Wasripin Dan Satinah Baca Online Part 1
WASRIPIN DAN SATINAH
Kuntowijoyo
SATU
1
WASRIPIN naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. Sudah lama dipelajarinya bahwa pertama-tama ia harus mengambil jurusan Jakarta-Cirebon. Di beberapa tempat memang ia sudah melihat pantai. Tetapi ia tahu bukan itulah tujuannya. Tujuannya adalah pantai utara Jawa Tengah sebelah barat. Kemudian ia mengambil bus Cirebon-Semarang. ia mendapat tempat duduk. Untuk dua kali naik bus itu dengan rela ia memberikan kekayaan di saku kanan-kirinya sebelah atas, yang didapatnya dari pocokan membecak, mendorong-dorong mobil mogok, dan membantu-bantu orang memperbaiki rumah. Uang itu disimpannya sendiri, sebab ia tahu emak angkatnya merasa berhak atas uang yang didapatnya. "Turun mana?" tanya kondektur bus Cirebon-Semarang yang melilitkan tas di pinggangnya. "Nanti saya bilang," kata Wasripin. Tanpa bertanya lagi kondektur memasukkan uang ke tas. Karcis tidak diberikan, mungkin karena tujuannya tak jelas atau memang sengaja demikian sebagai bonus untuk awak bus. Tidak apa, Wasripin bahkan tidak tahu bahwa seharusnya dia menerima karcis.
Di atas bus Cirebon-Semarang ia melongok-longok ke luar. Tapi selalu saja ia berkata pada diri sendiri, "Bukan ini!" Hampir di sepanjang perjalanan itu ia sudah mencium udara pantai seperti yang dipelajarinya di Tanjung Priok, tapi belum memutuskan untuk turun. Dipegangnya kata-kata emak angkatnya bahwa ibunya berasal dari pantai utara Jawa Tengah sebelah barat. Ia berniat kembali ke desa ibunya, entah di mana. Akhirnya, dengan kemantapan yang tak akan dimengertinya, ia berkata kepada kernet untuk menghentikan bus. "Minggir, minggir. Pelan, ada orang bunting delapan bulan mau turun!" kata kernet yang berdiri di sebelah kiri pintu bus. Sopir menghentikan bus. Lalu Wasripin meloncat ke luar, melambaikan tangan untuk mengucapkan terima kasih. Lambaian itu juga berarti, dia mengucapkan selamat tinggal pada dunianya yang lama. "Inilah tumpah darah ibuku," katanya dalam hati. Ia berjalan ke kiri, ke mana pun kaki melangkah, tanpa tahu nama tempat yang dituju. Pokoknya, pantai, pantai!
2
SEJAK ibunya meninggal, ketika Wasripin masih berumur tiga tahun, ia dipungut anak oleh emak angkatnya yang berjualan tahu ketoprak, berpindah-pindah tergantung adanya proyek. Kalau proyek sepi, ia berjualan di tepi jalan. Induk semangnya selalu berkata, "Kita sungguh beruntung, jelek-jelek kita punya rumah. Coba, kalau tidak, kita akan tidur di tepi jalan, di bawah jembatan, di emperan toko." Dan seperti banyak anak lainnya di perkampungan kayu, bambu, dan seng di tepi sungai itu, ia juga tidak tahu siapa ayahnya. Jadi, bukan persoalan baginya bahwa ia tidak punya ayah, tapi
tidak punya ibu sungguh menggelisahkannya. Rasanya hanya dia sendiri yang tak punya ibu di perkampungan itu.
Seperti anak lainnya, ia juga masuk sekolah, dan setamat SD lalu berhenti untuk membantu-bantu emak angkatnya. Setamat SD itu ia cukup kuat untuk mendorong gerobak dagangan dan dapat dipercaya mencuci piring. Kemudian ia dapat diandalkan untuk meracik makanan. Bahkan, kemudian ia dapat memasak sendirian. Kata emak angkatnya, ia punya bakat besar untuk berjualan ketoprak. Ia juga sempat bermain umpetan, main bola, atau main voli pada waktu masih sekolah. Di tepi sungai itu kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa, orang juga bekerja untuk dapat makan meskipun kebanyakan orang tidak sempat hidup dalam keluarga. Ada RT, ada ronda kampung, ada kartu C-1, ada KTP. Pernah ada pencopet, tapi ketika penduduk gelap itu ketahuan, ia diusir dari kampung. Pendek kata, benar belaka kata-kata emak angkatnya bahwa mereka beruntung.
Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita lain yang masih bersaudara dengan emak angkatnya, dan bekerja sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu apa artinya. "Maaf, maaf," kata emak angkatnya selalu setelah sang laki-laki pergi. "Tidak apa, kami tahu kok, Mbakyu," kata mereka berdua. Basa-basi itu berjalan beberapa lama, kemudian semuanyajaditerbiasa. Pemandangan dan suara-suara itu berjalan bertahun-tahun, dan lama-lama sudah jadi kejadian yang biasa di mata dan telinganya, tidak ada yang aneh.
Pada umur entah berapa, ia mendapat dipan sendiri, tetapi masih di situ berdampingan dengan emak angkatnya. Umur enam belas atau tujuh belas emak angkatnya meraba-raba sarongnya dan berbisik, sangat dekat ke telinganya. "Engkau laki-laki dewasa!" Pada waktu itu ia mencium bau alkohol keluar dari mulut emak angkatnya. Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun kemudian tahulah dia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa.
Suatu sore emak angkatnya berkata, "Yu Mijah butuh tenagamu." Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak angkatnya dengan enak gantian tidur di dipan Wasripin. Ia menguras tenaganya. Sore yang lain emak angkatnya berkata, "Tumiyem butuh tenagamu," dan penyekat pun di pasang. Tidak disadarinya, entah berapa perempuan sudah minta tenaganya. Perempuan-perempuan yang ditemaninya tidur selalu mengacungkan jempol kepada emak angkatnya dan emak angkatnya dengan bangga akan berkata kepadanya, "Kata semua orang, engkau laki-lakijempol." Ia senang dengan pujian itu. Ia juga senang karena dapat membalas budi emak angkatnya. Sebab, ia lihat para erempuan yang butuh tenaganya selalu mengulurkan sejumlah uang kepada emak angkatnya. Ia terbiasa dengan isyarat emak angkatnya dan penyekat itu.
Hanya kalau emak angkatnya sendiri yang butuh tenaganya, perintah itu tak akan didengarnya. Penyekat-penyekat menguntungkannya, sebab sejak itu
ia mendapat makanan terbaik di perkampungan: telur, daging, dan nasi yang masih panas. Keberuntungan itu berjalan empat tahunan. Pada tahun kelima ia merasa harus menghentikan semua kegiatannya, membantu para perempuan dengan tenaganya. "Aku tak mau mati dengan cara begini," katanya.
3
SUATU sore emak angkatnya membangun penyekat. Wasripin tahu apa artinya, dan perempuan itu berkata, "Ripin, ayo to, jangan pura-pura." Emak angkatnya mendekat, membuka sarungnya, "Lho! Kok kututmu tidak manggung, Le." Wasripin, "Boleh aku terus terang, Mak?" Emak angkat, "Apa?" Wasripin, "Tadi siang kulihat kambing bandot dikawinkan. Saya pikir aku tak jauh dari itu." Emak angkat, "Makanya, jangan berpikir. Hidup ini jalani saja." Wasripin, "Saya pikir aku seperti ayam, seperti kambing, seperti sapi pejantan." Emak angkat, "Ah, macam-macam. Yang kau perlukan ialah madu dan telur." Emak angkatnya kemudian pergi ke dapur. Wasripin malah menyambar celananya, keluar rumah. Malam itu ia meninggalkan perkampungan, dan tak bermaksud kembali. Ia bertekad meninggalkan tempat itu. Emak angkatnya lari kesana-kemari di perkampungan, tetapi tidak menemukan Wasripin. Kemudian emak angkatnya minta tolong ke seorang centeng, tetapi selalu mendapat laporan tidak menggembirakan. "Puluh-puluh begjaning awak (Alangkah buruk keberuntungan diriku", beginilah nasib orang melarat!" katanya. Ia mengadul-adul barang Wasripin di lemari kayu sengon. Memukuli dadanya sendiri, menangis keras-keras, merobek-robek bajunya, terduduk selonjor di lantai tanah kamarnya. Dua wanita saudaranya hanya bisa jatuh kasihan. Ia berhenti menyesali diri ketika teringat bahwa kejadian itu mungkin isyarat bahwa ia harus pulang ke desa.
4
WASRIPIN melangkah pasti. Makan dan tidur tidak jadi persoalan. Ia tahu tempat yang murah untuk makan, ia bisa tidur di mana saja. Ia bisa mandi dan berak di sungai. Induk semangnya mengajari untuk tidak mencuri, menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang. Tentang kekayaan, kata emak angkatnya, "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah," dan "Tentang rezeki jangan lihat ke atas, lihatlah ke bawah. Katakan pada dirimu bahwa kau beruntung. Begitulah cara berterima kasih pada Gusti Allah."
"Ya, ini pasti desa ibuku." Sehabis lohor ia sampai di suatu tempat. Ada kesibukan, ada perahu-perahu, ada laut yang menjorok ke dalam, ada bangunan kayu menempel ke teluk itu, ada muara sungai, ada bangunan lain di dekatnya, ada lapangan bola dengan jemuran ikan asin di atas para-para dari bambu. Ia melihat beberapa orang mendandani jala mereka di pantai teluk. Ia mencium bau ikan segar, perahu-perahu berlabuh di anjungan, dan orang dengan keranjang-keranjang kemudian menaruhnya pada bangku dari beton. Orang-orang perahu dengan keranjang lalu terlibat pembicaraan dengan orang yang sudah menunggu. Pemandangan itu asing baginya tapi mengasyikkan. Ia tambah yakin bahwa ia tidak salah pilih. Ia masuk ke bangunan, dan menemukan seorang dengan baju putih celana hitam pakai kopel, berpet, dan
di pundaknya melilit sempritan, berdiri-berdiri sambil merokok. Ia mengulurkan tangannya.
"Nama saya Wasripin. Dari Jakarta."
"Saya Satpam."
"O, ya. Di mana masjid?"
"Itu, tapi hanya surau," ia menunjuk ke bangunan yang terpisah dari laut. Wasripin tidak pandai sembahyang, tapi tahu di situ ia dapat menumpang mandi dan berak. Pekerjaan itu sudah dua hari ditinggalkannya, jadi ia ingin betul ke sana. Ia praktis lari. Ia dapat berak dan mandi. Tapi tidak puas dengan mandi di kulah, rasanya ada yang kurang.
Setelah selesai, ia kembali ke situ. Ia mencium bau anyir. Dan kesibukan.
"Jadi ini bangunan apa?"
"TPI, Tempat Pelelangan Ikan."
"Sudah kuduga. Itu lapangan bola, ya?"
"Untuk pasar kalau pagi."
"O, begitu. Saya lapar. Di mana warung?"
Satpam menunjuk-nunjuk. Wasripin pergi ke warung. Sudah itu ia buru-buru ke surau, sebab kantuknya datang. Ia menuju emperan surau, mencopot sepatu kain putih yang sudah lusuh. Tidak ada barang bawaan, sehingga tidak ada yang harus dijaganya. Ia tidur begitu saja.
Ia merasa tidur sangat nyenyak di emperan surau sampai Ashar, sampai Maghrib, sampai Isya. Jamaah Isya berkerumun di sekitarnya. Penjaga TPI datang, dan mengatakan bahwa namanya Wasripin dari Jakarta. Pak Modin -dulu perangkat desa, tapi diberhentikan- merangkap imam surau berkata pada jamaah. "Coba dibangunkan, suruh tidur di dalam."
Beberapa orang menggoyang-goyang. Tapi Wasripin diam saja, mengikuti goyangan. Tidak terbangun. Orang pun gregetan, lalu mengguling-gulingkannya, tidak terbangun. Akhirnya, orang pun membiarkannya tidur. Lima orang yang bertugas ronda datang. Mereka mengamati Wasripin: orang asing. Satu di antaranya pergi untuk melapor ke Kaur (Kepala) Keamanan, Kaur Keamanan akan ke Koramil (Komando Rayon Militer, Tentara Kecamatan), Koramil akan ke Kodim (Komando Distrik Militer, Tentara Kabupaten). Mereka sudah dipesan untuk melaporkan setiap ada orang asing. Sehabis Subuh orang mencoba membangunkannya kembali, tetapi tetap saja ia tidur. Sampai pagi, TPI itu sibuk, sampai para juragan membawa pulang ikan-ikan untuk dikeringkan atau dipindang, dan sebuah truk menjemput perolehan ikan siang itu. Para nelayan yang pulang melaut dan selesai dengan TPI ikut berkerumun. "Ini mati atau tidur. Kalau mati kok masih bernapas, kalau tidur kok tidak bangun-bangun," kata mereka yang berkerumun. "Ini pasti cucu Kumbakarna." Kumbakarna adalah adik Rahwana yang sepanjang hidupnya lebih suka tertidur, barangkali sebagai protes atas kejahatan kakaknya.
"Ini hantu yang kamanungsan,” “Ini orang sakti,” “Ini petapa,” “Ini gelandangan yang lima hari tidak tidur,” “Ini pencuri yang dikejar-kejar orang.”
Bahwa ada orang asing bernama Wasripin tertidur di emperan surau segera menyebar ke seluruh desa. Siang hari berikutnya, laki-laki, perempuan, dan anak-anak dari seluruh desa datang. Nelayan yang tidak melaut memenuhi emperan itu. Sopir tangki pemasok solar menonton. Bahkan, mereka yang tak pernah ke surau datang menonton. Para pedagang meninggalkan dagangannya dan menyempatkan diri ke surau. Lurah dan seluruh perangkat desa datang menjenguk. Ketua Partai Randu datang. Dia berusaha membangunkan. Dia sanggup membangun TPI, memberi listrik surau, dan berjanji akan mengaspal jalan setelah pemilu. Tapi, dia tidak berhasil mengerjakan pekerjaan sederhana itu: membangunkan Wasripin, betapa pun usahanya.
Lurah yang pernah jadi perawat di rumah sakit itu keluar nalurinya. Dia memegang-megang tubuh Wasripin. “Masih bernapas, tapi badannya kok dingin.” Ia melambaikan tangan kepada seorang hansip. “Pergi ke puskesmas, minta dokter datang,” perintahnya. Sementara itu, orang membiarkan tubuh Wasripin tergeletak di emperan, di bawah tatapan mata mereka yang menonton.
Dokter datang bersama seorang perawat. Ia memegang nadinya, mengeluarkan alat dari tasnya. Melilitkan kain di lengan Wasripin dan memasang stetoskop di telinga. “Ia hanya tidur, Pak. Lelap sekali, tidak pingsan, tidak koma,” katanya kepada Lurah.
Pak Modin berkata, “Pak dokter, gunakan segala cara. Saya yang menanggung biayanya.” “Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga bangun.” Kemudian dokter dan perawat pergi.
Hari ketiga Wasripin tertidur adalah Hari Pasar. Tidak tahu siapa yang mengambil inisiatif, tetapi orang tahu bahwa siapa saja dipersilakan mengenali asal-muasal Wasripin. Pada hari itu ada pasar hewan, maka para belantik menalikan hewannya, lalu ke emperan surau. Orang-orang itu hanya menggeleng, padahal mereka juga banyak yang datang dari jauh. Hari itu juga dua orang tentara dari Kodim datang. Mereka diantar Lurah dan Kaur Keamanan. Mengamati pakaian Wasripin, mereka menyimpulkan bahwa mereka berhadapan dengan gelandangan. Dua orang tentara itu lalu menggeledah saku-saku Wasripin. Di saku baju ditemukan fotokopi ijazah yang terlipat-lipat dan lusuh: ijazah SD. Selain itu tidak ada apa pun: tidak KTP, tidak SIM. “Orang ini mencurigakan, akan kami bawa ke Kodim,” kata salah satunya kepada Lurah. Pak Modin yang selalu menjaganya menyela, “Jangan, Bapak-bapak. Saya menjamin dia orang baik-baik.” “Ini siapa, Pak?” tanyanya kepada Lurah. Dijawab bahwa dia adalah Pak Modin. Seorang tentara mencatat-catat, lalu berpesan, “Surau ini sudah lampu kuning. Hati-hati saja kalau tidak mau hhh.” Tentara itu menyilangkan telapak tangannya ke leher. Kemudian mereka pergi. “Pak Modin dengar sendiri,” kata Lurah. “Saya tidak mengharap kejadian yang buruk-buruk di wilayah saya.”
Siang hari Wasripin bangun, terduduk, heran mengapa ia dikelilingi begitu banyak orang. Ia mengucek-ucek matanya. Mereka yang berkerumun minggir. Satinah dengan gelung, bunga kantil di rambut, kain batik kebaya merah, dan selendang ada di tengah kerumunan itu. Ia merangsek ke depan untuk menyaksikan apa-siapa orang yang tadi tidur itu. Ia berkata, “Tidur saja
kok pakai parfum. Ini mesti minyak wangi yang baik. Baunya lembut.” Orang-orang lain juga cengar-cengir mencari asal bau itu. Melihat Satinah, orang mengira bau itu mesti berasal dari perempuan penyanyi itu. Wasripin menoleh ke kanan dan ke kiri, terheran-heran.
“Saya di mana?” tanyanya.
“Di surau,” jawab orang banyak.
“Surau di mana?”
Orang menyebut nama desa itu.
“Desa itu di mana?”
Orang menyebut tempat.
Pak Modin yang rumahnya dekat surau datang, membawa semangkuk bubur dan segelas air teh manis.
“Minum dulu, Nak. Lalu makan yang halus-halus.”
“Engkau siapa, Pak?”
“Saya imam surau.”
Wasripin mendongak. Belum pernah ia mendengar kata-kata sehalus itu, bahkan dari para perempuan yang minta tenaganya. Ah, tidak. Ia ingin melupakan mereka, emak angkatnya, kampungnya, sungainya, Jakarta, dan seluruh hidupnya. Ia menerima uluran tangan Pak Modin dan mengucapkan terima kasih. Ia menghabiskan semuanya dengan lahap. Dengan mangkuk dan gelas di tangan, dia mencari-cari sepatunya yang terinjak orang banyak.
“Ke mana, Nak?”
“Mencuci gelas dan mangkuk.” Mencuci piring-piring dan gelas adalah keharusan. (Kata emak angkatnya, “Hanya kucing yang tidak pernah mencuci.”)
“Tidak perlu,” Pak Modin mengulurkan tangan.
Mata Wasripin melihat-lihat sekeliling. Ia terheran-heran.
“Lho! Di mana orang tua itu?”
“Engkau pasti bermimpi, Nak. Engkau tidur tiga hari. Tidak ada orang tua,” kata Pak Modin.
“Tidak. Mungkin. Tidak. Mungkin. Berambut putih?”
“Tidak ada. Sudahlah.”
“Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih. Orang itu keburu pergi.”
“Jangan khawatir apa-apa. Saya punya firasat kau bermaksud baik. Di sisi surau ada kamar, kau bisa tinggal di sana. Syaratnya, kau bersihkan surau. Sumur sudah ada listrik, jadi tinggal menekan tombol. Tidak usah repot-repot.”
“Tidak, Pak. Saya tidak berhak tinggal di surau.”
“Surau adalah rumah Tuhan, rumah siapa saja.”
“Tetapi saya tak bisa sembahyang, Pak.”
“Itu mudah, nanti saya ajari.”
“Jangan, Pak. Nanti mengotori surau. Saya tidur di TPI saja.”
Wasripin heran. Ia tidak mengira akan diterima begitu baik. Ia sudah siap untuk tidur di mana saja. Ia punya banyak teman main yang biasa tidur di
emperan toko, di bawah jembatan. Tidur di emperan surau tidak pernah terlintas di benaknya. Setelah teringat tujuannya ia berkata:
“Apa Bapak kenal ibuku?”
“Siapa nama ibumu?”
Wasripin baru sadar bahwa ia tidak mengerti nama ibunya. Ia menggelengkan kepala.
“Ah, nanti juga kau ingat,” kata Pak Modin.
“Ya, ya. Terima kasih.” Ia bahkan sebenarnya tak ada ingatan sama sekali tentang ibunya.
“Sekarang kutunjukkan tempatmu. Ikutlah.”
Pak Modin akan berjalan ke sisi surau.
“Tidak usah, Pak. Ke situ saja,” Wasripin menunjuk TPI, menunjuk pasar.
“Lho, ke mana?”
“Cuma ingin jalan-jalan dulu.”
Ia mencari sepatu kainnya, ngeloyor ke TPI. TPI masih sepi. Lalu jalan ke pasar.
5
Mereka yang berkerumun bubar. Mereka kembali ke tenda-tenda. Satinah kembali ke pamannya. “Kasihan dia, Lik,” katanya kepada paman yang buta bersarung, bersurjan, berikat kepala dengan bundar-bundar di belakang. Lalu ia menuntun pemain saron dengan siter (kecapi), seruling, dan bungkusan besr berisi pengeras suara ke penjual soto. Mereka duduk di atas bangku. Di bawah tatapan mata orang pasar, Wasripin jalan-jalan. Wasripin lapar bukan main. Ia melihat penjual soto, lalu ikut duduk di atas bangku.
“Namamu pasti Wasripin.”
“Kok tahu?”
“Diam-diam kau terkenal di sini.”
“Terkenal?”
“Iya. Kau pasti orang Jakarta. Pakaianmu, bahasamu, dan seluruh gayamu.”
“Kok tahu?”
“Seseorang dari desaku yang kembali dari Jakarta juga berpakaian, berbahasa, dan gaya seperti itu.”
“Kau kok jeli.”
“Jenat ibu saya bilang bahwa perempuan harus jeli supaya tidak ditipu laki-laki, dan supaya telaten dalam bekerja. O, ya. Kenalkan saya Satinah. Ini paman saya.” Wasripin bersalaman dengan dua orang itu. Paman memegang tangan Wasripin lama.
“Mataku buta, Nak. Tapi, aku bisa melihat tanda-tanda itu.”
“Terima kasih,” kata Wasripin tanpa tahu apa sebenarnya yang dimaksudkannya.
“Apa kerjamu di sini?” tanya Satinah.
“Mencari desa ibuku.”
“Sudah ketemu belum?”
“Sudah.”
“Apa pekerjaanmu?”
“Penjual ketoprak. Dan engkau?”
“Di sini aku penyanyi. Paman ini main siter.”
“Pantas.”
“Kenapa?”
“Ah, tak apa.”
“Sudah punya istri?”
“Belum.”
“Pantas.”
“Kenapa?”
“Ah, tak apa.”
Keduanya tertawa.
“Suka pakai parfum, kayak perempuan.”
“Sumpah, seseorang telah menuangkan parfum.”
“Tidak percaya. Memang kenes, mbok diakui saja.”
“Sumpah, kok.”
“Kenes ya boleh. Asal jangan kayak perempuan.”
Wasripin ingat kata-kata emak angkatnya setiap kali ada perempuan pakai kebaya berkain batik, “Itu lho, Pin. Yang namanya wanita cantik.” Di Jakarta hanya pada Hari Kartini ditemukan gadis-gadis demikian dekat sekolahan. Dan, sekarang Satinah berdandan seperti itu.
Lapangan itu sudah berubah jadi pasar. Para pedagang memasang tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar. Orang dari desa-desa sekitar datang. Mereka menawar dengan suara keras, berlomba dengan orang lain, dan dengan mobil van yang menawarkan jamu dengan pengeras suara yang lantang. Petugas dari kecamatan dengan tas di pinggang mendekati para pedagang dan menarik pajak. Hari ini bukan hari pasar biasa, tapi Hari Pasar. Itulah sebabnya Satinah dan pamannya datang. Pasar akan segera selesai.
Ada pasar hewan di sebelah selatan. Di situ dipasang pipa-pipa besi untuk menambatkan sapi dan kerbau. Hewan-hewan itu diangkut dengan truk-truk yang berhenti di pangkalan. Belantiknya sudah kembali ke pasar setelah mencoba mengamati Wasripin yang tidak mereka kenal. Para sopir dan kernet makan di sebuah warung dengan menaikkan kaki sebelah ke atas bangku. Sapi melenguh, kambing mengembik. Orang tawar-menawar dagangan. Mereka yang sudah membeli menaikkan binatangnya ke atas truk. Suara-suara truk, colt, dan pickup bersahutan.
Pemandangan itu sangat asing bagi Wasripin. Semua baru baginya: TPI, teluk, muara sungai, perahu-perahu, pasar, dan orang-orang. Dia ingin menikmati kebebasan dari kota yang telah mengungkungnya selama ini. Pasti di sinilah ibuku dibesarkan sebelum pergi ke Jakarta, pikirnya. Dia menyesali ibunya. Kalau saja ibunya tidak pergi dari situ, pasti dia tidak harus kenal dengan emak angkatnya, dengan Bu Mijah, dengan Yu Tumiyem, dengan perempuan-perempuan lain. Ia akan dibesarkan oleh ayah dan ibunya. Tapi, itu hanya andaikata. Ia juga belajar untuk menerima nasib. “Nasibmu ialah jalan hidupmu. Jangan ditolak, jangan disesali, jangan dimaki. Terima
sajalah. Hidup ini seperti banjir Sungai Ciliwung. Kita hanyut. Usaha kita ialah agar supaya tidak tenggelam. Itu saja,” kata emak angkatnya suatu kali, ketika ia tampak berkeringat mendorong-dorong dagangan dan berusaha menghapus keringatnya.
Wasripin berjongkok melingkar bersama orang-orang lain di bawah pohon munggur yang rindang. Ada pedagang, nelayan, dan anak-anak. Di tengah mereka ada Satinah, pamannya, dan pengeras suara. Paman bermain siter, kemudian seruling. Satinah yang memegang gagang pengeras suara mengajak mereka menyanyikan lagu pembukaan yang biasa, sambil bertepuk tangan. Dia belajar mengajak menyanyi bersama sebagaimana seorang seorang penyanyi dangdut yang pernah ditontonnya. Berulang-ulang. Pamannya mengikuti. Kadang-kadang mereka yang berjongkok berdiri, manggut-manggut, menari-nari mengikuti irama.
Teman-teman, mari kita nyanyi sama-sama!
Bernyanyi bersama, sepertinya mereka sudah hafal.
Mari kita bergembira
Bergembira bersama
Jangan ada yang susah
Susah itu bikin kepala pecah
“ih-hu!”
Rujak tela
Rujake wong ati lega
(Rujak ketela
Rujak orang berhati lapang)
Ngalam donya warna-warna kahanane, ya kangmas
Mula aja tansah digagas wae, ya mbakyu
(Dunia ini macam-macam keadaannya, ya mas
Karena itu, jangan selalu dipikirkan, ya yu)
“Ih-hu!”
Rujak cingur
Rujake wong ati jujur
(Rujak cingur
Rujak orang berhati jujur)
Rujak uyah
Rujake wong ati susah
(Rujak garam
Rujak orang berhati susah)
“Ih-hu!”
Ngalam donya warna-warna kahanane, ya bapak
Mula aja tansah dipikirke, ya sibu
(Dunia itu macam-macam keadaannya, ya bapak
Karena itu, jangan dipikir panjang, ya ibu)
Sapi perah berbaju lurik
Yang baju merah jangan dilirik
“Ih-hu!”
“Tenan, pa?” penonton.
(Apa sungguh?)
“Tenan wae!” Satinah.
“Siapa yang punya?” penonton.
“Paman!” Satinah.
“Jangan gitu lho, nanti tak laku!”
“Laku saja!”
……………………
Jenang sela wader kalen sesonderan
Apuranta yen wonten lepat kawula
(Jenang batu ikan sungai pakai sleyer
Minta maaf kalau ada kesalahan saya)
Semua bertepuk tangan di akhir setiap dua lagu sambil berih-hu. Mereka seperti ingin menghibur diri sendiri. Kebanyakan lelaki dan anak-anak sekolah yang sengaja dolan ke pasar. Wasripin belum pernah mendengar suara sebagus itu kecuali di televisi. Suaranya keras tanpa menegangkan urat leher. Setelah selesai Satinah mengedarkan besek. Orang-orang menjatuhkan uang di besek. Ketika tiba gilirannya menjatuhkan uang, Wasripin merogoh saku celananya dalam-dalam. Semua uangnya dijatuhkan. “Terima kasih,” kata Satinah pelan, seperti takut didengar orang lain. Ketika Satinah menyanyi lagi, tahulah dia bahwa kemudian besek akan diedarkan lagi padahal uangnya sudah habis. Pelan-pelan dia mundur dari lingkaran.
0 Comments:
Post a Comment