantai dua menyala terang. Ia dapat melihat bayangan Elleinder yang sedang duduk menghadap meja kerjanya.
Sekilas Illyvare melihat sekelebat bayangan hitam di pepohonan depan. Illyvare tidak mengkhawatirkan siapa mereka. Ia tahu mereka siapa.
Tiba-tiba saja Illyvare sadar sebagai Raja Kerajaan Aqnetta, Elleinder harus mengetahui tentang Reischauer. Ia yakin pria itu pernah mendengar tentang Reischauer tetapi tidak mengetahui apa yang harus diketahuinya. Illyvare memutuskan untuk memberitahu Elleinder secepatnya.
Illyvare mengambil mantel untuk menutupi gaun tidurnya dan melangkah menuju Ruang Kerja.
Di sepanjang koridor Istana lilin-lilin bersinar terang. Angin yang masuk melalui celah-celah jendela mempermainkan api lilin. Pelayan-pelayan tidak tampak di sepanjang koridor.
Hari telah menunjukkan pukul setengah dua belas dan sudah waktunya bagi mereka untuk beristirahat.
Illyvare mengetuk perlahan pintu Ruang Kerja dan membukanya perlahan-lahan.
“Illyvare!” Elleinder terkejut melihat gadis itu berdiri di ambang pintu, “Apa yang kaulakukan malam-malam buta seperti ini?”
Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Elleinder. Dengan tenang, ia mendekati meja kerja Elleinder.
Elleinder berdiri dan mendekati Illyvare. Elleinder membawa Illyvare ke kursi depan meja kerjanya. “Duduklah,” katanya.
Elleinder duduk di meja di depan Illyvare dan bertanya “Apakah ada yang membuatmu terjaga?”
“Tidak,” kata Illyvare tenang, “Ada yang ingin saya katakan pada Anda.”
“Aku siap mendengarkannya.”
“Saya yakin Anda pernah mendengar nama Reischauer.”
“Saya akan memberitahu Anda apa yang harus Anda ketahui sebagai Raja Kerajaan Aqnetta,” Illyvare tetap berkata tenang, “Tugas utama Reischauer adalah melindungi Kerajaan Aqnetta dari serangan musuh. Bila pasukan Kerajaan Aqnetta tidak dapat menghalau musuh, mereka baru ditugaskan. Reischauer langsung berada di bawah pimpinan Raja Kerajaan Aqnetta.”
“Raja Kerajaan Aqnetta yang keturunan asli rakyat Kerajaan Aqnetta,” Illyvare menegaskan. “Selain melindungi Kerajaan Aqnetta, Reischauer  juga bertugas melindungi keluarga kerajaan bila mereka keluar wilayah kerajaan.”
“Jadi, sekarang mereka ada di sini?”
“Ya,” jawab Illyvare singkat.
Elleinder kagum. Ia sama sekali tidak merasakan keberadaan orang lain di sekitarnya selain Illyvare, tetapi Reischauer ada di sini. Di suatu tempat di sekitar ini.
“Ini artinya mereka telah ada di sekitarmu sejak kita meninggalkan Gereja Chreighton. Dan mereka juga ada dalam kapal kita.”
Illyvare tidak menjawab. Ia tahu Elleinder telah mengetahui jawabannya.
Kekaguman Elleinder pada pasukan rahasia Kerajaan Aqnetta semakin bertambah. Tanpa membuat awak kapal curiga, mereka telah menjadi penumpang gelap. Tidak seorang pun selain Illyvare yang tahu dalam kapal mereka ada sekelompok pasukan lain. Mereka terus mengawal Illyvare sejak gadis itu meninggalkan Istana Vezuza tetapi tidak seorang pun yang tahu.
Pasukan pengawal Kerajaan Skyvarrna bukan pasukan sembarang. Mereka telah terlatih untuk memperhatikan setiap gerakan di sekeliling mereka tetapi tidak ada yang mampu merasakan keberadaan Reischauer. Tak heran bila pasukan rahasia ini ditakuti banyak orang.
“Reischauer memiliki keahlian tinggi untuk menyamar, menyusup dan membunuh. Mereka berani mengorbankan diri demi Kerajaan Aqnetta dan mereka tidak akan segan-segan membunuh setiap orang yang mengancam keselamatan Kerajaan Aqnetta.”
“Mereka juga tidak akan segan membunuh setiap orang yang mengancam keselamatanmu,” tambah Elleinder.
“Tugas mereka menyelidik, membunuh dan melindungi. Mereka dapat membunuh tanpa tanda-tanda yang jelas dan cara mereka membunuh tidak ada ampun.”
Elleinder memperhatikan sekelilingnya dan berharap dapat melihat seorang di antara mereka.
“Mereka lebih tepat disebut pembunuh bayaran kelas tinggi. Walaupun Anda memasang mata lebar-lebar, Anda tidak akan dapat melihatnya,” Illyvare memberitahu dengan tenang.
“Mereka di sini di bawah perintahmu?”
“Ya,” jawab Illyvare singkat, “Sebagai Raja Kerajaan Aqnetta, saya meminta Anda untuk benar-benar memperhatikan keamanan Kerajaan Aqnetta. Sedikit saja usikan dari negara lain, Reischauer akan segera beraksi dan apa yang dapat ditimbulkan oleh mereka, Anda dapat membayangkan sendiri.”
“Pembunuhan yang tidak kenal ampun dan pembantaian berdarah.”
Illyvare diam termenung.
“Terima kasih, Illyvare. Engkau sudah memperingatiku.”
Elleinder menatap lekat-lekat wajah Illyvare. Gadis itu tidak tampak terganggu dengan tatapannya.
Apa yang dikatakan Perkins padanya tadi benar. Illyvare sangat cantik seperti seorang peri dan ia beruntung dapat menikahinya.
Bila mengingat kekhawatiran semua orang saat ia memutuskan akan menikahi Putri Kerajaan Aqnetta, Elleinder tersenyum geli. Putri Kerajaan Aqnetta yang dikatakan jelek, buruk bahkan sudah tua itu ternyata seorang peri mungil yang cantik dan manis.
Orang-orang yang dulu khawatir sekarang iri pada Elleinder. Kerajaan-kerajaan yang dulu tidak berani menempuh cara yang diambil Elleinder, cemburu. Mereka semua kini memuji-muji Elleinder dan mengatakan ia adalah pria yang beruntung.
Elleinder juga merasa ia beruntung. Ia seperti telah berjudi dan mendapatkan apa yang jauh lebih baik dari dugaannya. Ketika mengirimkan lamarannya, ia tidak menyangka akan mendapatkan seorang peri. Tidak sedikitpun terbesit dalam pikirannya Putri Kerajaan Aqnetta yang misterius itu adalah seorang peri.
Tetapi saat menatap lekat-lekat wajah Illyvare seperti ini, Elleinder merasa ada yang salah. Ada yang kurang pada diri Illyvare. Ia telah mengenal sifat pendiam Illyvare tetapi…
Sesuatu…
Ya, sesuatu tidak ada pada Illyvare.
Semua orang mengatakan ia adalah gadis yang sempurna. Peri cantik yang sempurna. Illyvare cantik, elok, cerdas, dan penurut. Illyvare adalah gadis impian tiap orang baik pria maupun wanita. Tetapi sesuatu tidak ada padanya.
Semakin lama melihat Illyvare, Elleinder semakin merasakannya. Ia telah merasakannya sejak dulu tetapi ia baru benar-benar menyadarinya tadi saat mengawasi Illyvare yang melintasi Hall yang dipenuhi orang.
Illyvare berjalan anggun dan dengan tenang melalui orang-orang. Illyvare tersenyum pada tiap orang yang menyapanya dan membalas singkat sapaan mereka. Tetapi di raut wajahnya yang selalu tenang itu, Elleinder menemukan sesuatu yang kurang.
Jam berdentang dua belas kali.
Elleinder berdiri dan mendekati Illyvare. “Sekarang sudah malam. Sudah waktunya bagimu untuk beristirahat.”
Illyvare melihat meja kerja.
“Aku juga akan beristirahat.”
Elleinder mematikan lilin Ruang Kerjanya sebelum menutup pintu. Elleinder mengambil sebuah lilin yang tertancap di tempat lilin di tembok. Koridor yang semula terang itu menjadi remang-remang.
Elleinder mengantar Illyvare hingga ke kamarnya.
“Tidurlah yang nyenyak. Besok kita masih harus ke Skellefreinth untuk mengunjungi panti asuhan terbesar di Kerajaan Skyvarrna.” Elleinder membukakan pintu kamar dan berkata, “Selamat malam.”
“Selamat malam,” balas Illyvare dan ia melangkah masuk.


8


“Sialan kau, Elleinder!”
Arwain melihat Illyvare yang sedang berada di antara bunga-bunga di taman. Gadis itu tampak seperti peri pagi dengan gaun putihnya yang sederhana. Illyvare menyentuh pucuk-pucuk dedaunan di sekitarnya dengan penuh kasih sayang.
“Kalau tahu Putri Kerajaan Aqnetta secantik peri, aku pasti akan melamarnya sebelum engkau. Kalau tahu ia sangat cantik, aku pasti akan semakin keras melarangmu melamarnya.”
“Aku tidak menyuruhmu tidak mengambil resiko,” Elleinder berkata tenang.
“Ya, engkau tidak menyuruhku. Juga tidak ada yang menyuruhmu mengambil resiko menikahi Putri Kerajaan Aqnetta yang kata orang jelek, gemuk, dan sebagainya,” Arwain berkata tanpa sedikitpun melepaskan pandangan dari Illyvare.
“Engkau mengambil resiko dan engkau mendapatkan berkat,” Arwain terus menggerutu, “Kau sangat beruntung. Kau tahu itu?”
“Ya, aku juga merasa seperti memenangkan hadiah yang sangat besar dalam perjudianku.”
“Memang seharusnya engkau merasa seperti itu. Putri Illyvare cantik dan mungil seperti peri. Siapapun yang tidak mempercayai adanya peri, pasti percaya ia adalah seorang peri. Tetapi sayang, ia telah menjadi milikmu.”
“Ia cantik dan cerdas, tetapi aku merasa ada sesuatu yang salah padanya. Sesuatu yang kurang.”
“Kurang?” Arwain baru beralih dari Illyvare, “Gadis sesempurna itu masih kaubilang kurang? Aku heran padamu, Elleinder. Gadis itu adalah gadis impian tiap orang. Cantik, manis, mungil, seorang Putri dari kerajaan yang makmur. Ia memiliki segala yang diinginkan tiap gadis dan itu masih kaubilang kurang? Kalau engkau tidak mau dengannya, Elleinder, berikan saja ia padaku dan aku akan merasa sangat beruntung.”
“Ia memang sempurna, tetapi aku merasa ada yang kurang padanya. Aku tidak tahu apa itu tetapi aku merasakannya.”
“Aku tidak mengerti engkau, Elleinder,” Arwain kembali memperhatikan Illyvare, “Dulu engkau berani mengambil resiko menikah dengan gadis yang buruk rupa. Sekarang setelah mendapatkan seorang peri, engkau masih merasa tidak puas. Kalau engkau lebih menyukai gadis buruk rupa, berikan ia padaku.”
Elleinder tidak mendengarkan perkataan sahabatnya itu. Ia melihat Arwain masih saja memandang ke bawah ke Illyvare di taman melalui jendela. Sejak muncul di Ruang Duduk di tingkat tiga ini, Arwain terus memandang ke bawah dan tidak menoleh saat berbicara dengannya.
“Sebaiknya engkau tidak terus menerus memperhatikannya, Arwain,” Elleinder memperingati, “Illyvare mempunyai perasaan yang tajam. Kemarin dalam jamuan makan siang di Gedung Pertemuan, Illyvare tahu Joanne memperhatikannya walau Joanne duduk jauh darinya.”
Arwain tiba-tiba merapat di dinding. “Mengapa engkau baru memberitahuku sekarang, Elleinder?” gerutunya. “Ia baru saja melihat ke arah sini.”
“Engkau masih beruntung ia hanya melihatmu. Kalau ia memanggil Reischauer, aku tidak yakin apakah engkau masih selamat.”
“Reischauer ada di sini?” tanya Arwain tak percaya.
“Ya, kemarin Illyvare memberitahuku. Ia mengatakan Reischauer telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Kerajaan Aqnetta.”
“Dan engkau tidak mengetahuinya,” tebak Arwain.
“Seperti yang semua orang katakan, Reischauer memang hebat. Ia menjadi penumpang gelap di kapal dan tidak ada seorang prajuritpun yang tahu. Kau tahu prajurit yang waktu itu kubawa adalah prajurit terbaik Kerajaan Skyvarrna. Kalau prajurit terbaik saja tidak bisa merasakan keberadaan Reischauer apalagi orang biasa.”
“Engkau yang mempunyai perasaan tajam juga tidak dapat merasakan keberadaannya. Mereka benar-benar hebat membuat aku ingin mencoba kehebatan mereka.”
“Sebaiknya engkau tidak melakukannya, Arwain. Kata Illyvare, mereka seperti pembunuh bayaran kelas tinggi yang diperintah untuk melindunginya dari setiap ancaman.”
“Aku mengerti,” kata Arwain. Tetapi Elleinder melihat mata pria itu mengatakan lain. Ia tahu pria itu mempunyai rencana.
“Terserah engkau, Arwain. Bila terjadi sesuatu padamu, jangan katakan aku tidak memperingatimu.”
“Bicara tentang Joanne,” Arwain mengalihkan pembicaraan, “Kemarin aku melihat ia mencegat Ratu Illyvare di koridor. Engkau pasti tertawa geli kalau mengetahui apa yang diperbuat perimu itu padanya.”
“Apa yang telah terjadi di antara mereka?”
“Tidak terjadi apa-apa. Kemarin Joanne mencegat Ratu Illyvare dan mengolok-oloknya.”
Elleinder terkejut.
“Jangan khawatir, ia mengucapkannya dalam bahasa Prancis.”
“Untunglah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah ia masih selamat hari ini.”
“Semula aku juga berpikir demikian tetapi siapa yang menyangka kalau yang terjadi berlawanan dengan yang kita pikirkan.”
“Apa yang telah terjadi, Arwain?” tanya Elleinder cemas.
“Akan kuceritakan apa yang kudengar,” kata Arwain, “Kemarin Joanne berkata panjang lebar tetapi aku masih ingat sedikit-sedikit. Aku tidak ingat jelas tetapi pada intinya ia berkata, ‘Engkau wanita yang tidak pantas. Gadis bisu sepertimu sama sekali tidak pantas untuk menjadi Ratu Kerajaan Skyvarrna. Pantas Raja Leland mengurungmu dalam Istana Vezuza. Kalau bukan karena ingin menguasai kerajaanmu, Raja Elleinder tidak akan menikahimu. Baginya engkau adalah alat untuk menguasai Kerajaan Aqnetta. Tidak lebih dari itu! Engkau harus mengerti itu. Kalau bukan karena menguasai Kerajaan Aqnetta, Raja Elleinder pasti akan menikah denganku. Aku telah mengenalnya jauh sebelum engkau mengenalnya dan aku lebih pantas menjadi Ratu Kerajaan Skyvarrna daripada engkau. Engkau mengerti?’”
“Ia mengatakan itu?” Elleinder tak percaya.
“Ya, itulah yang dikatakannya pada Joanne. Tetapi jangan berpikir lega dulu. Ketika aku mendengarnya, aku merasa marah. Aku berpikir bagaimana mungkin Joanne bisa menghina seorang Ratu seperti itu. Saat itu aku bersyukur Joanne mengatakannya dalam Bahasa Prancis. Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi kalau ia mengatakannya dalam Latin Kuno atau Inggris.”
“Rasa syukurku itu hanya sampai di situ. Sebab kemudian Putri Illyvare menjawab pertanyaan Joanne itu dalam Bahasa Prancisnya. Aku terkejut sekali mendengar ia dengan Bahasa Prancisnya yang fasih berkata, ‘Saya mendengar dan mengerti semuanya, Mademoiselle.’”
Elleinder terkejut. “Aku tak menyangka.”
“Aku pun juga tak menyangka apalagi Joanne. Wanita itu sampai pucat pasi mendengar jawaban itu. Aku yakin ia akan segera meninggalkan Kerajaan Skyvarrna.”
“Ya, itu cukup menjelaskan isi surat ini,” Elleinder mengangkat sebuah surat.
“Aku ingin melihatnya.”
Arwain mengambil surat itu dan membacanya.
Maafkan saya, Paduka, saya tidak sempat pamit pada Anda. Saya harus kembali ke Paris. Ada urusan mendadak yang harus saya selesaikan. Saya senang dapat tinggal di Istana Qringvassein.
Joanne.
Arwain membelalak menatap Elleinder.
“Tadi pagi pelayan memberikannya padaku. Katanya kemarin malam saat meninggalkan Istana Qringvassein, Joanne menitipkan surat itu padanya.”
“Ia memang harus pergi secepatnya. Ia telah menghina seorang Ratu di hadapan Ratu itu sendiri dan itu akan berakibat buruk baginya kalau ia tetap tinggal di sini.”
“Apalagi Ratu itu dilindungi oleh pasukan rahasia yang tidak akan segan-segan membunuh siapa saja yang berani mengusik Ratunya,” timpal Elleinder.
“Aku lega akhirnya wanita itu kembali ke Paris dan aku yakin ia tidak akan kembali.”
“Jangan melihatku dengan pandangan menuduh seperti itu, Arwain. Aku tidak mengajaknya ke sini. Ia sendiri yang ikut dan ia sendiri yang meminta diijinkan tinggal di sini. Aku tidak bisa menolaknya sebab selama aku di Paris, ia banyak membantuku ketika aku mengalami kesulitan.”
“Karena wanita itu aku mengalami kesulitan. Ia selalu menempel padaku dan selalu menanyakan padaku mengapa engkau tidak mencintainya. Karena dia, semua wanita menjauhiku. Ia bukan wanita yang ramah untuk diajak bersaing, Elleinder.”
“Sekarang ia sudah pergi, Arwain. Bukan saatnya lagi engkau menasehatiku. Sekarang aku telah menikah.”
“Sekarang aku juga baru mengerti mengapa engkau tidak jatuh cinta pada wanita cantik itu. Sejak awal engkau memang berniat menikahi Putri Kerajaan Aqnetta.”
“Maukah engkau memanggilkan Illyvare untukku?”
“Engkau bisa menyuruh pelayan.”
“Katamu engkau ingin mengenal Illyvare dan berbicara dengannya? Kalau engkau tidak mau, aku akan menyuruh pelayan.”
“Tidak perlu,” Arwain tiba-tiba menjauhi jendela, “Akan kupanggilkan dia untukmu. Aku juga ingin mencoba kehebatan Reischauer.”
“Jangan lakukan itu, Arwain!” cegah Elleinder.
Arwain melesat pergi tanpa mendengarkan larangan Elleinder. Dengan hati riang ia menuju taman. Sekarang ia mempunyai alasan untuk berbicara dengan Illyvare dan kalau ia beruntung, ia dapat membuat Reischauer muncul.
“Paduka Ratu!”
Illyvare menoleh perlahan.
Seperti biasa, Arwain terpesona melihat kecantikkan Illyvare.
“Ada apa, Arwain?” kata Illyvare membuyarkan lamunan Arwain.
“Saya ingin berbicara dengan Anda,” kata Arwain sambil mendekati Illyvare.
Illyvare merasakan Arwain memiliki rencana tertentu terhadapnya, tetapi ia tetap bertanya tenang, “Apa yang ingin Anda bicarakan?”
“Anda sangat cantik, Paduka. Mengapa Anda sendirian di sini?” Arwain terus mendekat, “Anda bagaikan bunga yang tiada taranya di taman bunga ini. Kecantikkan Anda mengalahkan kecantikkan semua bunga di sini. Anda membuat saya terpesona, Paduka.”
Arwain terus mendekat dan ketika ia telah dekat dengan Illyvare, ia mengulurkan tangannya meraih dagu Illyvare.
Illyvare berpegangan pada pohon dibelakangnya. Dengan tenang ia berkata, “Sebaiknya Anda menjaga sikap, Tuan Arwain.”
“Bagaimana saya bisa menjaga sikap, Paduka?” tanya Arwain, “Anda telah mempesona saya dan membuat saya melupakan segalanya.”
“Anda harus mengingat siapa saya, Tuan Arwain,” Illyvare mengingatkan.
“Saya tahu. Anda adalah Ratu Kerajaan Skyvarrna dan istri sahabat saya. Tetapi, saya tidak dapat menghilangkan perasaan terpesona ini. Anda sangat cantik, Paduka dan membuat saya tidak dapat menahan diri.”
Arwain semakin mendekatkan wajahnya. Ketika Arwain hampir mencium bibir Illyvare, tiba-tiba seseorang berdiri di belakang Arwain dan melingkari leher Arwain dengan pedangnya yang lentur tetapi tajam.
“Sebaiknya Anda menjauhi Paduka Ratu sekarang juga,” suara itu memperingatkan tajam, “Atau saya tidak akan segan-segan membunuh Anda.”
Tiba-tiba Arwain merasakan bahaya di sekitarnya. Elleinder telah memperingatinya untuk tidak mengusik Illyvare dan sekarang ia merasakan akibatnya. Ia merasakan perasaan yang sama dengan ketika ia berada di Istana Vezuza. Ribuan mata serasa menatap tajam dirinya. Dan bahaya berada di dekatnya.
Arwain melepaskan Illyvare dan menjauhinya tetapi pedang tajam itu terus melingkari lehernya. Bahkan orang di belakangnya itu menariknya mendekat dan menempelkan ujung pedangnya yang tajam di lehernya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arwain merasa ketakutan. Darah dingin terasa mengalir mulai dari kepalanya hingga seluruh tubuhnya. Keringat dingin bercucuran di dahinya.
Tiba-tiba Illyvare mengatakan sesuatu pada orang itu.
Arwain tidak mengerti dengan bahasa apa Illyvare memberi perintah pada orang itu. Tetapi seketika itu juga orang itu kemudian melompat ke rimbunnya dedaunan pohon. Arwain merasa lega ketika pedang itu pergi dari lehernya.
“Maafkan saya, Paduka Ratu. Saya tidak benar-benar berniat menggoda Anda,” kata Arwain setengah lega dan setengah ketakutan.
“Tidak apa-apa, Arwain. Saya mengerti,” kata Illyvare lembut untuk menenangkan pria itu. “Tadi Anda mengatakan ada yang ingin Anda bicarakan.”
“Elleinder memanggil Anda.”
Illyvare menengadahkan kepala ke jendela Ruang Duduk. Di balik jendela yang tertutup itu, Elleinder tersenyum padanya.
“Terima kasih, Arwain.”
Illyvare meninggalkan taman bunga.
Illyvare mengetuk pintu Ruang Duduk dan membukanya perlahan-lahan.
“Maafkan Arwain. Illyvare. Ia tidak bersungguh-sungguh menggodamu. Aku telah memperingatinya untuk tidak mencoba kekuatan Reischauer tetapi rupanya ia tidak mendengarku.”
“Saya mengerti.”
Elleinder berkata, “Ia adalah salah satu dari mereka bukan?”
Elleinder terus melihat taman sejak Arwain pergi. Elleinder merasa khawatir ketika Arwain terus mendekati Illyvare hingga Illyvare mundur perlahan-lahan. Ketika Arwain memegang dagu Illyvare, Elleinder sangat cemas.
Saat itulah Elleinder melihat sebuah bayangan hitam yang bergerak sangat cepat sebelum seseorang menghunuskan pedang di leher Arwain. Orang itu berbaju serba hitam. Mulai dari rambut hingga kakinya tertutup kain hitam. Elleinder kagum melihat kecepatan orang itu. Setelah Illyvare mengatakan sesuatu, ia melesat pergi secepat kedatangannya.
“Ada yang ingin Anda katakan pada saya?”
“Aku mempunyai kejutan untukmu, Illyvare. Aku yakin engkau pasti senang.” Elleinder membunyikan bel dan tak lama kemudian Linty datang dengan seorang wanita tua yang amat dikenal Illyvare.
“Paduka Ratu,” Nissha berseru dan berlari memeluk Illyvare.
Illyvare terus menatap Elleinder.
Elleinder tersenyum. “Ketika kita mendarat di pantai itu, aku menyuruh beberapa prajurit menjemput Nissha. Aku tahu engkau akan merasa senang bila di sisimu ada seseorang yang telah kaukenal.”
“Saya sangat senang dapat berjumpa Anda lagi, Paduka Ratu,” kata Nissha terharu, “Saya sangat merindukan Anda. Bunga-bunga Anda juga merindukan Anda. Semua tampak lesu setelah Anda pergi.”
“Tumbuhan memiliki perasaan,” Illyvare menjelaskan singkat.
Nissha melihat Illyvare lekat-lekat. “Anda tidak berubah sedikitpun, Paduka Ratu. Anda tetap seperti dulu.”
Illyvare tidak menanggapi.
Elleinder semakin merasa ada sesuatu yang kurang pada Illyvare. Di saat ia melihat Nissha tersenyum senang, ia melihat Illyvare tetap tenang. Wajah cantiknya tetap menunjukkan ketenangannya.
“Kita masih mempunyai banyak waktu sebelum kita ke Skellefreinth,” Elleinder memberitahu.
Karena Elleinder mengatakannya dengan bahasa Inggris, Nissha dapat mengerti. “Mari, Paduka Ratu,” ajaknya.
Di pintu, Nissha tiba-tiba berbalik. “Terima kasih, Paduka. Saya senang Anda mempertemukan saya dengan Putri kembali.”
“Aku senang dapat melakukannya untuk kalian, Nissha.”
Nissha kembali mencurahkan perhatiannya sepenuhnya pada Illyvare.
Linty mendampingi mereka kembali ke kamar Illyvare.
Nissha berulang kali mengatakan kerinduannya pada Illyvare dan kata-kata penduduk Kerajaan Aqnetta tentangnya. Nissha mengatakan semua orang terkejut karena Putri Kerajaan Aqnetta yang dikatakan buruk rupa itu ternyata sangat cantik. Nissha tampak sangat puas ketika ia menceritakan kekagetan orang-orang itu.
Ia juga mengatakan kekagetannya ketika seorang prajurit Kerajaan Skyvarrna datang ke Istana Vezuza dan mengatakan Elleinder menyuruh mereka menjemputnya. Tanpa banyak bertanya, Raja Leland mengijinkannya pergi. Prajurit itu memacu kereta kuda yang ditarik empat ekor kuda, cepat-cepat sehingga ia tiba dalam waktu singkat. Pagi ini ia baru tiba dan langsung disambut Linty yang segera mengantarnya ke kamarnya.
Tak lupa Nissha mengatakan kesedihan bunga-bunga Illyvare karena kepergian gadis yang selalu merawat mereka. Tetapi Nissha tidak lupa membawa bunga-bunga yang telah mekar. Karena Nissha merendamnya dengan air segar selama perjalanan ke Istana Qringvassein, bunga-bunga itu masih segar. Nissha tidak lupa pada kebiasaan Illyvare untuk memanfaatkan udara musim gugur untuk mengeringkan bunga-bunga.
Nissha menunjuk tiga keranjang penuh bunga di tengah kamar Illyvare.
Ketika masuk tadi, Illyvare dapat mencium wanginya bunga-bunga dari tamannya dan ia telah melihat ketiga keranjang yang diletakkan di tengah kamarnya itu.
Usai bercerita panjang lebar, Nissha menghela nafasnya dalam-dalam dan berkata, “Saya tidak pernah menyangka Paduka Raja Elleinder akan mengijinkan saya mendampingi Anda walau sekarang Anda tinggal di Istana Qringvassein.”
“Paduka Raja memang orang yang pengertian,” Linty mencoba berbicara dengan bahasa Inggris.
“Sebaiknya engkau belajar bahasa kami, Linty. Aku tidak ingin engkau merasa tersisih ketika kami berbicara.”
“Mungkin sebaiknya saya juga belajar bahasa Latin Kuno. Saya tidak mau seperti orang bodoh yang hanya bisa kebingungan mendengar sekeliling saya berbicara.”
“Sebaiknya kalian saling belajar mengajar.”
Nissha tersenyum. “Anda tidak berubah, Paduka Ratu. Selalu berkata tenang, singkat, padat, dan jelas tetapi bertujuan besar.”
Karena bahasa yang digunakan di Kerajaan Skyvarrna agak mirip dengan bahasa Kerajaan Aqnetta, Linty dapat mengerti sedikit apa yang dikatakan Illyvare dan Nissha. Ia sependapat dengan Nissha. Illyvare tidak mengatakan ia ingin Linty dan Nissha berteman baik tetapi kata-kata singkatnya itu menunjukkan maksudnya.
Illyvare melihat matahari semakin tinggi. Ia menuju tiang penggantung mantel dan mengambil topinya.
“Anda mau ke mana?” tanya Linty dan Nissha bersamaan dalam bahasa yang berbeda.
“Panti Carmell,” jawab Illyvare singkat.
“Anda mau ke Panti Carmell dengan gaun itu?” Linty terkejut, “Jangan, Paduka. Paduka Raja pasti tidak senang melihat Anda pergi dengan gaun itu.”
“Aku bukan pergi ke pesta,” kata Illyvare singkat.
“Tetapi, Paduka…”
“Maaf,” Nissha memotong, “Apa yang kalian bicarakan?”
Sejak diberi tugas oleh Elleinder untuk melayani Illyvare, Linty telah belajar Bahasa Inggris namun ia masih terbata-bata dalam mengucapkannya.
“Paduka Ratu akan pergi ke Panti Asuhan dengan gaun itu,” Linty mencoba menjelaskan.
Nissha melihat Illyvare dari atas hingga bawah. Dengan rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai dan gaun putihnya yang sederhana, Illyvare tidak tampak seperti seorang Ratu. Ia lebih tampak seperti gadis biasa.
“Ke Panti Asuhan dengan gaun itu?” kata Nissha sambil berpikir.
Illyvare tidak menanti hasil pemikiran Nissha. Ia melambaikan topinya pada kedua orang itu dan melangkah pergi.
“Paduka! Paduka Ratu!” Linty mengejar Illyvare. “Saya mohon, Paduka. Dengarkanlah saya. Jangan pergi dengan gaun itu. Gaun itu tidak pantas.”
“Gaun ini pantas,” kata Illyvare tenang.
“Paduka!”
Illyvare terus menuju ke kereta kuda yang telah menanti. Linty juga terus mengikuti gadis itu dan terus memohon.
“Maafkan saya, Paduka Raja,” kata Linty, “Ratu tidak mau mengganti gaun. Ia memaksa pergi dengan gaun ini.”
“Gaun ini cocok untuk pergi ke Panti Asuhan,” kata Illyvare tenang.
Elleinder melihat Illyvare kemudian berkata, “Illyvare benar, Linty. Kami akan pergi ke Panti Asuhan bukan ke pesta. Lebih baik mengenakan pakaian yang sederhana bila akan berkunjung ke Panti Asuhan. Tidak baik membuat orang lain menjadi iri.”
Linty terpana mendengar Rajanya setuju dengan Ratu.
“Sebaiknya aku mengenakan sesuatu yang lebih sederhana.”
Elleinder kembali masuk ke dalam Istana.
“Mungkin Paduka Raja benar,” gumam Linty setelah terdiam beberapa saat. Sekali lagi Linty dibuat kagum oleh Illyvare. Gadis itu tidak mengatakan apa yang dipikirkannya tetapi langsung melakukannya.
“Sebaiknya saya kembali ke kamar Anda dan memulai pelajaran bahasa saya dengan Nissha,” Linty berpamitan. Linty membungkuk hormat kemudian masuk kembali ke dalam bangunan megah itu.
Tak lama kemudian Elleinder muncul kembali dan kali ini ia mengenakan kemeja santai yang terbuat dari bahan biasa. Pakaiannya seperti pakaian orang-orang lainnya tidak seperti pakaian seorang bangsawan.
“Mari kita berangkat.”
Perjalanan ke Panti Carmell tidak lama. Dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda yang cepat, dalam waktu singkat mereka tiba di Panti Carmell.
Kali ini yang menyambut kedatangan mereka bukan hanya orang dewasa. Banyak anak yang berdiri di depan panti menanti mereka.
“Selamat datang, Paduka,” sambut seorang wanita, “Saya, Veri, Kepala Panti Carmell siap melayani Anda.”
Seorang anak tiba-tiba berseru, “Peri! Perinya datang!”
Mereka melihat anak-anak yang mulai ribut itu.
“Jangan berisik, anak-anak. Kalian belum memberi salam pada Paduka,” seorang wanita memperingati. Tetapi anak-anak itu tidak dapat diam. Mereka semakin ramai dan berulang kali mengatakan, “Benar. Perinya datang! Perinya datang!”
“Maafkan anak-anak itu, Paduka. Mereka terlalu senang dapat berjumpa dengan Paduka Ratu.”
“Peri yang mereka katakan itu?” tanya Elleinder tertarik. Elleinder melihat Illyvare yang tetap dengan tenang memandangi anak-anak Panti Carmell itu.
“Benar, Paduka, mereka menyebut Paduka Ratu. Maafkan mereka, Paduka. Mereka tidak mengerti siapa yang mereka sebut peri itu.”
“Aku mengerti mereka, Veri. Semua orang juga mengatakan padaku Illyvare lebih mirip seorang peri daripada seorang Putri.”
Veri melihat Illyvare. “Kami mengajak mereka menyambut Anda kemarin dan ketika mereka melihat Paduka Ratu memasuki Gedung Pertemuan, mereka mengatakan Paduka Ratu adalah peri.”
Beberapa anak memberontak dari pengasuh mereka. Mereka tidak menghiraukan larangan pengasuh-pengasuh mereka dan berlari mendekati Illyvare.
“Anda benar-benar seorang peri?”
“Mana sayap Anda?” tanya yang lain.
Illyvare melihat wajah-wajah polos itu dan tersenyum. “Aku bukan peri dan tidak mempunyai sayap,” katanya lembut.
Seorang anak perempuan menarik tangan Illyvare. “Ikutlah main bersama, peri.”
Veri membungkuk dan berkata pada anak-anak itu. “Kalian jangan mengangguk Paduka Ratu. Pergilah bermain.”
Anak-anak membandel. Mereka memegang erat-erat tangan Illyvare dan berkata, “Kami mau bermain dengan peri.”
Veri tampak kewalahan menghadapi anak-anak itu. “Maafkan anak-anak ini, Paduka Ratu,” kata Veri bersalah, “Mereka anak-anak yang nakal. Saya akan membujuk mereka untuk pergi bermain.”
“Mereka di sini untuk menyambut kedatangan kami.”
Veri menatap Illyvare lekat-lekat.
Anak-anak itu tidak mau menanti ijin dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Beramai-ramai mereka menarik Illyvare dan membuat gadis itu tidak dapat berbuat lain selain mengikuti mereka.
Melihat wajah bersalah Veri, Elleinder berkata, “Tidak apa-apa, Veri. Anak-anak itu menunjukkan rasa sayang mereka pada Illyvare. Illyvare juga tampak senang dapat menemani mereka.”
Veri melihat Illyvare yang seakan-akan menjadi mainan anak-anak itu dengan pandangan bersalah.
“Bagaimana perkembangan tempat ini, Veri?”
Veri memalingkan kepala. “Seperti tahun-tahun sebelumnya, Paduka. Anak-anak di tempat ini tidak berkurang jumlahnya tetapi semakin bertambah. Beberapa di antara mereka sudah ada yang diambil keluarga lain tetapi masih ada anak-anak yang ditinggalkan di depan Panti. Kami kesulitan menemukan orang tua kandung mereka.”
Elleinder mendengarkan sambil melihat Illyvare.
Illyvare mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya dan memberikannya pada anak perempuan yang tadi memegang tangannya.
Anak itu melupakan bonekanya dan mengambil bunga kering itu. Dengan bangga anak itu menunjukkan pemberian Illyvare pada teman-temannya. Entah karena terlalu senangnya anak itu atau karena kecerobohannya, bunga itu tiba-tiba jatuh dan seorang anak tidak sengaja menginjaknya.
Illyvare cepat-cepat mendekati anak itu sebelum ia menangis. Illyvare mengeluarkan bunga yang lain dari sakunya dan anak itu gembira menerimanya.
Beberapa prajurit menurunkan peti-peti berisi mainan yang dibawa dari Istana Qringvassein dan membawa sebuah peti ke samping Illyvare.
Bagaikan seorang peri yang baik hati, Illyvare mulai memberikan mainan itu pada tiap anak. Anak-anak tentu saja senang mendapat hadiah dari peri mereka. Mereka berebutan menerima pemberian Illyvare tetapi Illyvare dengan tenang terus membagikan.
Dua orang anak terlihat berebut kereta kayu. Mereka sama-sama tidak mau mengalah.
Illyvare ingin melerai mereka tetapi sebuah tangan kecil memegang tangannya. Illyvare berlutut di depan anak itu. Anak itu mengulurkan tangannya. Illyvare menyambut uluran tangan itu dengan menggendongnya.
Anak yang tadi berebut mainan melihatnya dan mereka meninggalkan mainan itu. Mereka berlari menuju Illyvare.
“Aku!”
“Tidak! Aku dulu!”
Terdengar mereka masih memperebutkan sesuatu. Ketika sampai di samping Illyvare, mereka sama-sama mengulurkan tangan meminta gendong. Kedua anak itu saling melihat dengan marah kemudian berkejar-kejaran di sekeliling Illyvare dan membuat gadis itu kewalahan.
Kedua anak itu tidak sadar teman mereka yang lain mengambil mainan yang tadi mereka perebutkan. Anak itu berjingkat-jingkat seperti seorang maling kecil dan tersenyum nakal ketika melihat mainan yang tergeletak itu.
Ketika ia kembali ke tempatnya semua, anak-anak itu baru menyadarinya. Serentak mereka meninggalkan Illyvare dan berlari mengejar pencuri mainan mereka.
Illyvare tertawa geli melihat mereka. Bukan salah anak itu kalau ia mengambil mainan yang menjadi perebutan itu. Mereka meninggalkan benda itu tergeletak begitu saja di tanah dan sibuk memperebutkan Illyvare.
Elleinder terpana melihat tawa Illyvare itu. Tiba-tiba saja ia menyadari apa yang tidak ada pada Illyvare.
Gadis itu memang sempurna tetapi ia bagaikan mengenakan sebuah topeng. Topeng cantik dengan bibirnya yang selalu tersenyum.
Benar, sebuah topeng cantik yang selalu tersenyum. Di saat diam, bibir Illyvare menekuk halus membentuk sebuah senyum tipis. Tetapi tidak pernah ada ekspresi di sana. Sinar matanya selalu tenang. Senyum di bibirnya terasa hambar. Wajahnya tidak pernah terlihat bahagia. Gadis itu terlalu tenang dan dingin.
Benar-benar seperti sebuah topeng yang dingin dan hanya menunjukkan wajah yang sama. Ketika melihat Nissha datang, Illyvare juga tidak tampak bahagia. Ia dengan tenang menatap wajah wanita tua itu dan tidak membalas pelukannya.
Elleinder yakin pasti ada penyebabnya di balik semua sikap dingin Illyvare ini. Elleinder semakin yakin Illyvare memang marah padanya bahkan mungkin tidak senang menjadi istrinya!
Elleinder mulai menduga sebelum menikah dengannya, Illyvare telah jatuh cinta pada seseorang. Dan karena harus menikah dengannya, ia melepaskan kebahagiaannya itu di Kerajaan Aqnetta dan sekarang yang tertinggal padanya hanya seorang peri cantik dengan topengnya yang selalu tersenyum.
Tidak ada alasan yang lebih tepat dari itu!
Raja Leland mengurung peri cantik itu di Istana Vezuza juga pasti karena ia mempunyai rencana lain terhadap masa depan gadis itu. Raja Leland mungkin ingin menikahkan Illyvare dengan pria pilihannya dan ia tidak mau ada orang lain yang mengetahui kecantikkan Illyvare. Raja Leland tidak mau banyak pria melamar Illyvare karena kecantikkannya yang tiada tara ini. Raja Leland menginginkan seorang pria yang benar-benar mencintai Illyvare dan tetap mau berada di sisinya walaupun ia buruk rupa.
Pasti karena itu Raja Leland membiarkan khayalan orang-orang melambung tinggi dan berlawanan dengan kenyataan. Raja Leland terus membiarkan hal itu hingga ada seorang pria yang benar-benar mau mendampingi Illyvare seumur hidupnya baik ia buruk rupa maupun ia cantik.

Dan ketika Elleinder melamarnya, Raja Leland merasa senang dan menerimanya dengan terbuka. Tetapi Raja Leland tidak tahu saat itu Illyvare sudah jatuh cinta pada pria lain. Raja Leland tentu memaksa Illyvare menikah dengannya demi hubungan dua kerajaan ini.
Tiba-tiba saja Elleinder merasa bersalah pada Illyvare. Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Mereka telah menikah. Pernikahan mereka sakral dan tak terpisahkan. Dalam upacara pernikahan mereka, mereka telah berjanji untuk terus bersama sampai maut memisahkan.
Illyvare menunjukkan ketidakbahagiaannya dengan berdiam diri sepanjang hari dan tidak menunjukkan ekspresi di wajahnya selain wajah tenangnya. Illyvare mendiamkan Elleinder dan tidak mau berbicara banyak kepadanya.
Elleinder melihat ketiga anak yang berkejaran itu berlari ke arah Illyvare. “Permisi,” katanya kemudian mendekati Illyvare.
Sebelum anak yang dikejar itu menabrak Illyvare, Elleinder menggendong anak itu. “Cukup,” katanya, “Jangan berebut lagi. Masih ada banyak mainan untuk kalian.”
Elleinder menurunkan anak itu dan menunjuk dua buah peti lain di samping kereta.
Melihat teman-temannya berlari ke kereta, anak perempuan di gendongan Illyvare meminta turun. Illyvare menurunkan anak itu.
Elleinder melihat wajah Illyvare yang kembali tenang seperti tertutup topeng itu. Elleinder ingin melepas topeng itu dan sebelum ia melakukannya ia ingin sebuah kepastian. Ia tahu apa yang harus dilakukannya dalam waktu dekat ini.

0 Comments:

Post a Comment