Wasripin Dan Satinah Part 2


6
Orang-orang di surau kehilangan Wasripin. Pak Modin yang memimpin shalat menanti-nantinya. Para nelayan merasa ada sesuatu yang hilang. Wasripin yang tidur di emperan surau itu ternyata telah menjadi bagian dari mereka. Di surau mereka masih berkumpul lama setelah shalat selesai. Entah siapa mulai pembicaraan:
“Ia bilang orang tua berambut putih.”
“Jangan-jangan jin penunggu surau.”
“Jangan-jangan jin laut.”
“Jangan-jangan Nabi Hidhir.”
“Ya, jangan-jangan Sang Nabi.”
“Pasti. Baunya harum!”
“Kalau begitu, akhirnya Dia mengabulkan doa kita.”
“Tak sudi lagi ada yang sewenang-wenang!”
“Tak sudi lagi dipaksa-paksa!”
“Kita perlu pemimpin!”
“Yang muda!”
“Pemberani!”
Kesimpulan bahwa Nabi Hidhir sudah datng itu disetujui oleh orang banyak. Para nelayan lalu pulang. Sebentar saja kembali. Ada yang membawa sarung, ada yang membawa baju, ada yang membawa celana kolor, ada yang membawa peci. Mereka juga membawa nasi, lauk-pauk, dan termos teh. Barang-barang itu menumpuk di emperan surau.
DUA
1
Sudah beberapa hari Wasripin tak melihat sungai. Mandi di kamar mandi surau tidak memuaskannya. Ia sediri tak tahu berapa lama ia tidur. Karena itu, setelah bertanya soal lokasi sungai, ia ingin segera sampai ke sana. Keinginan itu melupakan janjinya kepada Pak Modin untuk segera kembali setelah jalan-jalan. Sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara di teluk, dan mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di teluk TPI. Sungai itu di sebelah sana masih bening, tidak asin, jauh dari pantai. “Ibumu bercerita bahwa di sungai desanya engkau dapat mengaca. Airnya sejernih siang hari,” cerita emak angkatnya, “di pinggirnya ada rumputan, ada gerumbul, ada pasir.” Inilah pasti sungai yang dimaksud ibuku, pikirnya. Memang, ada bedanya dengan sungai yang ia akrabi selama ini. Di Jakarta sungai berwarna coklat, sampah plastik, daun-daun, dan tepinya penuh rumah. Seperti rumahnya, seperti kampungnya. Di sini ia akan mandi dan mencuci pakaiannya. Maka ia melepas pakaian, mencuci, memerasnya kuat-kuat supaya cepat kering. Pada waktu mencuci itulah disadarinya bahwa seseorang telah menuangkan parfum ke bajunya dan ke badannya. Sesudah dicuci, dijemurnya pakaiannya di panas Matahari, di rumputan pinggiran sungai. Dan ia kembali ke air. Untuk urusan cuci-mencuci itu emak angkatnya punya sumur. Demikian juga untuk mandi. Ketika masih kecil, emak angkatnya selalu memandikannya kembali di sumur setelah ia kecibar-kecibur di sungai. Sekarang dia harus berendam di air sampai cuciannya kering. Bisa juga ia duduk-duduk di tepian karena siang-siang begitu tidak ada seorang pun di sungai.
Ia sedang duduk-duduk di tepian sungai ketika didengarnya ada sepeda motor datang. Cepat-cepat ia kembali ke air, menjauh dari arah suara datang.
Satinah memboncengkan pamannya. Paman dan keponakan itu berhenti. Seperti selalu demikian, paman itu mencopot pakaiannya dan masuk ke air. Biasanya ia mandi lalu tertidur di bawah pohon. Satinah bergerak menjauh dari pamannya. Ketika ia sedang mencuci muka dilihatnya pakaian laki-laki di dekat
gerumbul. Dari warna dan potongannya ia yakin pakaian itu milik Wasripin, seperti dipakainya waktu jajan soto. Ia ingin bermain-main seperti waktu kecil saat terang bulan di desa: Joko Tarub-Nawang Wulan. Ia mencari sebatang tumbuhan perdu kering, ditariknya pakaian itu, dan dipindahkannya ke tempat lain. Kemudian ia terlelap sebentar.
Ketika Satinah terbangun dilihatnya pakaian itu masih terjemur. Dilihatnya dari balik gerumbul Wasripin melihat ke kanan-ke kiri mencari satu-satunya pakaian miliknya. Ia naik-turun tepi sungai, tidak juga ketemu. Ia menggaruk-garuk kepala, lalu kembali ke air. Ia memutuskan akan menanti samai gelap kemudian berlari seperti orang gila ke surau atau TPI.
Pada waktu itu Satinah cekikikan sendiri. Ia punya ide bagus, bermain Joko Tarub-Nawang Wulan dan Wasripin adalah Joko Tarub. Mestinya Satinah yang ada di dalam air. Kebalik tak apa, pikirnya.
“Eh, Joko Tarub. Apa janjimu kalau ada orang memberikan pakaian?” kata Satinah dari gerumbul.
Wasripin yang berendam di air sungai diam, tidak tahu harus berkata apa. Ia mengusap-usap matanya. Satinah muncul dari gerumbul. Ia berkacak pinggang.
“Ya, akulah Nawang Wulan.”
Lho, ini kan Satinah.”
“Bukan. Akulah Nawang Wulan.”
“Satinah!” Wasripin berpikir, Satinah mungkin telah gila.
“Wo, kau ini bagaimana!”
“Ini apa?”
“Ini permainan. Namanya Joko Tarub-Nawang Wulan. Wah, orang kota yang picik.”
Ia ingat, emak angkatnya memang pernah bercerita tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan waktu dia kecil. “Ada tujuh bidadari sedang mandi di sendang, yang tercantik namanya Nawang Wulan. Joko Tarub yang mengintip ingin memperistri bidadari tercantik itu. Maka ia pun menyembunyikan pakaiannya. Ketika selesai mandi, bidadari lain mencari pakaian masing-masing dan terbang. Tinggallah Nawang Wulan yang kehilangan pakaian, dan tak dapat terbang. Maka ia bersumpah bahwa siapa saja yang dapat menemukan pakaiannya kalau perempuan akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami. Pada waktu itu muncullah Joko Tarub.” Waktu itu dia berpikir bahwa laki-laki desa itu amat beruntung. Dan pernah terbersit dalam pikirannya untuk jadi Joko Tarub.
“Ini hanya permainan, to?”
“Iya. Kaukira sungguhan?”
“Kok tidak bilang-bilang. Ya sudah. Mana pakaianku?”
“Janji dulu. Kalau laki-laki akan saya jadikan saudara dekat, kalau perempuan akan saya jadikan istri.”
“Ya, janji.”
“Harus diucapkan!”
“Bagaimana tadi?”
“Kalau perempuan akan saya jadikan istri.”
“Ya. Kalau perempuan akan saya jadikan istri.”
“Nah, begitu.”
Satinah mengambil baju itu. Dan menaruhnya di tempat semula. “Ini! Belum begitu kering, tapi boleh dipakai,” katanya.
Setelah Wasripin mengenakan pakaian, mereka menuju ke bawah pohon. Terdengar napas paman yang berat.
“Janji tadi hanya main-main. Sekarang kucabut.”
“Tidak bisa. Janji tetap janji.”
Lho! Katanya permainan.”
“Ya, permainan, tapi…,”
“Tapi jangan. Joko Tarub sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak kawin.”
Lho! Kok sama. Nawang Wulan dulu juga pernah berjanji begitu. Kata orang, kereta api saja tidak malu untuk mundu, apalagi orang.”
“Jangan. Jangan, Joko Tarub sungguh-sungguh.”
“Kenapa?”
“Joko Tarub yang ini orang paling kotor di dunia.”
“Ya, kenapa?”
Lalu Wasripin bercerita tentang masa kecilnya, emak angkatnya, penyekat, dan para perempuan yang membutuhkan tenaganya. Ia merasa lega, beban berat jatuh dari pundaknya. “Orang tua itu meminta supaya saya memaafkan mereka dan berdoa supaya mereka dan saya sendiri dapat ampunan Tuhan. Dendam adalah beban,” ia menutup kisahnya.
“Paman juga sering berkata semoga Tuhan mengampuninya. Kau tahu tentang Tuhan?”
“Orang tua itu mengajar saya.”
“Orang tua yang mana?”
“Entahlah.”
“Apa Joko Tarub ingin dengar cerita Nawang Wulan?”
“Ya, kalau boleh.”
“Pokoknya ya hampir sama. Tapi lain kali saja.”
“Ini tidak adil. Saya sudah bercerita, dan kau belum.”
“Ya, ya. Aku tahu, tapi saya harus membangunkan paman, dan pulang. Pokoknya mirip.”
“Mirip bagaimana?”
“Ya, pokoknya mirip.”
“Aku jijik dengan diriku sendiri.”
“Ya, jangan begitu.”
“Apa pernah punya perasaan seperti itu?”
“Ya, pernah.”
“Malam itu aku melihat jembatan, ingin mencebur sungai. Melihat pohon tinggi, ingin memanjat kemudian terjun. Melihat kereta api, ingin menabrakkan diri.”
“Kalau jadi, Nawang Wulan tak ketemu Joko Tarub.”
“Tapi aku takut, aku pengecut.”
Satinah membangunkan pamannya. Paman bangun dan mukanya ke arah Wasripin. Paman menyapanya.
“Hati-hati, Nak. Kau akan dapat banyak godaan dan fitnah!”
“Sudah, ya Joko.”
Untuk yang terakhir kali Satinah menoleh.
“Lain kali jangan semua uang dijatuhkan di besek, kalau uangnya habis bagaimana?”
Apa Satinah tahu, pikir Wasripin. Paman dan keponakan itu meninggalkan Wasripin sendirian.
“Saya melihat tanda-tanda di tubuhnya, Nah,” kata paman. “Cahaya itu, lho.”
“Ah, jangan aneh-aneh, Pak Lik.”
“Kalau jatuh cinta bilang, lho.”
Wasripin memandang lama arah Satinah pergi. Ia lega telah menceritakan riwayatnya.
Dan ternyata perempuan itu telah masuk dalam-dalam ke dalam hidupnya. Dengan pikiran pada Satinah ia berjalan pulang di bawah terik Matahari. Ia tidak tahu mengapa keburu menceritakan rahasia dirinya kepada Satinah, yang baru saja ia kenal. Padahal ia pernah berjanji pada diri sendiri untuk menyimpan rahasia hidupnya, dan melupakannya. Di jalan ia teringat emak angkatnya. Bagaimana bisa dia juga punya pengalaman tentang permainan Joko Tarub-Nawang Wulan yang sama dengan Satinah? Apakah mereka sedaerah? Ia berharap bisa mempertemukan Satinah dan pamannya dengan emak angkatnya. Entah kapan. Jatuh cintakah ia?
2
KABAR bahwa Wasripin telah kedatangan Nabi Hidhir itu menular pada semua orang. Begitu cepat, sehingga bukan saja para nelayan tapi juga aparat dan partai-partai. Partai Randu dengar, Partai Langit dengar. Mereka masing-masing mengadakan rapat kilat. Wasripin akan sangat menguntungkan bagi kemenangan partai mereka di perkampungan nelayan itu dalam pemilu yang sudah di ambang pintu. Dan mereka tidak mau kehilangan momentum, mumpung masih hangat beritanya. Partai Randu memutuskan untuk memberi jabatan koordinator pemenangan pemilu bagi Wasripin. Partai Langit memutuskan untuk mengangkatnya jadi salah satu ketua. Aparat desa juga cepat-cepat mengadakan pertemuan untuk mengangkat Wasripin sebagai komandan hansip. Juragan perahu ingin agar dia jadi pengawas armada perahunya. Ada juragan lain yang ingin memberinya pekerjaan sekadar untuk jimat. Orang-orang tua yang punya anak gadis berpikir untuk menjodohkan Wasripin dengan anaknya. Pak Modin alias imam surau berpikir untuk mundur sebagai imam surau. Kepala TPI ingin dia jadi satpam di TPI. Para nelayan berharap bisa melaut bersama Wasripin.
Maka, sesampai di surau Wasripin terkejut. Banyak orang berkumpul di sana. Ia tidak tahu bahwa orang-orang telah menantinya. Tiba di pelataran surau, beberapa orang menyambutnya. Mereka memapahnya dan
mendudukkannya di emperan. Wasripin terheran-heran, ia kebingungan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Dilihatnya Pak Modin.
“Apa yang terjadi, Pak?”
“Begitulah. Engkau dapat tempat mulia di sini.”
“Terima kasih, tapi ….”
“Terima saja.”
“Jangan! Jangan, aku tak mau!”
Wasripin mencoba lari. Tapi beberapa laki-laki menangkapnya. Terjadi tarik-menarik. Tentu saja Wasripin kalah. Ia duduk pasrah di emperan surau. Pak Modin mendekatinya. “Mereka semua punya tawaran bagus,” katanya.
Seperti sudah selayaknya mewakili aparat desa lurah mendekat.
“Kau akan kami jadikan Komandan hansip.”
Lagi Wasripin berbisik-bisik kepada Pak Modin.
“Komandan hansip itu sama dengan Kaur Keamanan.”
Kaur Keamanan yang ikut bersama rombongan aparat kaget. Tiba-tiba saja kedudukannya akan dilindas.
“Ya tidak begitu, to Pak. Tapi di bawahnya sedikit,” katanya.
“Bagaimana? Setuju?” tanya lurah.
“Tidak, Pak.”
Ketua Partai Randu mendekat.
“Wasripin, jangan ditolak kesempatan yang bagus ini. Kau akan kami jadikan koordinator pemenangan pemilu Partai Randu. Kalau menang, kau dapat naik ke tingkat kecamatan. Dari kecamatan dapat meningkat ke kabupaten. Dari kabupaten ke tingkat provinsi. Dari provinsi ke tingkat pusat. Di pusat dunia terbuka: menteri, ketua DPR/MPR, gubernur, bupati. Tinggal pilih.”
Wasripin melongo, tidak paham.
“Apa artinya, Pak?” tanyanya kepada Pak Modin.
“Ya, seperti yang dikatakannya.”
“Tapi aku tak ngerti kata-katanya.”
“Semua pada mulanya juga tak ngerti,” kata Ketua Partai Randu. “Itulah sebabnya ada sekolah, ada kursus, ada seminar, ada training. Bagaimana?”
Wasripin menggeleng, lebih karena tidak mengerti.
“Ya sudah kalau tak mau maju. Kami takkan memaksakan kehendak. Itulah inti demokrasi. Tapi jangan golput!”
Ketua Partai Langit maju.
“Bagaimana kalau Wakil Ketua Partai Langit?”
Lagi-lagi Wasripin bisik-bisik kepada Pak Modin menanyakan apa artinya salah satu Ketua Partai Langit.
“Jangan, Pak. Jabatan itu terlalu tinggi.”
Sementara itu terjadi ribut-ribut di depan surau. Satinah dengan bungkusan berisi sarung dan baju sedang berusaha menerobos orang-orang yang berkumpul. Beberapa hansip, Satgas Partai Randu, dan Satgas Partai Langit menghadangnya.
“Saya pingin ketemu Wasripin,” kata Satinah.
“Tidak bisa. Sedang ada urusan serius,” kata seorang yang menghadangnya.
“Hanya sebentar, Pak.”
“Berikan saja bungkusan itu kepada kami, kami nanti akan memberikannya.”
“Tidak bisa, tidak bisa.”
Satinah berusaha menerobos lagi, tapi orang-orang itu sudah membentuk barikade. Jadi ia tak bisa apa-apa. Ia meronta-ronta dalam pegangan para satgas. Dari emperan surau Wasripin melihat ada perempuan meronta-ronta. Pelataran surau penuh dengan orang. Tapi, setelah diamatinya, ia tahu perempuan itu Satinah. Spontan ia berteriak, “Lepaskan!” Di luar dugaannya suaranya menggema keras bagi yang berusaha menghalangi Satinah. Mereka mendengar gema itu sepertinya dari langit, “Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan!” Para Satgas melepas Satinah ketika mendengar perintah itu. Ketika Satgas lagi tertegun mendengar suara itu, Wasripin lari ke arah Satinah. Mereka bertemu.
“Ini!” kata Satinah sambil melempar bungkusan itu.
“Ini apa?”
“Pakailah! Ada uang di dalamnya.”
Satinah pergi dan menghilang bersama motornya, sedangkan Wasripin memegangi bungkusan, tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Sementara itu para nelayan yang khawatir ia kabur mengelilinginya.
“Bapak-bapak sudah waktunya shalat ashar. Bagaimana kalau pertemuan ditutup?” kata Pak Modin.
3
“WASRIPIN, saya tunjukkan kamarmu yang baru.” Pak Modin mulai melangkah. “Tolong, bawakan barang-barang ini ke kamar,” pinta Pak Modin kepada seorang nelayan remaja.
Ketika Wasripin dan Pak Modin sampai di kamar, seseorang sedang mengecat tembok yang lantas mau pergi saat melihat keduanya masuk.
“Ee, jangan pergi dulu. Kenalkan, ini Wasripin. Lanjutkan pekerjaan nanti sore, setelah Pak Wasripin istirahat.”
“Ngk-ngk-ngk-ngk,” ia menunjukkan tangannya yang kotor, lalu pergi.
“Sejak tertabrak motor, ia jadi bisu begini. Ia kami serahi mengisi air kamar mandi, tempat wudhu, dan membersihkan surau.”
“Itu nanti tugas saya juga.”
“Tidak. Akan kami serahkan orang lain.”
“Tidak, Pak. Saya tinggal di sini, karena itulah saya yang bertugas.”
Orang yang membawa barang-barang meletakkannya di meja.
Di kamar Wasripin sudah tersedia nasi, ikan asin, sayur bening, dan poci teh. Sambil menunjuk barang-barang dan makanan itu, kata Waripin,
“Apa sebenarnya yang terjadi, Pak?”
“Ya, seperti yang kau lihat.”
“Tapi segalanya membingungkan. Katanya aku dimuliakan, kok Satinah mau ketemu saja tak boleh?”
“Kita sama. Aku juga bingung, Nak. Sudah, sehabis shalat ada pertemuan lagi. Sampai nanti.”
4
SETIBA di rumah sewa, Satinah langsung ke kamar tidur dan sesenggukan. Pamannya yang baru pertama kali mendengar Satinah menangis, segera ke kamar.
“Ada apa?”
“Orang-orang berseragam itu.”
“Siapa?”
“Kata mereka aku tak boleh ketemu Wasripin.”
“Akhirnya kau ketemu juga?”
“Ya. Tapi susahnya melebihi ketemu Pak Bupati saja.”
“Mereka pasti hanya menjalankan perintah.”
“Wasripin sudah berubah, Pak Lik. Dia bukan orang kecil seperti kita lagi.”
“Aku tidak mengerti. Tapi kita harus berbahagia bersama kebahagiaan orang lain.”
“Tidak. Aku benci. Aku benci. Takkan lagi ke pasar itu.”
“Begitu juga boleh.”
Paman lalu keluar. Dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi.
5
WASRIPIN masih terheran-heran dengan apa yang terjadi. Di Jakarta ia menjadi sampah, di sini orang menghargainya. Pernah dia dan emak angkatnya berlari-lari sambil mendorong dagangan hanya untuk menghindari petugas ketertiban. Di sini, lurah, Partai Randu, dan Partai Langit malah melamarnya untuk memberi pekerjaan. Benar kata emak angkatnya, “hidup itu berputar, sekali engkau boleh di bawah, tapi percayalah suatu kali engkau akan naik”. Tahu-tahu Pak Modin sudah menjemputnya. Sore hari itu dia duduk lagi di emperan surau.
“Bagaimana kalau jadi satpam di TPI?” tanya kepala TPI.
“Bagaimana kalau bekerja denganku? Kerjamu ialah mengawal sopir mengirim pindang ke Bandung,” tanya seorang juragan pindang.
“Bagaimana kalau melaut dengan perahu saya?”
Tawaran-tawaran kerja itu tak dimengertinya, kecuali jadi satpam. Di Jakarta pernah dia melamar jadi satpam, tapi emak angkatnya keberatan, “Ibumu ini sudah tua. Engkau akan jadi penjual ketoprak tak perlu kerja yang lain.” Cita-citanya tertinggi waktu kecil sebenarnya ialah jadi tentara atau polisi. Seragam dan pistol mereka menjadikan dia kagum. Tapi kawan-kawannya menakut-nakuti. “Ya, betul jadi tentara. Tapi kau takkan pegang bedil atau pistol. Peganganmu ialah piring, cangkir, dan baki. Senjatamu adalah pisau dan kompor. Alias tobang.” Cita-citanya agak turun sedikit: ia ingin jadi satpam. Toh masih juga pakai seragam, topi, selempang benang dipilin, pluit, dan pentung. Dan sekarang ada yang menawarinya kerja sebagai
satpam, maka seperti kata pepatah “pucuk dicita, ulam tiba”. Ia pun menerima tawaran untuk jadi satpam.
“Pilih yang mana?” tanya Pak Modin.
“Saya jadi satpam saja,” katanya.
Ada gumaman panjang.
“Kalau begitu besok siang datanglah ke kantor,” kata Kepala TPI.
Wasripin sedang mencium-cium bungkusan yang diberikan Satinah, ketika Pak Modin mengunjunginya. Dia berniat mengajari Wasripin mengaji. Dibawanya Al Quran Juz 30. Dibukanya halaman-halaman depan.
Tirukan, “Alif, ba, ta.”
“Tsa, jim, ha, kha, …”
Lho! Kok sudah tahu?”
“Ya, orang tua itu yang mengajari.”
“Sampai mana? Coba baca ini.”
Modin membuka sembarang halaman, “Coba baca!”
Wasripin membaca, “Ini namanya sudah bisa.”
“Apakah orang tua itu juga mengajarimu menghapal?”
“Apa yang harus dihapal?”
“Ya, sudah. Besok sore kau belajar menghapal. Sekarang istirahatlah. Quran ini saya tinggal.”
6
PAGI hari tukang cat tembok datang lagi. Ada dorongan pada Wasripin untuk memijat-mijat, “Coba ke sini.” Tukang cat mendekat. Wasripin memijat leher, kepala, dan semua badan bagian atas. Ia hanya mencoba-coba memijat. Ia heran tangannya seperti bergerak sendiri. Ia sendiri tidak yakin dengan pijatannya. Setelah selesai ia bertanya, “Apa cita-citamu kalau sembuh?”
“Saya ingin jadi penjaga toko.”
Dia tidak sadar telah bicara biasa. Ia memang pernah melamar jadi penjaga toko. Tapi dengan menyesal pemilik toko menjelaskan bahwa pembeli adalah raja. Maka, penjaga toko harus ramah-tamah, jadi pelayan, murah senyum, dan pandai bicara. Pemilik toko menyarankan untuk pijat dan berjanji akan mengangkatnya begitu ia sembuh. Ia berusaha pijat ke ahli urat, tak kunjung sembuh.
“Dengar, sekarang kau bisa bicara.”
Tukang cat heran, Wasripin terkejut.
Lho! Saya bisa bicara! Aku bisa omong!”
Ia lari keluar. Berteriak sambil berlari-lari, “Aku bisa bicara! Aku bisa bicara!” Para pedagang satu per satu didatanginya hanya untuk mengatakan bahwa dia bisa bicara. Selama ini para pedaganglah yang memberinya pekerjaan, mengangkat-angkat dagangan. Mereka keheranan, ini keajaiban. Ia mengambil sepeda dan pergi.
Wasripin melanjutkan mengecat. Tempat tinggal seperti itu adalah kemewahan baginya. WC dan kamar mandi dari tegel, listrik tinggal menekan tombol, air sumur dengan pompa listrik. Setelah itu ia pergi ke kantor TPI. Dia
sudah membayangkan sepatu boot, topi, seragam, sabuk besar, selempang, dan peluit. Kabarnya, satpam juga dilatih baris-berbaris, bela diri, dan menembak. Karena itu, dengan senang dia menemui kepala TPI.
“Tugasmu ialah kerja delapan jam sehari. Waktunya digilir dengan teman-teman yang lain. Tugasmu hanya, sekali lagi hanya, menjaga TPI, tidak yang lain. Sebab, uang retribusi pasar juga disimpan di sini.”
“Ya, Pak. Boleh saya jujur?”
“Apa?”
“Saya akan berhenti jadi satpam kalau saya kawin. Saya akan berjualan ketoprak.”
“Itu soal nanti. Sekarang kau bisa memesan seragam ke alamat ini. Pergi ke alamat ini untuk membuat pas foto.”
Wasripin keluar dari TPI.
Orang-orang di pasar berbisik-bisik, “Inilah Wasripin. Kata orang, dialah pemimpin kita yang baru.” Wasripin mendengar rasan-rasan pedagang. Dia menjadi pemimpin? Pemimpin apa? Dengan teka-teki itu ia pergi ke penjahit.
Di TPI ada sembilan orang yang intin ketemu dengan kepala TPI. Mereka memenuhi ruangan Kepala.
“Ada perlu?”
“Ya, kami ingin jadi satpam.”
“Waduh, seperti bisa dilihat, jabatan itu sudah terisi.”
“Kalau begitu, catat kami sebagai tenaga cadangan.”
Kepala TPI heran. Dulu jabatan sebagai satpam ditawar-tawarkan di desa nelayan itu dan tidak ada seorang pun yang melamar. Kata mereka, lebih untung melaut atau menjadi pedagang bandeng. Kalau beruntung, cepat kaya. Menjadi pegawai? Disuruh-suruh? Pret! Menjadi satpam, ya satpam seumur hidup. Setelah mereka pergi, Kepala TPI lalu menulis di kertas dengan tulisan tebal-tebal: Tidak Ada Lowongan. Dia meminta satpam untuk menempelkannya.
Sampai di surau, tukang cat dan tiga kawannya sudah menunggu.
“Aku diterima jadi penjaga toko! Terima kasih, terima kasih, Kang eh Mas eh Pak.”
“Panggil saja Wasripin atau Ripin atau Pin.”
“Ya, kenalkan ini kawan-kawan saya.”
Mereka bersalaman.
“Ngk-ngk-ngk.”
Tahulah Wasripin bahwa mereka juga bisu.
“Yang ini jadi bisu karena jatuh dari truk ikan. Yang ini bisu karena dipopor bedil waktu kampanye. Dan, yang termuda ini bisu sejak kecil karena jatuh dari pohon. Mereka semua pengin dipijat.”
“Ya, saya usahakan.” Sebenarnya ia tidak begitu yakin dengan kemampuannya. “Kecuali yang ini,” katanya sambil menunjuk anak muda yang bisu sejak kecil.
Mendengar bahwa dirinya tak dapat sembuh, pemuda terkecil itu menangis pelan, makin lama makin keras, dan akhirnya berguling-guling di tanah. Semua kebingungan.
“Maksud saya, yang bisu sejak kecil harus lebih bersabar dari yang lainnya,” kata Wasripin menghibur dan bocah itu berhenti menangis. “Datang saja ke surau atau TPI.”
Kemudian Pak Modin datang. Mereka bubar.
“Nak Wasripin, saya ajari mengambil air wudhu. Kita akan shalat. Pakailah sarung dan peci.”
Wasripin pergi ke tempat pancuran.
Lha, kok, sudah bisa. Orang tua itu? Bagaimana denga shalat? Orang tua itu juga?”
“Iya.”
“Kau beruntung. Selama hidupku, baru kali ini orang tua itu datang sungguhan. Menghapal, bagaimana? Mulailah dengan surat-surat pendek.”
Ketika Pak Modin datang untuk mengecek hapalannya dia terheran-heran. Wasripin sudah hapal surat-surat pendek yang ada dalam Al Quran. Dalam hati ia gembira, sebab ia sebentar lagi akan dapat melepas tanggung jawabnya sebagai imam surau.
TIGA
1
AYAH calon bayi sudah mengantongi nama. Sehabis merenung sendirian di kebun jagung, dia hampir-hampir berlari pulang ke rumah. Katanya kepada istrinya sambil senyum-senyum,
“Coba, tebak apa nama bayi kita nanti?”
“Bagaimana aku tahu pikiranmu?”
“Ya, pokoknya tebak saja!”
“Tidak bisa.”
“Nama orang itu harus sesuai dengan hari lahirnya.”
“Aku tahu sekarang. Kalau lahirnya hari Legi, kalau perempuan Legiyem, kalau laki-laki Legino. Kalau hari Wage ya Wagiyem atau Wagino. Kalau hari Pon, Poniyem atau Pono. Kalau hari Minggu ya Ngatiyem-Ngadiyem atau Ngatino-Ngadino….”
Lho, kok tahu?”
“Tahu saja. Itu nama kuno, ketinggalan zaman. Pikirkan nama yang lebih dari nama-nama biasa itu. Seperti kekurangan nama saja.”
Keesokan harinya di kebun jagung dia merenung lagi. Ketika nama itu akhirnya ketemu, ia lari-lari pulang.
“Apa nama bayi kita?”
“Bagaimana aku tahu pikiranmu?”
“Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem.”
“Nah, itu baru bagus!”
“Wali artinya orang suci, penyebar agama Islam di Tanah Jawa.”
“Apa tidak terlalu bagus untuk anak orang gunung seperti kita?”
“Nama itu lebih bagus lebih baik. Nama itu doa.”
“Ya, kalau begitu aku setuja-setuju saja.”
Pekerjaan paling sulit, memilih nama itu pun selesai.
Ketika anak itu lahir perempuan, lima hari sebelum kenduri, kepada setiap orang mereka sudah bisa bilang, “Anak kami namanya Waliyem.”
Namun, rupanya anak itu tidak beruntung dan membawa sial. Sudah kelas tiga SD badannya masih kecil, hidung selalu meler, telinga mengeluarkan bau busuk, mata kecil merah, mudah masuk angin. Sementara itu bapaknya terjatuh dari pohon kelapa dan lumpuh untuk waktu lama. Waktu ayah bisa jalan, punggungnya bongkok dan harus berjalan pakai tongkat. Ibunya yang mencoba bakul gula teh kecil-kecilan kehabisan modal karena dihutang para tetangga. Ketika mencoba menanyakan tentang kesialan mereka, seorang pintar mengatakan bahwa anak mereka tak sanggup menanggung beratnya beban nama. Nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung seperti dia. Dia menyatakan bahwa nama itu perlu diganti. Pasangan itu menyerahkan soal nama baru yang sesuai kepada orang pintar itu.
“Bagaimana kalau . . . mmm . . . Satiyem?”
“Itu bagus. Tapi apa artinya, Eyang?” Bahwa nama itu doa menjadi pegangan pasangan itu, karenanya nama harus yang serba baik.
“Sati itu bahasa Hindu, artinya setia.”
Memang anak itu berangsur-angsur menjadi baik. Bahkan, setelah lulus SD tubuhnya menjadi bongsor. Tetapi, kesialan pada ayah-ibunya malahan bertambah. Ayah yang sudah bongkok itu tergelincir di tanjakan yang licin setelah hujan. Ibu juga demikian. Setelah dagangannya habis itu dia mencoba bangkit lagi dengan meminjam-minjam modal. Akalnya bahwa seseorang hanya boleh membeli dengan tunai menimbulkan boikot para tetangga dan sumpah-serapah. Walhasil, ia tidak bisa mengembalikan hutang, dan seluruh dagangannya diobral untuk membayar hutang.
Mereka ingat nama itu lagi.
“Satiyem itu berasal dari kata sat, artinya kering atau habis,” kata suami.
“Ya, mungkin itu masalahnya.”
Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar itu dan minta nama baru lagi. Sial bagi mereka, orang pintar itu sudah meninggal. Usaha sang ayah untuk menyepi malam-malam di kuburan orang pintar dengan harapan ada nama baru yang dipesankannya tidak berhasil. Tirakat di kuburan itu malah menghasilkan sesuatu yang lain: ia terpaksa berlari terjatuh-jatuh, terantuk-antuk di batu-batu kuburan karena melihat rerupaan seperti raksasa. Ketika peronda menemukannya tersengal-sengal napasnya, sambil bilang, “Nama, nama …” Kemudian jatuh pingsan.
Mau mengganti nama anak itu mereka tidak berani. Nama itu pemberian orang pintar, ada berkah yang mereka belum tahu. Maka, saudara dekat suami-isteri mengusulkan untuk mengadakan kenduri dan lek-lekan (semalam suntuk tidak tidur) guna membuang sial. Maka empat puluh santri dari sebuah pondok diundang untuk mengaji di rumahnya. Mereka datang dan mengaji di ruangan depan. Sementara para santri mengaji, di ruangan belakang, seperti biasanya, orang berjudi untuk menjaga jangan sampai mengantuk. Kyai yang memimpin pengajian sudah berpesan supaya perjudian ditiadakan, sebab terlarang untuk mencampurkan perbuatan yang benar dengan perbuatan yang
keliru. Tetapi para tetangga tidak dapat dicegah. Dan tuan rumah hanya berkewajiban untuk menyediakan tempat dan kue-kue, akan mendapat bagian dari setiap giliran permainan. Dengan pikiran bahwa “apa boleh buat” dan asal mereka sendiri tidak ikut berjudi, maka pengajian dan perjudian berjalan lancar.
Selain pengajian, Satiyem juga diikutkan dalam acara ruwatan yang diselenggarakan sebuah paguyuban aliran kepercayaan. Ayahnya berpendapat bahwa orang bisa beragama apa saja: Islam Kristen Budha, tetapi jangan lupa Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup. Maka, dalam upacara ruwatan Satiyem diguyur dengan bunga mawar. Kemudian ada wayang dengan cerita Ruwatan Murwokolo. Seorang sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak diruwat dia akan dimakan Batara Kala. Tetapi, dasar bocah. Begitu gamelan mulai ditabuh, kantuknya datang. Ayahnya harus berkali-kali membangunkannya supaya anaknya tidak tertidur. “Bangun, bangun! Kau sedang diruwat.” Akhirnya ayah itu menyerah, karena lewat tengah malam kantuk membuat anak itu tidur pulas. “Terjadilah apa yang akan terjadi. Manusia hanya sekedar menerima,” pikirnya.
Satiyem tidak melanjutkan sekolah, tapi di rumah membantu-bantu berladang ayah-ibunya. Setelah bosan di rumah, Satiyem menerima ajakan pamannya yang ahli siter untuk bermain di “rumah iblis”. Suara yang bagus ditambah tubuhnya yang bongsor dan wajahnya yang cantik memberinya peluang untuk jadi penyanyi dan berperan dalam adegan “potong leher”. Maka ia ikut dalam rombongan itu dari satu tempat ke tempat lain. Tidak seorang pun dalam rombongan berani mengganggunya, sebab pamannya termasuk orang yang disegani. Peminat “rumah iblis” menyusut, kabarnya karena adegan-adegan “rumah iblis” kalah seram dengan adegan TV. Orang-orang desa yang menjadi pendukung utama “rumah iblis” memilih nonton TV di balai desa. Ketika rombongan itu akhirnya bubar, pamannya berusaha menyelamatkan anak buah dengan mendirikan ketoprak tobong bermain dari tempat ke tempat.
Pada waktu pamannya jadi boss ketoprak itulah peristiwa itu terjadi. Singkatnya, Satiyem diperkosa pamannya. Pamannya yang telah jadi jejaka tua akibat ditinggal kekasih ke Jakarta itu tidak tahan waktu melihat kain keponakannya tersingkap. Tidak ada anggota rombongan yang curiga ketika Satiyem pamit mendadak untuk pulang ke orangtuanya. Pamannya mengikutinya untuk mempertanggungjawabkan ulahnya.
“Bunuh aku! Bunuh aku!” kata Satiyem pada orangtuanya.
Lho! Datang-datang, kok begitu. Ini ceritanya bagaimana?”
“Bunuh aku, anak tak berguna ini!”
“Nanti dulu, to. Ceritanya bagaimana?”
“Aku benci diriku! Aku jijik padanya! Aku ternoda!”
Pada waktu itu muncul pamannya.
“Ya. Saya mengakui telah berbuat khilaf, Mas-Mbakyu. Aku sudah menodainya.”
“Oalah, jadi itu. Bagaimana si Adi kok sampai hati kau berkhianat pada keponakanmu sendiri,” kata orangtua Satiyem.
Aib itu tidak sampai ke tetangga dan pengurus desa. Ketika paman mengatakan akan menikahi Satiyem, kedua orangtua itu mentertawakan pinangannya. Mereka tahu bahwa adiknya nakal.
“Anak kami tidak kawin dengan Tumenggung Wiroguno.”
Mereka juga menertawakan pikiran pamannya ketika ia menyanggupkan diri untuk mencarikan suami yang lebih muda bagi Satiyem.
“Itu pikiran orang gila.”
Ketika pikiran itu ditolak, ia mengatakan bahwa ia akan membayar “ganti rugi”. Waktu ditolak pula, kepada kedua orangtua Satiyem dikatakannya bahwa gadis itu akan tetap gadis, artinya Satiyem tidak akan hamil sebab ia tahu caranya. Ia memang gila, tapi tidak nekad.
“Itu tidak memecahkan soal.”
“Lha bagaimana, Mas-Mbakyu?”
Kedua orangtua itu tidak menjawab.
“Bagaimana kau ini! Bagaimana kau ini! Bagaimana kau ini! Kok ya tega-teganya, kau ini! Bagaimana kau ….”
Paman mendapat gagasan. Disautnya sendok di meja, lalu dicungkilnya kedua matanya! Bola mata itu jatuh di lantai tanah.
“Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi!”
Sementara itu darah menetes dari kedua matanya.
Kedua orangtua yang melihat darah mengalir mengatakan,
“Bukan begitu maksud kami! Bukan begitu maksud kami!”
Dan paman itu pergi ke dipan lalu jatuh pingsan.
Satiyem yang menyaksikan bagaimana kedua bola mata pamannya terjatuh di lantai tanah. Ia menangis.
“Pak Lik! Pak Lik!”
Pada waktu itu rasa benci, jijik, dan marah pada pamannya hilang. Timbul rasa kasihan yang sangat dalam.
Untuk beberapa minggu sang paman terpaksa menginap di rumah sakit, dan dua minggu pula rawat-jalan. Selama di rumah sakit, Satiyem setiap hari menjenguknya. Setiap kali datang selalu dikatakannya,
“Maaf, Pak Lik!”
Dan pamannya akan menjawab, “Maaf, Satiyem. Saya khilaf.”
Lalu keduanya akan menangis.
“Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku kepadamu.”
“Jangan begitu, Pak Lik. Tak ada dosa, tak ada yang harus ditebus.”
“Aku tahu kesempatan itu akan datang.”
Paman tinggal di rumah Mas-Mbakyunya, menganyam bambu jadi kap lampu, keranjang kertas, hiasan dinding, dan hiasan meja. Dan semuanya berjalan dengan baik. Di waktu senggangnya ia meratapi kesalahannya sambil main siter, “Duh Gusti, kula nyuwun ngapunten … (saya mohon ampun).
Ia baru berhenti ketika suatu hari Mas dan Mbakyunya bilang, “Yang sudah, ya sudah. Jangan dipikir terus.”
3
WABAH muntaber menyerang desa itu. Puskesmas setempat kewalahan melayani orang sakit. Mereka yang perlu perawatan lanjutan dikirim ke rumah sakit di kota. Bapak dan ibu Satiyem termasuk yang harus dikirim ke kota. Bapak Satiyem meninggal di jalan waktu dikirim ke kota, karena dehidrasi. Ibu Satiyem sempat beberapa hari di rumah sakit, tapi juga meninggal seminggu kemudian.
Setelah seratus hari, keluarga besar mendiang ayah-ibu Satiyem mengadakan rapat. Dalam rapat itu akan ditentukan perwalian atas Satiyem.
Dalam rapat itulah paman mengajukan diri jadi pengganti ayah-ibu Satiyem.
“Mau kau beri makan batu, ya?” tanya rapat.
“Jangan khawatir. Aku punya keahlian.”
“Kalau dulu kami percaya. Bagaiamana dengan kebutaanmu?”
“Percayalah.”
“Kami percaya kau ahli memainkan gamelan, tapi bagaimana dengan Satiyem?”
“Kami akan mbarang. Saya bermain siter dan seruling, Satiyem menyanyi. Di waktu senggang saya menganyam bambu, dan Satiyem menjahit.”
Rapat keluarga menilai ada rencana terperinci pada paman. Maka tinggal lagi mereka menanyakan tekad Satiyem.
“Bagaimana, Yem?”
“Itu gagasan yang bagus. Aku setuju.”
Ketika warga desa mengetahui bahwa Satiyem akan pergi, orang-orang tua yang punya anak jejaka menyesalkan keputusan itu. Mereka berharap Satiyem jadi menantunya. Para jejaka desa ada yang memberanikan diri melamarnya, tapi ditolak. Tekadnya sudah bulat: mengembara. Dan hanya akan kawin dengan orang sudah cacat seperti dirinya. Satiyem tidak ingin mengecewakan pemuda desanya sendiri.
Surat kelakuan baik (tidak tersangkut perkara polisi, tidak tersangkut G30/S), KTP, dan izin jalan mencari pekerjaan sudah diurus. Maka mulailah hari-hari pengembaraan mereka. Seluruh warga mengantar sampai perbatasan desa. Laki-laki buta membawa pikulan berisi siter, seruling, radio alias pengeras suara, dan pakaian. Satiyem menjinjing bungkusan pakaian. Mereka yang mengantar diam seperti mengantar jenazah ke kuburan, merasa akan kehilangan Satiyem dan pamannya selama-lamanya.
Siang dan sore hari mereka berjalan dari desa ke desa dan dari pasar ke pasar. Malam hari mereka menginap di kantor kelurahan. Mereka terus akan berjalan sampai suatu kali mereka menemukan tempat yang dekat ke pasar-pasar untuk menetap. Suatu sore mereka sampai di sebuah kelurahan yang sedang merayakan ulang tahun Partai Randu. Mereka diminta untuk mempertunjukkan keahlian mereka, karena secara tiba-tiba grup band yang dipesan mengalami kecelakaan di jalan. Semua warga desa hadir. Selesai pertunjukan diadakan tanya jawab.
Ketika tuan rumah merangkap lurah merangkap Ketua LKMD merangkap Ketua Dewan Pembina Partai Randu diberi kesempatan berbicara, orang yang paling berpengaruh itu bertanya lewat pengeras suara.
“Siapa namamu, Nduk?”
“Satiyem.”
“Ayu-ayu namanya kok Satiyem. Itu nama orang gunung, gunung saja gunung zaman dulu. Kalau orang gunung harus pakai yem, kalau babu Belanda harus pakai tje. Kalau diubah bagaimana?”
“Terserah saja, Pak.”
“Diubah, ya Lur?” Sedulur artinya saudara. “Setuju?”
Semua yang hadir bilang, Setujuuu!”
“Sekarang namamu bukan Satiyem, tapi mmm Satinah.” “Setuju?”
“Setujuuu!”
“Itu lebih marrrketable. Setuju?”
“Setujuuu!”
“Ya. Itulah hakikat demokrasi. Itulah inti dari musyawarah untuk mufakat. Di gunung yang sudah modern kau akan dipanggil Mbak Sat, di desa Mbak Tinah, di kota Mbak Tin.”
“Saya dipanggil Satinah saja, Pak.”
“Demokrasi yang diperjuangkan Partai Randu menghormati hak-hak individu, karena itu kau berhak dipanggil Satinah. Setuju?”
“Setujuuu!”
“Terima kasih, Satinah!”
“Satiiinah! Satiiinah! Kowe kok cantik, yang nyuruh siapa!” koor pengunjung.
Untuk seterusnya nama Satinah itulah yang dipakai. Pamannya agak keberatan, sebab nama itu amanat yang diberikan orangtuanya, tapi segera dilupakannya. Di Balai-balai Desa tempat keduanya menginap hanya nama Satinahlah yang selalu tercatat. Mereka meneruskan perjalanan. Dari pasar ke pasar, dari desa ke desa, dari balai ke balai.
4
SETELAH tanya sana-sini maka mereka menemukan tempat di mana keduanya bisa tinggal berlama-lama. Sampailah mereka di koplakan itu. Koplakan adalah semacam losmen terbuka dan sangat murah, siapa saja boleh datang dan pergi tanpa pemeriksaan surat-surat. Setiap sore yang empunya seorang perempuan tua setengah buta akan duduk di kursi rotan sambil kipas-kipas dan siap berkata pada setiap pengunjung,
“Selamat datang di koplakan terakhir pada abad ini. Eh, boleh bayar iuran sekarang, besok, atau kapan-kapan saja. Gratis juga bisa. Laki-laki sebelah kiri, wanita sebelah kanan. Larangannya ialah tak boleh ma lima.”
Mereka membayar.
“Lho! Ini terlalu banyak. Mau tinggal berapa hari?”
“Sampai kami ingin pergi.”
“Begitu lebih baik. Tinggallah lama-lama. Aku perlu teman.”
Keduanya masuk, membagi buntelan bawaan. Koplakan itu terdiri dari sebuah pendopo dibagi dengan sekat gedeg yang rendah. Ada dua kamar mandi dan wc yang berdekatan dengan satu sumur yang timbanya bisa ditarik kesana-kemari. Orang bisa mandi di kamar mandi, tapi baik laki-laki atau perempuan bisa juga mandi di sumur. Mereka yang menginap ialah para pedagang keliling: penjual payung, pedagang barang-barang dari tanah, pedagang kitab, pedagang pakaian jadi, pelacur, penjahit, penjual mainan anak-anak, penjual balon, dan pembarang macam Satinah dan pamannya.
Kabarnya janda pemilik sering bertengkar dengan anaknya, karena pembukaan koplakan seperti itu sudah ketinggalan zaman dan tidak menguntungkan.
“Sebaik-baiknya orang ialah yang bermanfaat bagi orang lain,” kata ibu.
“Meskipun kau sendiri rugi?”
“Ya, begitulah ajaran Nabi.”
“Kalau kelak aku jadi pemilik, akan kujadikan tempat hotel sungguhan.”
“Jadi, kau berharap aku cepat mati, ya?”
“Ya tidak begitu!”
Anak itu akan menghindari perdebatan selanjutnya setelah ibunya mengungkit-ungkit soal kematian.
Namun, akhir-akhir ini anak itu tidak lagi berbicara soal penutupan koplakan. Perempuan dengan pundak halus mandi di sumur terbuka itu. Seorang pelacur yang masih kinyis-kinyis sengaja menginap untuk memamerkan dagangannya. Pada waktu dia mandi di sumur para laki-laki akan menonton dari balik pintu. Sengaja lewat untuk mengambil jemuran atau apa saja atau tanpa alasan. Adegan paling dramatis ialah ketika perempuan itu mengganti pakaian basah dengan pakaian kering. Akan terdengar, “Suit! Suit!” Laki-laki yang mengharap lebih dari itu harus membayar, dan mereka yang takkan bisa. Hanya anak laki-laki pemilik koplakan saja yang sanggup mengundangnya. Tetapi, itu pun ada batasnya. Ketika si ibu mendengar perihal kelakuan anak dan pelacur, maka tak segan-segan dia mengusir perempuan nakal itu.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa anak pemilik memang thukmis (hidung belang). Suatu hari Satinah mendapat surat gelap. Dalam surat itu ia diperintahkan untuk mandi di sumur. Perintah itu tidak ditanggapi. Perintah itu diulang, dan diulang. Satinah lapor pamannya dan oleh pamannya surat itu dirobek, “Kalau ada apa-apa, panggil saya!”
Sungguh! Pada suatu malam seorang dengan rok tipis mendekati tempat tidur Satinah. Rok tipis merangsek, menyuruh Satinah diam, membuka rok dan celananya. Satinah tersadar, suara itu suara laki-laki. Ia menjerit, “Pak Lik!” Suara itu dikenal pamannya. Ia sudah menduga itu akan terjadi pada keponakannya. Katanya, “Lumpuh kau!” Semua orang terbangun. Maka lelaki itu seketika lumpuh, ketika mencoba berdiri untuk lari ia tidak bisa. Sampai pagi dia hanya berputar-putar sekitar tiang. Ia baru lepas dari kelumpuhan ketika ibunya minta maaf pada Satinah.
Untuk beberapa waktu anak muda itu tak nampak. Ternyata dia mengurus pembubaran koplakan dan pembangunan hotel. Maka dengan
menangis terbata-bata ibunya terpaksa mengumumkan bahwa koplakan ditutup. Para penghuni diberi waktu seminggu untuk meninggalkan tempat.
5
KETIKA itulah datang seseorang untuk meminang. Dia selalu duduk di depan dalam lingkaran ketika Satinah menyanyi di mana saja.
Menunggu sampai habis, dan selalu menjatuhkan uang di besek. Pekerjaannya dimulai sebagai penggembala sapi sampai jadi belantik itu. Sudah beberapa tahun isterinya meninggal. Mendengar koplakan mau ditutup, ia mendekati Satinah.
“Tinah, aku baru saja terpilih jadi lurah. Tapi tidak ada Bu Lurah yang akan jadi Ketua Dharma Wanita. Bagaimana kalau kau saja?”
“Jangan, Pak. Saya sudah bertunangan.”
“Jangan ditolak. Cita-citaku untuk mempersunting kau sudah sejak kau menyanyi di pasar TPI. Memang saya sudah setengah umur, tapi apa ada laki-laki yang terlalu tua untuk gadis seperti kau?”
“Maaf, bukan itu soalnya. Soalnya saya sudah bertunangan.”
“Sekali lagi kukatakan. Jangan ditolak.”
“Tidak, Pak.”
“Awas! Kalau tidak dengan cara kasar ya cara halus. Pokoknya kau jadi milikku! Kau akan datang menyembah-nyembah minta dikawin, atau kau akan berlari-lari telanjang.”
Paman yang dilapori soal pinangan itu menjawab.
Jangan khawatir. Kasar atau halus, aku sanggup.”
Semua orang sudah mendengar soal paman Satinah dan anak juragan koplakan, sehingga ancaman lurah itu tak pernah terbukti.
Keesokan harinya Satinah mampir di toko emas untuk membeli sebuah cincin. Paman mengerti bahwa Satinah sudah dewasa, sudah waktu untuk mulai jatuh cinta.
“Eh, siapa sebenarnya tunanganmu itu?”
“Ya, orang.”
“Mesti to, masak sapi.”
“Itu masih rahasia.”
“Kalau sudah punya calon, bilang saja.”
“Itu sudah lebih lima kali dikatakan, lho.”
Surat-surat sudah keluar. Dan koplakan itu akhirnya dibongkar. Satinah dan pamannya menyewa sebuah rumah yang masih berdekatan dengan bekas koplakan, supaya dekat kemana-mana. Mereka dapat ke pasar TPI, demikian juga ke pasar-pasar lain. Cincin Satinah dilepas untuk membeli mesin jahit, dan pamannya di waktu sore akan membuat anyaman bambu. Dengan mudah mereka memasarkan anyaman bambu karena tiap hari mereka ke pasar. Di depan rumah sewa mereka ada tulisan “Modiste Sati”.
Dari pekerjaan menjahit Satinah dapat membeli sepeda motor butut. Dengan sepeda motor itu pekerjaan berjalan kaki, naik andong, Colt, atau ojek berkurang. Untuk ke pasar di TPI itu dia dan pamannya tidak perlu lagi naik Colt.
Ada seorang perempuan gemuk datang menemuinya selagi dia menjahit. Kulitnya kuning langsat, membawa payung, jalannya megal-megol seperti macan luwe (macan lapar). Dengan kenes dia berkata,
“Tahukah kau Nduk bahwa pekerjaan menjahit itu penuh risiko?”
“Risikonya apa?”
“Lima tahun lagi kau akan bongkok karena selalu membungkuk. Kau akan kena TBC karena serpihan benang masuk paru-paru. Kau akan buta karena selalu melihat barang kecil seperti benang dan ujung jarum itu.”
“Semua pekerjaan ada risikonya, Bu.”
“Ya, tapi ada yang besar ada yang kecil.”
“Menjahit ini termasuk yang kecil itu.”
“Wo, bagaimana kau ini. Bongkok, TBC, dan buta kok kecil?”
“Habis. Bisanya hanya ini.”
“Tidak. Semua orang memakai bagian dirinya yang terbaik untuk bekerja. Bintang film memakai kecantikannya, orang politik memakai lidah untuk berdebat, pejabat memakai otaknya untuk tetap berkuasa, guru memakai kepandaiannya untuk mengajar. Petinju, petenis, pelari, pemain badminton. Semuanya menggunakan miliknya yang terbaik.”
“Saya hanya lulusan SD. Tidak bisa jadi bintang film atau guru.”
“Nah, untuk itulah saya datang.”
“Pekerjaan apa, to Bu?”
“Tentu saja itu pekerjaan yang lebih sesuai untukmu.”
“Iya?”
“Kau masih muda, cantik, dan ramah. Itu modal besar. Tinggal sedikit latihan. Sini saya bilangi.”
Perempuan itu melambai. Satinah mendekatkan telinganya. Ia berbisik-bisik.
“Jadi Ibu ini pemilik rumah ….”
“Bordil. Bukan. Ini profesi, seperti guru, pejabat, orang politik. Sejak dulu meskipun isteri bisa masak, meskipun ada kursus memasak, restoran masih diperlukan. Makan di rumah lain dengan makan di restoran.”
“Tidak, Bu. Saya penjahit saja.”
“Saya datang untuk mengajakmu berpikir, pikirlah dulu. Jangan tergesa-gesa menjawab. Tanganku selalu terbuka untukmu.”
“Tidak, Bu.”
“Setiap orang ada harganya. Polisi sekian, hakim sekian, bupati sekian, anggota DPRD sekian. Kau juga bisa pasang tarif.”
Setelah ditunggu-tunggu beberapa hari Satinah tidak datang juga, kabarnya ibu itu mengirim seorang laki-laki jagoan untuk memaksa Satinah. Menurut pengalamannya, mula-mula memang orang terpaksa, kemudian kerasan, lebih getol dari yang lain. Tidak tahu apa yang dikerjakan paman Satinah, tetapi orang itu hanya berjalan kesana-kemari dan tidak menemukan tempat Satinah. Ketika ibu itu dilapori, dia marah-marah, keluar aslinya dengan menyebut isi kebun binatang dan penjara.
“Monyet! Cenguk! Babi! Anjing! Asu! Copet! Maling! Bajingan!”
Baru dia berhenti dengan sumpah-serapahnya ketika laki-laki bersumpah dengan lebih seru.
“Samber gledek! Biar aku modar! Biar kulitku budukan! Demi Tuhan!”
Ibu itu kemudian mencoba sendiri ke rumah sewa Satinah, tapi juga tak ketemu.

0 Comments:

Post a Comment