Topeng Sang Putri Baca Online Part 1
“Engkau sudah gila, Elleinder?” tanya Arwain tak percaya.
“Tidak,” sahut Elleinder tenang namun tegas.
Arwain tidak mengerti apa yang mempengaruhi pikiran Elleinder sehingga pria itu tiba-tiba memutuskan untuk menikah dengan Putri dari Kerajaan Aqnetta yang kecil tetapi subur dan makmur.
Tidak dapat disalahkan kalau pria yang baru saja diangkat menjadi Raja – menggantikan ayahnya yang meninggal karena sakit – itu berambisi untuk memasukkan kerajaan tetangga itu ke dalam wilayah kerajaannya yang luas, Skyvarrna. Sebagai teman akrab sejak kecil, Arwain tahu Elleinder sejak dulu mempunyai keinginan itu. Seperti banyak negara lain, kerajaan kecil itu sangat menarik perhatian. Wilayahnya memang kecil tetapi kesuburan tanahnya dan kekayaan alamnya sangat besar.
Konon sejak Kerajaan Aqnetta berdiri banyak yang berusaha menguasainya tetapi tidak ada yang pernah berhasil. Dan sampai sekarang hal itu tidak pernah terjadi. Kekuatan militer Aqnetta tidak dapat diabaikan. Kekuatan militernya yang tangguh itulah yang membuatnya tetap damai dalam kebebasannya.
Siapapun yang ingin menyerang Kerajaan Aqnetta selalu berpikir berulang kali. Apalagi terdengar adanya kabar bahwa Kerajaan Aqnetta mempunyai sekelompok pasukan rahasia yang tiada tandingnya.
Memang satu-satunya jalan yang termudah untuk memasukkan Aqnetta ke dalam Skyvarrna adalah dengan menikahi Putri Kerajaan Aqnetta. Tetapi Arwain tetap tidak setuju dan tidak mengerti mengapa Elleinder punya pikiran seperti itu.
Semua Pangeran maupun Raja tahu itu satu-satunya jalan yang termudah apalagi Putri Kerajaan Aqnetta saat ini hanya ada seorang dan kemungkinan besar ialah pewaris tahta kerajaan kelak bila Raja Leland meninggal. Tetapi tidak satupun yang mengambil jalan itu karena mereka tidak tahu banyak tentang Putri Kerajaan Aqnetta ini. Bahkan penduduk Aqnetta sendiri tidak banyak mengetahui Putri mereka.
“Engkau mengerti apa yang kaurencanakan ini, bukan?” tanya Arwain untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Berapa kalikah aku harus mengatakannya padamu, Arwain?” Elleinder balas bertanya, “Aku sudah memikirkannya masak-masak. Bahkan sebelum aku mengatakannya padamu, aku telah menetapkan bahwa aku tidak akan membatalkannya. Aku akan meneruskan rencanaku tak peduli kalau ada yang tidak setuju.”
“Engkau harus tahu, Elleinder, Putri satu ini tidak banyak kita ketahui,” Arwain memperingatkan, “Hampir tidak ada yang mengetahui tentangnya. Bahkan penduduk Kerajaan Aqnetta sendiri tidak banyak mengetahuinya.”
“Aku tahu,” sahut Elleinder, “Ia tidak pernah meninggalkan Istana Vezuza dan tidak pernah menampakkan dirinya pada siapapun.”
“Engkau juga harus tahu kabar tentangnya,” Arwain terus memperingatkan sahabatnya demi berusaha membatalkan rencana yang dianggapnya rencana paling konyol yang pernah diketahuinya. “Di kalangan penduduk Aqnetta beredar kabar bahwa Putri Kerajaan Aqnetta tidak secantik Putri-Putri yang lain. Bahkan mereka mempunyai keyakinan Putri mereka jelek dan gemuk sehingga membuat Raja Leland malu dan melarangnya meninggalkan Istana Vezuza.”
Elleinder terus mendengarkan ceramah Arwain sambil mengangguk-angguk bosan.
“Mungkin ini terdengar aneh bagimu tetapi ini benar. Karena malunya, Raja Leland tidak pernah mengucapkan nama putrinya kepada siapapun sehingga tidak seorangpun di luar mereka yang tinggal bersama Putri yang tahu namanya.”
Arwain jengkel melihat sikap Elleinder yang seakan mengacuhkannya. “Engkau mendengarkanku, Elleinder?”
“Aku mendengar semuanya, Arwain dan engkau harus tahu aku sudah tahu semua yang kaukatakan itu.”
“Lalu mengapa engkau mempunyai rencana konyol seperti itu?”
“Rencana konyol?” tanya Elleinder keheranan, “Kaukatakan rencana hebat ini rencana konyol?”
“Apalagi kalau bukan rencana konyol?” tanya Arwain geram, “Tidak ada seorang Pangeran pun yang mempunyai pikiran sepertimu. Tidak seorangpun yang mengambil resiko untuk menikah dengan Putri yang tidak jelas itu.”
“Pikiran mereka lain denganku,” kata Elleinder santai.
“Dengar baik-baik, Elleinder,” Arwain menggebrak meja di depannya – tanda ia mulai tidak sabar melihat sikap Elleinder yang tidak peduli pada apapun yang dikatakannya, “Kita tidak tahu seperti apa rupa Putri satu ini. Kita juga tidak tahu seperti apakah wataknya. Bagus kalau ia mempunyai sifat yang baik walau wajahnya tidak seperti yang kauharapkan. Tetapi kalau wataknya buruk, maka yang celaka adalah engkau kemudian Kerajaan Skyvarrna. Aku tidak ingin engkau mengambil resiko itu.”
“Engkau juga harus mendengarkanku baik-baik, Arwain,” Elleinder turut menggebrak meja Ruang Kerjanya dan menatap tajam wajah Arwain, “Aku tidak peduli pada protes siapa pun tentang rencanaku ini. Aku tidak akan membatalkan rencanaku ini.”
“Tidak akan,” ulang Elleinder dengan tegas.
Arwain duduk kembali di kursinya dengan putus asa. Dengan nada putus asa pula ia berkata, “Baiklah, Elleinder. Percuma menghalangimu.”
Elleinder pun kembali duduk. Dengan senyum penuh kemenangan ia menatap wajah putus asa Arwain.
“Aku tahu sejak dulu engkau memang tertarik pada Kerajaan Aqnetta,” kata Arwain seperti orang yang kalah perang, “Mungkin ini satu-satunya jalan yang teraman untuk mewujudkan impianmu menguasai kerajaan itu.”
Arwain menatap lekat-lekat wajah Elleinder sebelum dengan penuh kesedihan berkata, “Aman bagi orang lain tetapi tidak bagimu.”
“Engkau tahu sendiri kekuatan Aqnetta tidak dapat diabaikan. Kerajaan Aqnetta terlalu kuat untuk diserang oleh kita walau aku yakin kekuatan kita sebanding dengan mereka.”
“Kabarnya Aqnetta mempunyai pasukan rahasia yang sangat kuat.”
Elleinder mengangguk. “Itulah yang membuatku tidak yakin kita akan menang. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka sangat kuat tetapi tidak ada yang berani mencoba mengusik pasukan itu bahkan penduduk Kerajaan Aqnetta sendiri.”
“Seorang temanku pernah berkunjung ke Istana Vezuza ketika ia ada urusan dagang dengan kerajaan itu. Katanya ia merasa sangat tidak nyaman ketika berada di sana . Ia merasa ribuan mata selalu mengawasinya dengan ketat. Aku menduga perasaan itu karena keberadaan pasukan rahasia itu di Istana Vezuza.”
“Mungkin juga.”
“Harus kauketahui selama berada di Istana Vezuza , ia sama sekali tidak bertemu sang Putri juga tidak mendengar tentangnya dari orang-orang Istana,” Arwain kembali mengingatkan kemisteriusan Putri Kerajaan Aqnetta.
“Aku tahu,” kata Elleinder, “Perkins juga pernah ke sana ketika ayahku masih hidup. Dan ia juga tidak bertemu dengan Putri juga tidak mendengar tentangnya.”
“Putri ini sangat misterius, Elleinder, jangan mengambil resiko apapun. Aku tidak ingin melihatmu berdampingan dengan wanita yang tidak pantas denganmu,” kata Arwain, “Aku tidak dapat membayangkan bila sang Putri memang seperti yang dikabarkan itu.”
Elleinder hanya tertawa mendengarnya. “Mengapa engkau khawatir seperti itu, Arwain? Engkau seperti ibu-ibu yang mencemaskan anaknya yang akan menikah.”
Arwain geram karenanya.
“Jangan cemas, aku telah memikirkan semuanya. Tidak ada satupun yang terlewatkan termasuk kemungkinan kalau Putri itu jelek, gemuk, atau apapun yang buruk-buruk yang kita semua perkirakan. Bahkan kemungkinan kalau ia ternyata lebih tua dariku.”
Arwain mengawasi Elleinder yang tampak percaya diri dengan rencananya itu. Arwain tidak dapat membayangkan bila temannya itu harus berdampingan dengan seorang Putri yang gemuk. Sebagai sahabatnya, Arwain lebih senang kalau Elleinder menikah dengan seorang gadis yang cantik dan ramping. Gadis seperti itulah yang cocok untuk Elleinder yang tampan dan gagah, bukan Putri pilihannya.
Tetapi apa yang dapat dilakukan Arwain? Ia telah berusaha membuat Elleinder membatalkan rencananya tetapi ia tidak berhasil.
“Sekarang bantu aku menyusun surat lamaran yang indah dan pasti membuat sang Putri menerimanya.”
“Tanpa kata-kata yang indah pun, ia pasti akan menerimanya,” kata Arwain setengah mengejek, “Ia pasti merasa sangat beruntung dapat menikah dengan pria sepertimu.”
“Cepat bantu aku!” Elleinder pura-pura marah, “ Surat ini harus sudah siap dalam waktu lima menit.”
“ Lima menit?” tanya Arwain tak percaya, “Engkau gila, Elleinder?”
“Tidak,” sahut Elleinder, “Aku sudah memanggil Perkins sebelum engkau datang tadi. Dan kuperkirakan ia telah siap berangkat ke Aqnetta dalam waktu lima menit lagi.”
“Engkau benar-benar Raja paling gila yang pernah kuketahui,” kata Arwain, “Juga paling tidak masuk akal.”
“Sudah cukupkah ejekan itu?” tanya Elleinder acuh, “Aku rasa justru itu yang membuatmu terus berteman denganku.”
“Engkau benar,” sahut Arwain, “Sejak dulu engkau memang seperti itu. Sekali mempunyai keinginan, selalu berusaha mewujudkannya tanpa peduli apa kata sahabatmu ini.”
Elleinder tersenyum puas sambil menyodorkan pena kepada Arwain.
“Ini benar-benar gila,” kata Arwain, “Engkau yang akan menikah tapi aku juga harus ikut repot.”
“Kau tahu sendiri aku tidak pandai merayu wanita,” Elleinder berkata jujur, “Engkau lebih pandai dari aku.”
“Engkau memang pandai memanfaatkan orang lain,” gerutu Arwain, “Sekarang katakan apa yang harus kutulis. Bahwa engkau jatuh cinta pada sang Putri atau bahwa engkau ingin mempersatukan dua kerajaan melalui ikatan perkawinan.”
“Karena tujuan pernikahan ini murni karena politik, katakan saja untuk mempersatukan dua kerajaan,” sahut Elleinder tegas, “Aku yakin ia pasti menerimanya.”
“Aku tidak tahu harus mengucapkan apa atas semua kekonyolanmu ini,” gerutu Arwain.
“Terus saja menulis,” perintah Elleinder.
Suara ketukan yang tiba-tiba terdengar menghentikan gurauan kedua sahabat itu.
“Masuk!” sahut Elleinder.
Perkins muncul lengkap dalam pakaian kementeriannya. “Selamat siang, Paduka. Selamat siang, Sir Arwain,” sapa Perkins.
“Selamat siang,” sahut mereka.
“Saya melaporkan bahwa saya telah siap menuju Kerajaan Aqnetta.”
“Tetapi surat lamarannya belum siap,” keluh Arwain.
“ Surat lamaran?” tanya Perkins tak mengerti.
Pandangan menyelidik Arwain menatap tajam wajah tak bersalah Elleinder.
“Sudah lanjutkan tugasmu,” kata Elleinder pada Arwain kemudian pada Perkins ia berkata, “Duduklah dulu.”
“Baik, Paduka.”
Perkins mengambil tempat tepat di samping Arwain.
“Kalau boleh saya tahu, Paduka. Untuk apakah surat lamaran itu?”
“Raja kita punya rencana konyol yang tak masuk akal,” jawab Arwain, “Ia bermaksud menikahi Putri Kerajaan Aqnetta.”
Perkins terkejut karenanya.
Sebelum pria setengah baya itu sempat mengatakan apapun, Elleinder mendahuluinya, “Jangan berkomentar apapun. Tidak ada gunanya. Rencana ini tetap berjalan walau kalian tidak setuju.”
“Ia benar,” Arwain setuju, “Aku telah berusaha membujuknya tetapi ia tetap tidak berubah pendirian.”
“Anda tahu resikonya bila menikah dengan gadis yang tak banyak kita ketahui, bukan? Resikonya bukan hanya akan menimpa diri Anda tetapi juga Kerajaan Skyvarrna.”
“Aku tahu.”
Elleinder sudah bosan diceramahi hal yang sama sepanjang siang hari ini. Untuk mengalihkan perhatian Perkins, ia bertanya, “Sudah selesai, Arwain?”
“Sebentar lagi,” kata Arwain.
Perkins terus memperhatikan Arwain yang sibuk menyelesaikan tugasnya sementara itu Elleinder yang melihat surat lamaran itu hampir selesai, segera mempersiapkan penanya.
“Selesai,” kata Arwain pada akhirnya, “Ditambah tanda tanganmu, maka surat ini akan resmi darimu.”
Elleinder menerima surat itu dan membacanya sebelum membubuhkan tanda tangannya kemudian memasukkan surat itu ke dalam sampul surat yang telah disiapkannya.
“Berikan surat ini pada Raja Leland dan sampaikan maafku padanya karena tidak dapat datang sendiri.”
Perkins bangkit dan menerima surat itu. “Baik, Paduka.”
“Setelah tugasmu selesai, segera kembali ke sini.”
“Baik, Paduka,” sahut Perkins.
Segera setelah berpamitan pada Elleinder dan Arwain, Perkins meninggalkan Kamar Kerja.
Sepanjang perjalanan ke kereta kudanya, Perkins terus memandangi surat di tangannya sambil terus berpikir. Tetapi ia tetap tidak mengerti mengapa Elleinder tiba-tiba melamar Putri Kerajaan Aqnetta yang sangat misterius bagi semua orang.
“Kita berangkat,” kata Perkins pada kusir kudanya sebelum naik kereta.
“Baik.”
-------0-------
Raja Leland duduk di Ruang Rekreasi sambil bersantai membaca koran dan menikmati hangatnya kopi hitam. Itulah kebiasaannya di pagi hari.
Seharian mengurus banyak urusan kerajaan membuatnya lelah dan hanya di pagi hari seperti inilah ia bisa beristirahat.
Tengah ia menikmati istirahatnya, seseorang mengetuk pintu.
“Masuk!” kata Raja Leland jengkel.
“Lapor, Paduka,” kata prajurit itu, “Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna ingin bertemu Anda. Katanya ini urusan yang sangat penting yang menyangkut dua kerajaan.”
“Sepenting apakah urusannya?” gumam Raja Leland jengkel.
“Maafkan saya, Paduka,” kata prajurit itu, “Saya telah mengatakan padanya bahwa Anda tidak senang diganggu pada pagi hari tetapi ia mengatakan Raja Elleinder memberinya tugas yang sangat penting dan ia harus bergegas kembali ke Kerajaan Skyvarrna.”
“Baiklah,” kata Raja Leland, “Katakan padanya untuk menungguku di Ruang Tahta. Aku akan menemuinya di sana .”
“Baik, Paduka.”
Prajurit itu pergi untuk melakukan tugas yang diperintahkan padanya.
Tak lama kemudian pintu diketuk lagi.
“ Ada apa lagi?” kata Raja Leland geram.
Calf terkejut melihatnya. “ Ada apa, Paman?”
“Kukira engkau adalah prajurit itu lagi.”
“ Ada apa Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna datang sepagi ini?”
“Aku tidak tahu. Katanya sangat penting.”
Calf ingin tahu apa yang dibawa Menteri itu dari kerajaannya yang luas. “Boleh aku ikut?” tanyanya hati-hati.
“Justru aku mengharapkan engkau ikut,” kata Raja Leland, “Engkaulah calon penggantiku.”
Calf senang mendengarnya. Ribuan kali ia mendengarnya, ia tidak akan bosan. Memang sejak dulu itulah yang diharapkannya, menggantikan pamannya.
Berdua mereka menemui Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna di Ruang Tahta.
“Selamat pagi, Paduka,” sapa Perkins ketika melihat mereka, “Maafkan saya yang telah menganggu Anda sepagi ini.”
“Selamat pagi,” kata Raja Leland sambil tersenyum ramah, “Urusan penting apakah yang membuatmu datang sepagi ini?”
“Saya diperintahkan oleh Paduka Raja Elleinder untuk menyampaikan surat pada Anda. Sebelumnya ia minta maaf karena tidak dapat datang sendiri.”
“Katakan padanya aku mengerti. Memang sulit memerintah kerajaan yang seluas itu.”
Perkins merogoh sakunya dan mengeluarkan surat itu. “Ini suratdari Paduka Raja Elleinder,” katanya sambil menyerahkan surat itu.
Calf menerima surat itu kemudian memberikannya pada Raja Leland.
Raja Leland membuka surat itu dan membacanya.
Calf yang ikut membaca terkejut melihat isi surat itu yang berbunyi:
Kepada Yang Terhormat Paduka Raja Leland,
Hubungan antara Kerajaan Aqnetta dan Kerajaan Skyvarrna telah terjalin dengan baik sejak lama. Persahabatan yang telah berlangsung selama lebih dari tiga abad ini telah mempererat hubungan kedua kerajaan. Sebagai kerajaan yang bertetangga, saya merasa tidak ada salahnya kalau kita semakin mempererat hubungan itu.
Saya telah banyak mendengar tentang Putri Anda. Banyak yang mengatakan ia sangat cantik sehingga Anda tidak rela ia dilihat oleh orang lain. Sayapun kemudian merasa tidak pantas untuk mendampinginya. Tetapi demi mempererat hubungan dua kerajaan yang bertetangga ini, saya memberanikan diri untuk melamarnya.
Dengan pernikahan ini, Kerajaan Aqnetta yang makmur dan Kerajaan Skyvarrna yang luas dapat lebih saling mendukung. Pada akhirnya kedua kerajaan ini akan mempunyai hubungan yang sangat erat yang kelak akan sangat bermanfaat bagi generasi mendatang.
Melalui pernikahan antara saya sebagai Raja Kerajaan Skyvarrna dan Putri Mahkota Kerajaan Aqnetta, dapat dikatakan Kerajaan Skyvarrna menjadi wilayah dari kerajaan Kerajaan Aqnetta demikian pula sebaliknya. Hal ini selain dapat memperluas hubungan kerjasama antara dua negara juga dapat menghilangkan perbedaan yang selama ini ada di kedua kerajaan.
Pada akhirnya, pernikahan ini akan menguntungkan kedua belah kerajaan.
Hormat saya,
Elleinder
Calf mengawasi raut tak percaya Raja Leland dengan cemas.
“Hal ini tidak pernah kubayangkan sebelumnya,” kata Raja Leland tak percaya. “Katakan pada Raja Elleinder aku setuju dengan pendapatnya.”
“Paman?” bisik Calf cemas, “Raja Elleinder hanya ingin menguasai kerajaan kita.”
“Mengapa engkau cemas, Calf?” Raja Leland balas bertanya dengan berbisik, “Kedua kerajaan akan menjadi satu dengan pernikahan ini. Sejak dulu aku ingin menguasai kerajaan yang luas seperti Kerajaan Skyvarrna dan dengan pernikahan ini impianku terwujud.”
“Tetapi kerajaan kita menjadi milik mereka.”
“Tidakkah engkau mengerti, Calf? Pernikahan dua Putra Mahkota dari dua kerajaan akan mempersatukan dua kerajaan. Seperti yang dikatakan Raja Elleinder dalam suratnya, Kerajaan Skyvarrna menjadi wilayah Kerajaan Aqnetta dan Kerajaan Aqnetta menjadi wilayah Kerajaan Skyvarrna.”
“Berarti aku bukan lagi pengganti Paman?” tanya Calf tak percaya.
“Maafkan aku, Calf. Aku tidak ingin mengecewakanmu tetapi inilah yang akan terjadi dengan pernikahan ini,” kata Raja Leland, “Demi kemajuan Kerajaan Aqnetta, engkau harus merelakan hal ini.”
Calf kecewa bercampur geram karenanya. Tanpa mengatakan apapun, ia meninggalkan Ruang Tahta.
Perkins kebingungan melihat pemuda itu berlalu begitu saja dengan marah.
“Abaikan dia,” kata Raja Leland, “Sekarang kita akan membicarakan isi surat Raja Elleinder.”
“Katakan padanya aku sepenuhnya setuju padanya. Aku menerima lamarannya,” kata Raja Leland dengan gembira, “Atau aku harus menulis surat untuknya.”
“Menurut saya, lebih baik kalau Baginda membalas surat Paduka Raja Elleinder sehingga tidak akan ada keraguan ketika saya menyampaikan balasan Anda.”
“Tentu. Tentu saja,” kata Raja Leland, “Tunggulah sebentar.”
Raja Leland memerintahkan kepada prajurit untuk mengambilkan kertas dan pena dari Ruang Gambar yang dekat dengan Ruang Tahta.
Sambil menunggu prajurit itu kembali, Raja Leland mengajak Perkins bercakap-cakap.
“Raja Elleinder memang seorang raja yang cakap walau ia masih muda. Aku tidak pernah menyangka ia mempunyai pikiran yang sangat jauh tentang hubungan dua kerajaan ini.”
“Anda benar, Paduka,” sahut Perkins, “Ketika Raja Fahrein meninggal, Kerajaan Skyvarrna menjadi kacau tetapi Raja Elleinder dapat segera menguasai keadaan.”
“Aku tidak pernah memikirkan bahwa dengan menikahkan putriku dengannya, kedua kerajaan ini akan mempunyai hubungan kerabat bahkan kedua kerajaan tetangga ini dapat menjadi satu kerajaan. Sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi kerajaan kecil ini untuk dapat menjadi satu dengan Kerajaan Skyvarrna yang luas.”
Akhirnya Perkins mulai dapat memahami mengapa Elleinder melamar Putri Kerajaan Aqnetta. Tetapi ia tetap tidak mengerti mengapa demi menguasai Kerajaan Aqnetta , ia rela mengorbankan dirinya sendiri untuk menikah dengan Putri yang konon sangat tidak cocok menjadi seorang Putri sejati.
“Juga merupakan keberuntungan bagi Kerajaan Skyvarrna untuk dapat bergabung dengan Kerajaan Aqnetta yang makmur dan kaya hasil alam,” kata Perkins merendah.
Raja Leland tertawa karenanya. “Kerajaan Skyvarrna beruntung memiliki seorang menteri sepertimu.”
Lagi-lagi Perkins merendahkan diri. “Kerajaan Aqnetta juga beruntung memiliki seorang Raja yang sebijaksana Anda, Paduka.”
Raja Leland senang melihat sikap Perkins yang penuh rasa hormat dan kesopanan.
Prajurit yang ditugaskan Raja Leland untuk mengambil kertas beserta pena itu akhirnya tiba. Dengan setengah membungkuk hormat, ia menyerahkan benda-benda itu pada Raja Leland.
Segera setelah menerimanya, Raja Leland menulis suratjawabannya. Tidak sampai sepuluh menit ia telah selesai menuliskan semua kegembiraan dan persetujuannya atas lamaran Elleinder.
“Berikan ini pada Raja Elleinder,” katanya sambil menyerahkansurat itu pada Perkins.
“Baik, Paduka,” jawab Perkins.
“Apakah engkau mau sarapan pagi di sini bersamaku?” Raja Leland tiba-tiba mengundang Perkins sebagai wujud kegembiraannya.
“Saya akan senang sekali tetapi maafkan saya, Baginda. Paduka Raja Elleinder memerintahkan saya untuk segera kembali setelah menerima jawaban Anda atas suratnya.”
“Ya… ya tentu saja,” kata Raja Leland berulang-ulang. “Bila demikian halnya, aku tidak dapat memaksamu lagi. Sampaikan juga salam dan hormatku pada Raja Elleinder.”
“Baik, Baginda,” kata Perkins sambil membungkuk hormat, “Semua perkataan Anda akan saya sampaikan pada Paduka Raja Elleinder.”
Tak lama kemudian Perkins meninggalkan Istana Vezuza dengan berbagai perasaan.
Lamaran telah diterima. Untuk hubungan kedua kerajaan sudah jelas tetapi tidak untuk masa depan Raja dari Kerajaan Skyvarrna. Perkins tidak dapat membayangkan seperti apakah rupa Putri Kerajaan Aqnetta. Dan kalau apa yang dikatakan banyak orang tentangnya itu benar, Perkins tidak dapat membayangkan bagaimana kebahagiaan Elleinder yang harus berdampingan dengan Putri itu.
Perkins telah menjadi Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna sejak Elleinder masih kecil. Dan hubungan mereka sudah akrab seperti ayah dan anak.
Perkins tahu seperti dirinya, Raja Fahrein mengharapkan Elleinder menikah dengan seorang gadis yang cantik jelita bukan dengan putri yang tak banyak diketahui orang. Bahkan dikatakan gemuk, buruk dan entah apa lagi. Yang pasti kesan yang dikatakan banyak orang tentang Putri Kerajaan Aqnetta adalah bahwa Putri itu tidak pantas menjadi seorang Putri sejati yang anggun, cantik dan penuh pesona. Karena itu Raja Leland malu dan melarang sang Putri meninggalkan Istana Vezuza.
Kalau memang ini yang diinginkan Elleinder, Perkins tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia baru mengetahui rencana ini setelah semuanya terlambat.
Ketika utusan Elleinder datang ke rumahnya untuk menyampaikan perintah Elleinder, Perkins tanpa curiga segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Kerajaan Aqnetta. Dan di Istana Qringvassein , ia tidak punya banyak kesempatan untuk mengetahui apa yang tengah direncanakan Elleinder hingga memerintahkannya untuk segera berangkat ke Kerajaan Aqnetta.
Semua telah siap ketika ia tiba dan yang dapat dilakukannya hanya melakukan tugas itu walau hatinya bingung dan tidak setuju dengan rencana ini. Arwain benar, ini rencana konyol tetapi juga rencana yang sangat berani. Menempuh resiko yang sangat besar hanya untuk menguasai Kerajaan Aqnetta yang kecil tetapi sangat menarik perhatian kerajaan manapun.
Pangeran-pangeran dari kerajaan lain pasti juga tahu dengan menikah sang Putri, mereka dapat menguasai Kerajaan Aqnetta. Tetapi sebesar apapun ambisi mereka, tidak ada yang berani mengambil resiko itu. Hanya Elleinder saja yang berani mengambil resiko itu.
Perkins memandangi halaman Istana Vezuza yang sangat luas.
Istana Vezuza sangat megah dan indah. Walaupun Kerajaan Skyvarrna lebih luas dari Kerajaan Aqnetta, tetapi Perkins mengakui Istana Vezuza lebih indah daripada Istana Qringvassein. Di dalam istana yang indah bagai istana negeri dongeng itu, tinggal seorang Putri yang penuh misteri bagi siapapun kecuali orang Istana Vezuza sendiri.
Perkins menghela napas dengan pasrah. Seperti apapun rupa sang Putri, ia berharap Putri itu dapat membahagiakan Elleinder. Perkins juga berharap Elleinder tidak menyesal dengan jalan yang ditempuhnya ini bila ia tahu rupa sang Putri.
Perkins menyapu seluruh Istana Vezuza beserta halamannya itu dengan pandangannya sebelum akhirnya ia memasuki kereta.
Seperti yang diharapkan Elleinder, Perkins sudah tiba di Istana Qringvassein hanya dalam waktu tak lebih dari dua minggu setelah kepergiannya.
Begitu mencapai Skyvarrna, Perkins segera menuju Istana Qringvassein untuk menyerahkan surat jawaban Raja Leland kepada Raja Elleinder.
Elleinder tampak begitu percaya diri ketika menerima surat itu. “Engkau secepat yang kuharapkan, Perkins.”
“Terima kasih, Paduka.”
Dengan penuh percaya diri, Elleinder membuka surat itu.
Arwain juga ingin tahu jawaban Raja Leland tetapi ia tahu batas-batas keakraban mereka sebagai sahabat. Walaupun mereka adalah sahabat akrab sejak kecil, Arwain tahu ia harus menjaga sikapnya kepada orang nomor satu di Skyvarrna.
“Aku sudah menduganya,” kata Elleinder puas, “Mungkin engkau mau melihatnya, Arwain.”
Arwain tentu saja mau. Ia segera menerima surat itu dan membacanya cukup keras sehingga Perkins juga dapat mendengarnya.
Kepada Yang Terhormat Raja Elleinder,
Saya merasa sangat beruntung atas lamaran Anda kepada putri saya. Saya menyadari apa yang Anda katakan dalam surat Anda benar. Persahabatan antara kerajaan kita telah terjalin cukup lama dan tidak ada salahnya bila kita mempererat hubungan ini dalam suatu ikatan pernikahan. Saya dan putri saya merasa sangat beruntung dengan lamaran Anda ini.
Saya akan merasa sangat beruntung dapat mempunyai menantu yang hebat seperti Anda.
Hormat saya,
Raja Leland
“Tentu saja ia merasa sangat beruntung mempunyai menantu yang sangat tampan sepertimu untuk putrinya yang jelek,” Arwain memberi komentar setelah selesai membaca surat itu.
Elleinder diam saja mendengarnya. Ia senang rencananya berjalan mulus seperti harapannya. Dan ia tidak mau memikirkan yang lain selain keberhasilannya ini.
Arwain menatap lekat-lekat wajah penuh kemenangan Elleinder. “Rencanamu berhasil,” katanya, “Aku hanya dapat mengucapkan selamat menjadi pengantin yang bahagia.”
Elleinder hanya tersenyum mendengarnya.
“Paduka,” kata Perkins tiba-tiba, “Apakah Anda yakin dengan rencana Anda ini? Rencana ini terlalu besar resikonya.”
Entah untuk yang keberapa kalinya, Elleinder berkata, “Aku telah memikirkan semuanya.” Untuk meyakinkan Perkins kalau ia tidak bisa mencegahnya, Elleinder menambahkan, “Kalaupun engkau ingin menghentikanku, semuanya sudah terlambat. Engkau tidak ingin kerajaan kita berperang dengan Kerajaan Aqnetta, bukan?”
“Tentu saja bukan itu maksud saya. Tapi…”
“Sudahlah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Dengan penuh keyakinan, Elleinder berkata, “Setelah menjadi istriku, ia harus menurut padaku. Aku adalah suaminya dan ia tidak akan bisa melawanku.”
“Kuharap engkau bisa mengendalikannya,” Arwain berkata acuh, “Kurasa ia akan terpesona padamu hingga ia akan selalu menuruti semua kata-katamu.”
Elleinder mengacuhkan sahabatnya dan berpaling pada Perkins. “Apakah Raja Leland mengatakan sesuatu tentang rencana pernikahan putrinya?”
“Tidak, Paduka,” jawab Perkins.
“Baiklah,” kata Elleinder tiba-tiba, “Sudah kuputuskan.”
“Memutuskan apa, Paduka?”
“Aku akan ke Kerajaan Aqnetta, Perkins. Aku akan menemui Raja Leland untuk membicarakan pernikahan ini dan mengaturnya.”
“Anda bisa menyuruh saya melakukannya untuk Anda, Paduka,” kata Perkins, “Lagipula banyak yang harus Anda kerjakan di sini.”
“Tidak, Perkins. Aku merasa lebih baik kalau aku sendiri yang membicarakannya dengan Raja Leland. Aku tidak ingin membuat Raja Leland tersinggung.”
“Aku rasa engkau ingin ke sana karena ingin bertemu calon istrimu,” kata Arwain mengejek.
“Aku memang berharap seperti itu. Setidaknya aku sudah tahu bagaimana rupa gadis yang akan menjadi istriku sebelum aku menikahinya.”
Arwain terus menganggu Elleinder. “Kalau ia buruk rupa, engkau akan tetap menikahinya?”
“Sudah berulang kali kukatakan aku tidak akan membatalkan rencanaku,” kata Elleinder jengkel, “Lagipula aku tidak yakin dapat menemuinya. Raja Leland tentu akan menyembunyikannya entah di mana.”
“Saya juga tidak pernah bertemu dengannya ketika dulu saya ke Istana Vezuza,” kata Perkins, “Tampaknya putri ini benar-benar disembunyikan oleh Raja Leland dari semua orang.”
“Baiklah, sekarang semua telah diputuskan. Perkins, engkau boleh kembali ke rumahmu untuk beristirahat. Arwain, engkaupun boleh kembali kalau engkau ingin.”
“Aku ingin ikut denganmu. Aku ingin melihat calon istrimu.”
“Tidak,” kata Elleinder tegas, “Aku yang akan pergi sendiri.”
“Paduka,” kata Perkins, “Saya akan lebih tenang kalau Sir Arwain juga ikut Anda.”
“Tidak,” sekali lagi Elleinder berkata tegas, “Ini perintah dan tidak ada yang boleh membantahnya.”
“Kalau aku ikut, aku dapat mencari tahu tentang sang Putri sementara engkau sibuk berunding dengan Raja Leland,” Arwain tidak berhenti membujuk Elleinder, “Aku juga ingin bertemu dengan calon istri sahabat baikku yang juga rajaku.”
“Saya pikir apa yang dikatakan Sir Arwain benar, Paduka. Seperti yang Anda katakan, lebih baik Anda mengetahui seperti apa rupa sang Putri sebelum Anda menikah dengannya. Sehingga Anda bisa tahu apa yang harus dilakukan sebelum memboyongnya ke sini.”
“Membawa Arwain sebenarnya adalah bencana. Tetapi kalau kalian memaksa Arwain ikut, aku tidak akan mencegah,” kata Elleinder, “Aku juga tidak akan bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu padamu ketika engkau berusaha menyelidiki sang Putri.”
“Aku telah melarangmu,” Elleinder memperingatkan.
“Jangan khawatir,” Arwain tersenyum senang.
“Sebelum engkau kembali, Perkins, tolong panggilkan salah seorang prajurit.”
“Baik, Paduka.”
Perkins segera berlalu dari ruangan itu.
“Keputusan yang sangat bijaksana untuk membawaku pergi besertamu, Elleinder,” kata Arwain puas.
“Seperti yang kukatakan membawamu sepertinya bukan ide yang baik. Tetapi kupikir daripada aku harus sibuk menceritakan apa yang terjadi selama aku berada di Istana Vezuza, lebih baik engkau melihatnya sendiri.”
Arwain tersenyum penuh kemenangan.
“Sebaiknya engkau lekas bersiap-siap. Kalau tidak malam ini, kemungkinan aku akan berangkat besok pagi.”
“Baik, Paduka,” kata Arwain. Kemudian pria itupun segera berlalu.
Sesaat setelah kepergian Arwain, pintu diketuk seseorang.
“Masuk!”
“Paduka memanggil saya?” tanya prajurit itu.
“Aku ingin engkau memanggil Brasch untukku. Dan aku ingin sesegera mungkin, ini masalah yang sangat mendesak.”
“Baik, Paduka,” sahut prajurit itu sebelum meninggalkan Kamar Kerja.
Elleinder menyandarkan punggungnya ke kursinya yang tinggi dengan puas. Ia sangat puas dengan keberhasilannya ini hingga ia yakin ia tidak akan dapat tidur malam ini. Sejak kecil ia berambisi menguasai Kerajaan Aqnetta ke dalam kekuasaan Kerajaan Skyvarrna.
“Kerajaan kecil yang hijau permai namun tak terjangkau,” gumam Elleinder sambil membayangkan keindahan tempat itu.
Hanya sekali Elleinder berkunjung ke Kerajaan Aqnetta, itupun ketika ia masih berusia sepuluh tahun. Tetapi sejak itu dan terus selama tujuh belas tahun terakhir ini, ia tidak pernah melupakan tempat itu. Ia seperti terbius oleh pesona alamnya yang indah.
Pegunungan Alpina Dinaria yang memanjang di perbatasan barat dengan Gereja Chreighton-nya yang lebat dan masih liar. Kota-kotanya yang damai dan penuh pesona. Istana Vezuza-nya yang indah seperti istana negeri dongeng.
Kerajaan Aqnetta. Sebuah kerajaan kecil yang indah dan kaya namun tak berani disentuh kerajaan manapun.
Elleinder puas bahkan sangat puas dengan keberhasilan rencananya ini. Ia merasa telah menang dari kerajaan manapun.
Mereka tidak berani mengambil resiko untuk menghadapi Kerajaan Aqnetta. Elleinder pun juga tidak mau mengorbankan pasukannya ke dalam cengkeraman kekuatan Kerajaan Aqnetta yang terkenal sangat kuat. Kekuatan Kerajaan Aqnetta terlalu kuat untuk diusik kerajaan manapun bahkan bila mereka bersatupun, belum tentu mereka dapat menang dari pasukan Kerajaan Aqnetta terutama pasukan rahasianya.
Tetapi Elleinder lebih berani mengambil resiko untuk menikahi Putri Mahkota Kerajaan Aqnetta. Walau ia tidak pernah tahu seperti apakah rupa sang Putri, ia berani mengambil resiko itu. Tidak peduli sang Putri jelek, tua, gemuk atau apapun, Elleinder tetap akan menjalankan rencananya ini. Setelah menjadi istrinya sang Putri harus tunduk padanya dan ia tidak akan dapat bertindak sekehendak dirinya sendiri.
2
Seperti keinginan Elleinder, dalam waktu empat hari ia telah tiba di Istana Vezuza.
Elleinder berdiri memandang Istana yang tinggi itu. Seumur hidupnya ia akan selalu mengagumi Istana itu walau ia juga mempunyai Istana yang besar dan indah.
Istana Vezuza yang berdinding putih dengan tamannya yang selalu berseri sepanjang tahun. Berbagai macam bunga tampak bermekaran di seluruh halaman Istana walau saat ini adalah pertengahan musim gugur.
Tanaman perdu diatur rapi mengelilingi pohon-pohon tinggi yang berbagai macam. Bunga-bunga kecil tampak di antara rerumputan dan semak-semak. Angin berhembus menimbulkan suara gemerisik dedaunan. Dedaunan terus bergemerisik menyambut kedatangan setiap tamu. Bunga-bunga terus berseri dengan warnanya yang indah memberi senyuman ramah pada tiap tamu.
Prajurit berbaju putih kebiru-biruan berbaris rapi di depan pintu masuk. Di pintu gerbang, berbaris prajurit yang dengan teliti memeriksa setiap tamu yang datang.
“Benar-benar Istana yang indah,” kata Arwain.
Elleinder mengangguk.
“Selamat datang,” sambut seorang prajurit.
“Kami datang untuk menemui Raja Leland,” kata Elleinder.
“Ijinkanlah saya mengetahui siapa Anda dan ada keperluan apa Anda mencari Paduka Raja?” tanyanya pula.
“Saya adalah Raja Kerajaan Skyvarrna. Kami datang untuk membicarakan perjanjian yang penting yang telah kami sepakati bersama.”
“Silakan masuk, Paduka,” prajurit itu sedikit membungkuk. Tangan kirinya melintang ke pundak kanannya dan tangan kanannya menunjuk ke dalam Hall.
Prajurit itu kemudian mengantar mereka ke Ruang Duduk. “Silakan menanti di sini, Paduka. Saya akan memberitahukan kedatangan Anda pada Paduka Raja Leland.”
“Terima kasih,” kata Elleinder.
Arwain tiba-tiba bertanya, “Apakah setiap tamu selalu disambut oleh prajurit yang kaku seperti itu?”
“Sepertinya seperti itu,” jawab Elleinder.
“Benar-benar ketat penjagaan di sini,” bisik Arwain.
Tak lama kemudian pintu terbuka dan Raja Leland datang sambil tersenyum ramah. “Selamat datang. Anggaplah ini sebagai rumah kalian.”
“Terima kasih, Paduka,” kata Elleinder.
“Senang dapat bertemu dengan Anda, Raja Elleinder,” kata Raja Leland.
“Saya juga senang dapat berjumpa dengan Anda.”
Raja Leland melihat seorang pria yang berdiri di samping Elleinder.
“Ijinkanlah saya memperkenalkan teman saya, Arwain kepada Anda, Paduka.”
“Saya merasa terhormat dapat berjumpa dengan Anda, Paduka,” kata Arwain sopan.
“Saya juga senang dapat berkenalan dengan Anda, Tuan Arwain.”
“Ia ikut bersama saya karena ia mendengar tentang keindahan kerajaan ini. ia tertarik untuk melihatnya sendiri. Di sini ia juga bertindak sebagai seorang pengawal saya.”
Raja Leland mengangguk-angguk melihat Arwain kemudian ia kembali pada Elleinder dan berkata, “Saya merasa tersanjung mendapatkan lamaran Anda itu. Ijinkanlah saya mewakili putri saya mengucapkan terima kasih atas lamaran Anda.”
“Saya juga senang dapat mempersunting putri Anda yang cantik.”
Raja Leland tersenyum dan berkata, “Saya tidak pernah menduga akan mendapatkan lamaran Anda. Harus saya akui Andalah orang pertama yang melamar putri saya.”
“Saya merasa tersanjung mendengarnya, Paduka,” kata Elleinder.
“Tidak perlu merasa seperti itu. Mungkin putri saya ditakdirkan untuk menjadi istri Anda.” Raja Leland tertawa senang lalu melanjutkan, “Karena kita akan menjadi ayah dan menantu, sebaiknya panggilan sopan itu mulai kita hilangkan dari sekarang. Aku takkan senang mendengar menantuku memanggilku Paduka terus menerus. Kurasa mulai sekarang engkau harus membiasakan diri memanggil aku ayah.”
“Tentu, tetapi saya akan mulai melakukannya setelah saya menikah dengan putri Anda.”
“Ya, tentu saja,” Raja Leland setuju. “Kapankah kalian akan menikah?”
“Itulah yang ingin saya bicarakan dengan Anda juga dengan putri Anda.”
“Putri saya akan selalu siap kapan saja,” Raja Leland cepat-cepat menyahut, “Anda tidak perlu mengkhawatirkan itu.”
“Kedatangan saya kemari juga ingin bertemu dengan putri Anda.”
“Maafkan saya,” kata Raja Leland, “Putri saya sedang tidak enak badan. Ia tidak dapat menemui Anda dalam beberapa hari ini. Anda tidak perlu khawatir. Ia akan cukup sehat untuk menghadiri pesta pernikahannya.”
“Saya berharap demikian. Saya tidak ingin putri Anda sakit ketika upacara itu berlangsung.”
“Saya meyakinkan Anda ia akan cukup sehat untuk menikah dengan Anda,” kata Raja Leland kemudian ia mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Menginaplah di sini untuk beberapa hari hingga kita selesai membicarakan pernikahan ini.”
“Saya juga berencana tinggal beberapa hari di Kerajaan Aqnetta untuk membicarakan masalah ini.”
Raja Leland tersenyum senang. “Makan siang akan siap sebentar lagi. Saya berharap Anda mau turut makan bersama kami. Anda juga, Tuan Arwain.”
“Terima kasih atas undangan Anda,” kata Elleinder dan Arwain hampir bersamaan.
Elleinder memberi tanda dengan matanya kepada Arwain ketika Raja Leland membawanya meninggalkan ruang itu.
Arwain tersenyum. Sekarang bukan waktunya ia memulai sandiwaranya sebagai seorang pengawal. Tidak tertutup kemungkinan saat makan siang nanti, mereka akan makan bersama sang Putri.
Sayangnya, harapan tinggallah harapan.
Di meja makan yang besar itu tidak tampak seorang gadis pun. Yang ada hanya Raja Leland, Elleinder dan Arwain serta beberapa prajurit pengawal.
Pelayan-pelayan berbaju biru cerah dengan celemek putihnya mulai bermunculan dengan nampan perak di tangan mereka. Mereka terus bergerak melayani ketiga orang itu.
“Hidangannya sangat lezat, Paduka,” puji Arwain, “Belum pernah saya merasa dijamu semewah ini.”
“Anda hanya melebih-lebihkan, Tuan Arwain,” kata Raja Leland merendah.
“Hidangan yang Anda sajikan ini sangat lezat,” timpal Elleinder.
“Terima kasih, saya senang Anda menyukainya,” kata Raja Leland.
Raja Leland melihat sinar matahari yang menyinari ruangan itu. “Hari sudah siang,” katanya, “Saya kira Anda lelah setelah perjalanan jauh Anda. Silakan Anda beristirahat. Besok kita baru membicarakan rencana pernikahan ini.”
“Anda benar, Raja Leland,” kata Elleinder, “Sebaiknya kita mulai membicarakannya esok hari.”
“Luke!” panggil Raja Leland, “Antarkan Raja Elleinder dan temannya ke kamarnya.”
“Baik, Paduka,” kata Luke kemudian pada Elleinder ia berkata, “Saya akan mengantar Anda berdua.”
“Kami permisi dulu, Paduka,” kata Arwain. Kemudian mereka meninggalkan Ruang Makan.
Ketika merasa cukup jauh dari Ruang Makan, Arwain berbisik, “Sang Putri tidak ada.”
Elleinder mengangguk.
“Sepertinya ia benar-benar disembunyikan bahkan dari calon suaminya sendiri,” bisik Arwain lagi.
“Kurasa kata-katamu tempo hari benar,” bisik Elleinder, “Sementara aku berunding, engkau mencari sang Putri.”
Arwain tersenyum puas.
Keduanya berdiam diri dan terus mengikuti Luke.
Luke membuka pintu sebuah ruangan. “Ini kamar untuk Anda, Paduka,” kemudian Luke melihat Arwain, “Di sampingnya adalah kamar untuk Tuan.”
“Terima kasih,” kata Elleinder.
Pria itu membungkuk dan meninggalkan mereka.
Elleinder memasuki kamarnya. Dibandingkan luas kamarnya di Kerajaan Skyvarrna, kamar ini sama besarnya.
“Benar-benar kamar yang indah,” kata Arwain.
Sebuah tempat tidur antik dengan tirai-tirai putihnya yang tipis terletak di dekat jendela. Antara jendela dan tempat tidur hanya berbatasan sebuah meja kecil. Sebuah meja lain terletak di depan perapian besar di hadapan tempat tidur. Di atas meja terdapat sebuah vas bunga dengan bunga-bunga keringnya yang ditata rapi dan indah.
Lantainya berselimutkan permadani hijau yang cerah. Dinding kamar putih bersih tanpa noda sedikit pun. Di sudut langit-langit kamar terdapat ukiran-ukiran malaikat yang indah. Langit-langit putih yang tinggi itu menaungi kamar yang rapi itu.
Tirai-tirai jendela menari-nari tertiup angin yang sejuk. Di luar jendela tampak sehamparan permadani alam yang hijau berseri.
“Inilah kamar Istana negeri dongeng,” kata Elleinder lalu ia melangkah masuk.
“Aku ingin tahu kamarku seperti apa.” Arwain berlari ke kamarnya dan tak lama kemudian ia kembali ke kamar Elleinder dengan wajah sedih.
“Ada apa?” tanya Elleinder ingin tahu.
“Kupikir kamarku akan lebih indah dari kamarmu tetapi…”
“Kamarmu lebih jelek,” sambung Elleinder.
“Tidak,” kata Arwain sedih, “Kamarku sama dengan kamarmu.”
“Mengapa engkau sedih seperti anak kecil?” tanya Elleinder, “Tidak ada gunanya menangisi kamar Istana ini. Kita sudah beruntung mendapat kehormatan untuk menginap di Istana negeri dongeng ini.”
Arwain menunduk sedih.
“Aku lelah sekali. Aku ingin beristirahat kemudian aku akan mencari tahu seperti apa rupa sang Putri.”
Tiba-tiba Arwain menjadi bersemangat lagi. “Istirahatlah,” katanya lalu menghilang dari kamar Elleinder.
Elleinder tersenyum. Ia yakin Arwain akan mencari sang Putri saat ini juga. Elleinder menjatuhkan diri di kasur bulu angsa yang lembut.
Sekarang ia dapat beristirahat dan menanti Arwain memberikan laporannya.
Arwain menuju lantai terdasar dari Istana Vezuza dan berjalan santai seperti layaknya penghuni Istana lainnya.
Orang-orang yang berlalu lalang di Hall tidak mempedulikan kedatangannya. Mereka tampak sibuk sendiri dengan pembicaraan mereka.
Tidak adanya orang yang memperhatikan, membuat Arwain merasa senang dan bebas. Ia dapat mencari sang Putri tanpa khawatir seorang prajurit akan menangkapnya karena mencurigainya.
Mengingat sang Putri tidak pernah meninggalkan Istana, sang Putri pasti telah terbiasa berada di dalam Istana. Karena sang Putri tidak pernah menampakkan diri, ia pasti tidak berada di Hall yang ramai seperti ini.
Berada di dalam Istana terus juga tidak mungkin. Bagaimana pun senangnya sang Putri tinggal di dalam Istana, ia pasti ingin melihat dunia luar.
Siang hari seperti ini, jarang ada orang di halaman. Halaman Istana sangat luas dan sang Putri tidak akan menemukan kesulitan untuk mencari tempat persembunyian yang sejuk dan menyenangkan.
Arwain terus melangkah ke taman dan berharap melihat seorang gadis buruk rupa seperti yang dikatakan orang-orang itu.
Berjalan di bawah teriknya matahari bukanlah hal yang menyenangkan. Tumbuhan di halaman sangat banyak dan lebat tetapi tidak dapat menandingi keangkuhan sang surya.
Belum ada setengah halaman yang dilalui Arwain tetapi seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat. Arwain tidak kuat lagi untuk berjalan di teriknya matahari. Ia kembali ke Istana.
Sang Putri tidak pernah meninggalkan Istana tentu ia juga tidak pernah merasakan teriknya matahari. Jadi, kemungkinan satu-satunya adalah sang Putri sekarang berada di dalam Istana. Di suatu tempat yang jarang didekati orang.
Tidak mungkin di lantai pertama karena tempat itu sangat ramai oleh orang yang berlalu-lalang. Lantai dua juga tidak mungkin karena di sanalah kamarnya juga kamar Elleinder berada. Lantai tiga masih mungkin apalagi lantai tertinggi Istana Vezuza.
Dengan penuh percaya diri Arwain melangkah ke lantai tiga. Seperti dugaannya di tempat itu jarang ada orang. Yang tampak olehnya hanya pelayan-pelayan yang bertugas membersihkan tempat itu.
Setelah lama mencari akhirnya Arwain menemukan sebuah tempat yang tidak tampak dihuni. Tidak seorang pun yang tampak di sana walaupun tempat itu sangat bersih. Lorong-lorongnya yang terang tampak kosong.
Arwain tersenyum puas dengan temuannya itu. Walau tidak tampak seorang pun di tempat ini, ia yakin sang Putri berada di sini di lantai empat ini.
Arwain mulai berjalan lambat-lambat dan berhenti di tiap pintu untuk mendengar bila ada kehidupan di dalamnya. Bila tak ada orang, Arwain membuka pintu yang tak terkunci itu dengan harapan sama yaitu melihat sang Putri.
Tetapi harapan Arwain tidak pernah terwujud. Dengan sedih ia melanjutkan pencariannya dan semakin lama semangat ingin tahunya semakin besar.
Tiba-tiba Arwain merasa hawa dingin di sekitarnya. Rasanya seperti ada beratus-ratus orang yang tengah mengawasinya dengan mata tajam mereka dan siap menghunuskan pedang ke perutnya.
Arwain melihat ke sekeliling lorong mulai dari atas hingga bawah tetapi ia tidak melihat seorang pun. “Mungkin hanya perasaanku saja,” kata Arwain pada dirinya sendiri tetapi pikiran Arwain mengatakan pasukan rahasia Kerajaan Aqnetta sedang mengawasinya.
Arwain memarahi dirinya sendiri. Sejak tadi hingga saat ini ia sama sekali tidak ingat tempat ia berada saat ini adalah markas dari pasukan rahasia Kerajaan Aqnetta yang sangat terkenal. Tentu sejak tadi mereka telah mengawasinya.
Celaka sudah dirinya! Sekarang seluruh pasukan Kerajaan Aqnetta akan mencurigainya.
Arwain mengutuki dirinya sendiri dan kembali ke kamarnya.
Walau ia telah meninggalkan lantai empat, perasaan diawasi itu masih tetap ada. Arwain merasa seluruh tubuhnya bergetar ketakutan membayangkan sekelompok pasukan rahasia sedang mencurigainya.
Dengan terpaksa Arwain harus membatalkan pencariannya untuk hari ini. Ia harus beristirahat agar pasukan rahasia itu tidak curiga lagi padanya. Kalau ia berhasil, maka pasukan itu akan menganggap perbuatannya sepanjang siang ini hanya karena ia ingin melihat seluruh isi Istana Vezuza bukan memata-matai kegiatan di Istana Vezuza.
Hari ini Arwain membatalkan pencariannya tetapi bukan berarti ia akan membatalkannya untuk seterusnya.
Pagi ini setelah makan bersama Raja Leland, Elleinder diajak Raja Leland ke ruangannya untuk membicarakan pernikahannya. Kesempatan ini dimanfaatkan Arwain dengan baik untuk mulai mencari sang Putri.
Pencariannya hari ini berbeda dengan pencarian kemarin. Hari ini ia mencari perhatian para wanita di Hall.
Seperti yang dilakukannya kali ini, Arwain mendekati sekelompok wanita yang sedang berbincang-bincang.
“Selamat pagi,” sapanya, “Maaf saya menganggu pembicaraan Anda. Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin bertanya pukul berapa sekarang.”
“Saat ini sekitar pukul setengah sepuluh.”
“Sudah siang rupanya,” Arwain berpura-pura mengeluh, “Saya tak menyangka waktu terasa lebih cepat berlalu di negeri ini.”
“Anda tidak berasal dari sini?” tanya seorang wanita tertarik.
“Saya berasal dari Kerajaan Skyvarrna.”
“Anda berasal dari negeri yang luas itu rupanya. Ada keperluan apa Anda datang kemari?” tanya yang lain.
Arwain puas mendapat perhatian dari para wanita itu.
“Saya ke sini menemani teman saya menyelesaikan masalahnya di sini.”
“Tampaknya masalah yang teman Anda hadapi itu bukan masalah mudah.”
“Anda benar. Saya yang hanya sebagai penonton ikut pusing karenanya.”
“Saya berharap dapat membantu Anda.”
“Anda sudah membantu saya bila Anda mengijinkan saya memperkenalkan diri pada wanita-wanita yang cantik seperti Anda semua.”
“Anda pandai memuji, Tuan.”
“Saya berkata yang sejujurnya. Saya belum pernah melihat wanita yang secantik Anda semua. Saya yakin sang Putri kalah cantik dari Anda semua.”
“Putri kami yang Anda maksud?” tanya seorang wanita.
“Ya, kata orang ia cantik tetapi saya yakin ia kalah cantik dengan Anda semua.”
Wanita-wanita itu tertawa geli.
“Siapakah yang mengatakan hal itu pada Anda, Tuan?”
“Putri kami sangat memalukan Paduka hingga Paduka melarangnya meninggalkan Istana Vezuza. Sejak lahir ia sudah buruk rupa karena itu Paduka tidak mengijinkannya keluar.”
“Benarkah itu?” tanya Arwain pura-pura tak percaya, “Apa yang saya dengar sangat berlainan dengan yang Anda katakan.”
“Kami mengatakan yang sebenarnya, Tuan. Semua orang di kerajaan ini juga tahu sang Putri sangatlah buruk hingga untuk menyebut namanya saja, Paduka malu. Kami dengar sang Putri sudah tua. Raja tampaknya sudah menyerah untuk mencarikan suami bagi putrinya itu.”
“Siapa yang mau menikah dengan wanita yang sudah buruk, gemuk juga tua walaupun ia seorang Putri Raja?”
“Orang yang menikah dengannya pasti orang gila.”
“Saya setuju dengan Anda,” sahut Arwain tak mau kalah, “Hanya orang gila yang mau menikah dengan gadis seperti itu.”
“Ia bukan seorang gadis muda lagi, Tuan,” kata seorang wanita mengingatkan, “Ia gadis tua.”
“Karena tua dan buruknya dia, Paduka sampai tak mengijinkannya meninggalkan kamarnya.”
“Benarkah itu?” Arwain pura-pura tak percaya, “Tidak mungkin Paduka Raja Leland menyembunyikan putrinya sampai tidak mengijinkanya meninggalkan kamarnya.”
“Itu benar, Tuan. Ayah saya telah bekerja di Istana ini selama berpuluh-puluh tahun tetapi belum pernah ia melihat sang Putri. Ia hanya tahu mengenai kelahirannya setelah itu ia tidak tahu apa-apa lagi tentangnya.”
“Jadi apa yang saya dengar selama ini sangat salah,” gumam Arwain.
“Benar, Tuan. Semuanya itu sangat salah.”
“Kalau Anda tidak mempercayai kami, Anda bisa menanyakannya pada para pelayan di Istana ini.”
“Anda jangan heran bila mereka mengatakan tidak pernah bertemu sang Putri.”
“Saya akan mencoba saran Anda,” kata Arwain, “Terima kasih atas pembicaraan yang menyenangkan ini.”
“Bila Anda sangat ingin tahu mengenai sang Putri, Anda bisa mencari Nissha. Kata ayah saya, wanita itulah yang merawat sang Putri sejak ia lahir.”
“Terima kasih atas saran Anda. Saya akan mencarinya.”
Arwain tersenyum puas ketika meninggalkan sekelompok orang itu.
Elleinder akan sangat terkejut bila mengetahui apa yang dikatakan para wanita itu padanya. Mungkin ia akan membatalkan pernikahan konyolnya ini.
Bila itu terjadi, Arwain sebagai temannya akan sangat senang.
Arwain tidak perlu menemui pelayan yang disebut wanita itu. Ia yakin wanita itu akan mengatakan hal yang sama padanya.
Ketika melihat Elleinder kembali ke kamarnya, Arwain segera menuju kamar pria itu.
“Dari wajahmu, aku melihat engkau telah menemukan sesuatu yang sangat menyenangkan hatimu.”
“Kau benar,” sahut Arwain, “Apa yang kutemukan ini pasti dapat mengubah semua rencanamu.”
Elleinder hanya memandang tak percaya.
“Aku yakin, Elleinder. Sangat yakin,” kata Arwain tegas.
Elleinder tetap memandang tak percaya.
0 Comments:
Post a Comment