Wasripin Dan Satinah Part 7
TIGABELAS
1
KEPALA Polisi Kabupaten duduk saja di kursinya, tak tahu apa yang harus dikerjakan. Dulu dia dilarang memberi penghargaan apa pun pada Wasripin, sekarang ia dapat telegram dari Markas Besar untuk mempersiapkan pemberian
bintang jasa “Adhikarta” kepada Wasripin. Tidak percaya, dia menelepon ke Mabes. Malah, diberitahukan pula bahwa Kapolri sendiri berkenan menyematkan bintang. Itu perlu, kata Mabes, supaya ada partisipasi masyarakat dalam menjaga ketertiban dan keamanan. Kapolri akan datang dengan pesawat lewat Semarang, kemudian dengan rombongan provinsi akan berkonvoi ke tempat upacara.
Upacara diminta melibatkan masyarakat (sekolah, Hansip, dinas-dinas, jajaran Pemerintah Daerah, Ormas, Orpol). Mudah saja, mereka sudah terbiasa dengan upacara-upacara sehingga siapa bertugas apa bukan persoalan. Undangan segera disebar, termasuk undangan kepada Wasripin.
Polisi Lalu-Lintas sudah diminta merencanakan jalan mana yang akan ditutup, dan jalur alternatifnya. Gladi resik juga sudah diatur. Konsumsi berupa air minum dan makanan kecil bisa dikerjakan ibu-ibu polisi. Pendeknya, semua sudah diatur rapi. Hari Minggu gladi resik, dan hari Senin pelaksanaannya.
2
KETIKA ada motor polisi datang di perkampungan nelayan itu, orang-orang sudah curiga: jangan-jangan Wasripin kena perkara polisi lagi. Tetapi tidak, dia dapat undangan untuk menerima bintang “Adhikarta” yang akan disematkan langsung oleh Kapolri. Mereka yang berkerumun bersorak-sorak, “Hidup hidup, Wasripin!” Siapa menanam, ia mengetam, pikir mereka.
Wasripin jug diberitahu di mana duduk, tempat duduk teman-teman yang mengantar, dan kapan dia dipanggil maju untuk menerima. Sesudah upacara Kapolri berkenan omong-omong sebentar dengan Wasripin dan lima orang teman di pendopo kabupaten.
Undangan itu hanya sedikit mengubah rencana. Sesudah akad nikah mereka akan datang di stadion, tempat upacara. Mereka bergerombol dan mencoba menebak-nebak makna dari undangan. Para nelayan menafsirkannya sebagai “kerjasama penguasa dan masyarakat”, “peranserta msyarakat”, “kepercayaan pada masyarakat”, dan “ada perubahan di atas sana”.
3
SABTU sore paman Satinah mengatakan, “Tinah, kalau ketemu emaknya Wasripin, bilang saya minta maaf dan kesalahan dia sudah saya maafkan.”
“Tidak, Pak Lik akan ketemu dia.”
“Ya kalau ya, kalau tidak bagaimana. Umur orang itu sudah ditetapkan, tidak bisa dimajukan atau diundurkan sesaat pun.”
Tidak seperti biasanya, paman mengunci pintu dari dalam. Kemudian bermain siter dan seruling, ‘Maskumambang’ dan ‘Megatruh’. Itu-itu saja yang dimainkannya, sampai lewat tengah malam. Satinah mengetuk pintu. “Pak Lik, sudah malam. Ingat tetangga.” Biasanya pamannya menurut, tapi kali ini tidak. Peringatan itu diulang lagi, tapi pamannya terus saja. Diulang lagi, terus saja. Satinah gelisah. Ketika siter dan seruling itu akhirnya berhenti, kegelisahan Satinah meningkat jadi kecurigaan. Tapi dibiarkannya kecurigaan
itu sampai pagi tiba. Pagi itu ia bertambah curiga ketika pamannya belum juga bangun.
Minggu Pahing. Ketika matahari sudah keluar dan pamannya belum bangun, ia lari ke tetangga, minta supaya pintunya dibuka paksa. Para tetangga datang dan mendobrak pintu. Di atas dipan pamannya terbujur kaku dengan wajah tersenyum. “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun,” kata para tetangga. “Dia bunuh diri,” kata para tetangga berbisik pelan. Tapi, Satinah mendengar juga. “Tidak, Paman tidak bunuh diri,” pikirnya. “Orang-orang harus dibuat mengerti.”
Jenazah dimandikan dan dikafani. Kemudian upacara pemberangkatan jenazah. Setelah sambutan-sambutan, pembawa acara mengumumkan, “Kalau ada hutang almarhum belum dibayar, mohon menghubungi ahli waris. Ada?” Pada waktu itulah Satinah minta gagang mikrofon, “Bapak-bapak, Ibu-ibu. Paman ingin pamit dengan lagu “Maskumambang’ dan ‘Megatruh’. (Lalu disetelnya kaset). Dan mohon diketahui bahwa Paman tidak pernah bunuh diri. Ia meninggal karena rohnya meninggalkan badan dan tidak kembali. Ia tidak bunuh diri, rohnya meninggalkan badan dan tidak kembali ….” Ia masih akan menerangkan bahwa pamannya menguasai kawruh bab pejah, ilmu tentang kematian, tapi matanya berkunang-kunang, badan lemas, dan jatuh pingsan. Beberapa wanita membawanya ke dalam rumah. Modin desa mengisyaratkan untuk mulai mengusung jenazah. “Laa ilaaha illaa Allaah Muhammadun rasuulullaah, laa ilaaha illaa Allaah Muhammadun rasuulullah”, katanya keras. Disambut dengan ucapan sama oleh semua yang hadir, lalu jenazah diberangkatkan.
4
UPACARA pemberian bintang itu membuat gelisah Ketua Partai Randu Kabupaten. Di tengah-tengah musim kampanye, hal itu merupakan kampanye gratis dan besar-besaran bagi partai lain dan Golput. Ia mengumpulkan semua pimpinan untuk menjelaskan perlunya penggagalan upacara itu.
“Tapi upacara tinggal besok pagi.”
“Kita masih punya waktu dua puluh jam penuh.”
“Bagaiman caranya?”
“Itulah, itulah. Makanya saudara-saudara saya kumpulkan. Lebih banyak kepala, lebih baik.”
Ketua Departemen Khusus angkat bicara, “Serahkan saya.”
“Ini rapat terbuka, jadi kami perlu tahu caranya.”
Ketua Departemen Khusus mendekati Ketua dan bisik-bisik.
“Saudara kita mengatakan bahwa menggagalkan upacara yang ditangani orang banyak itu tidak mungkin. Tapi disanggupkannya untuk berusaha supaya Kapolri tidak hadir, dan protokolnya berbicara ngawur. Bagaimana, setuju?”
“Setuju,” kata yang hadir.
Maka wewenang itu diserahkan pada Departemen Khusus. Kapolri perlu dibuat berhalangan dan protokol ngoceh seperti burung. Itu bukan perkara sulit baginya.
Ia bekerja cepat. Ditemuinya seorang dukun yang bisa membuat niatnya kesampaian.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa menolong. Saya sudah membuang ilmu saya. Saya mau mati sempurna. Sebaik-baiknya orang ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain, kata Nabi. Selama ini saya sudah salah jalan. Karenanya ….”
Dukun tidak meneruskan kata-katanya, karena seperti tidak mendengarkan, terus pamit.
“Mau bilang tidak becus saja kok berputar-putar.”
Tidak disanggupi satu dukun, ia pergi ke dukun lain. Jawabannya sama.
“Wah, Pak. Ternyata saya sesat. Mumpung masih ada umur, saya mau bertobat. Jadi, maaf saya tidak bisa menolong Bapak.”
Ke dukun lain lagi, juga sama.
“Saya sekarang baru sadar. Kalau mengirim paku ke perut orang itu pekerjaan hina-dina.”
“Sudah, sudah. Saya tahu kelanjutannya.”
Putus asa dengan para dukun, dia kembali ke Ketua Partai, yang menantinya di kantor. Ketua Partai masih menunggu di ruangnya. Ruangan yang lain penuh orang dari Departeman Pemenangan Pemilu. Ia masuk ke ruangan Ketua.
“Where there is a will, there is a way,” kata Ketua Partai setelah mendengar laporan kegagalan itu. “Jangan khawatir kita masih punya cara.”
Melihat optimisme Ketua Partai, Ketua Departemen Khusus pergi dengan keyakinan bahwa sebuah jalan pasti sudah terpikirkan.
Setelah sendirian di kamarnya – orang di puncak harus berani sendirian – ia menelepon Komandan Satgas Partai Randu. Komandan datang dengan pakaian lapangan, karena baru saja mengawal sebuah kampanye Partai.
“Ya, Pak.”
“Begini. Saya punya pikiran bagus.”
“Ya, Pak.”
“Seperti kita tahu bahwa besok pagi Kapolri akan datang untuk menyematkan bintang ‘Adhikarta’ kepada Wasripin. Ini tidak boleh terjadi. Alasannya kita bersama sudah tahu.”
“Ya, Pak.”
Ketua Partai menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Satgas saya tugaskan untuk menculik Wasripin, sampai besok siang pukul 12.00. Sudah itu boleh kau lepas dia. Tapi jangan sampai orang tahu.”
“Ya, Pak. Tapi, mmm.”
“Tapi apa?”
“Dia berjasa membuat kampanye sekarang adem-ayem.”
“Wah, sampai dimana penataran politikmu? Politik itu the art of the possible.”
“Itu PKI, Pak. Katanya, politik itu pengejawantahan dari moral.”
“Yang punya moral itu pribadi, bukan lembaga. Lembaga itu netral, bebas nilai. Pokoknya kau takut, ya?”
“Bukan saya pribadi, Pak. Tapi lembaga.”
“Makanya, ini masalah lembaga bukan masalah pribadi. Lembaga partai memerintahkan lembaga Satgasnya. Tahu!”
Menghindari suasana yang makin memanas, Komandan Satgas biang, “Ya, Pak. Kami kerjakan.”
Komandan Satgas keluar.
“Saya tunggu beritanya.”
“Menculik Wasripin? Tidak masuk akal,” Komandan Satgas berpikir.
Sebentar kemudian dia masuk ke ruang Ketua. Katanya pada Ketua.
“Saya tidak bisa mengerjakan yang satu ini, Pak.”
“Sudah saya duga.”
“Cukup, Pak.”
“Cukup.”
Komandan Satgas pergi. Ketua pergi ke ruang sebelah menemui Departemen Pemenangan Pemilu,
“Taruh Komandan Satgas nama di nomor sepatu.”
“Tapi susunan caleg jadi ditetapkan oleh rapat pleno pengurus.”
“Taruh ya taruh. Ini kebijakan Ketua.”
“Bapak yang tanggung risikonya.”
“Tentu saja.”
Ketua menelepon Wakil Komandan Satgas. Katanya begitu Wakil memasuki kamarnya, “Ada tugas untukmu.”
“Menculik Wasripin?”
“Iya.”
“Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘Air susu dibalas dengan air comberan’.”
“Ini urusan Partai!”
“Jangan begitu, Pak.”
“Bagaimana kalau risikonya kau dipecat?”
“Tidak jadi Satgas tidak patheken, Pak.”
Wakil Komandan keluar, dan membuang jaketnya di pintu.
Tiba-tiba datang lima belas orang Satgas. Mereka beramai-ramai mencopot jaketnya dan membuangnya ke kamar Ketua. Ketua hanya bisa terduduk di kursinya.
Ketua Departemen Pemenangan Pemilu melihat gelagat yang tak baik, lalu menelepon Ketua Dewan Pembina Daerah alias Bupati Kepala Daerah untuk datang.
“Kalau Bapak tidak segera datang, perpecahan bisa terjadi.”
Ketua Dewan Pembina Datang.
“Ada apa, to?” tanyanya pada Ketua.
Ketua menjelaskan.
“O, begitu. Itu soal mudah, tapi coba telepon Komandan Satgas dan Wakilnya, minta maaf.”
Seperti kerbau dicocok hidungnya maka Ketua menelepon minta maaf.
“Lalu bagaimana, Pak.”
“Coba telepon Ketua Umum Pusat minta menyampaikan masalah ini ke Ketua Dewan Pembina Pusat untuk menunggu pengarahannya. Kita punya aji pamungkas.”
Ketua Partai Randu Kabupaten kemudian menelepon Ketua Umum Pusat, minta supaya masalah ini dimintakan petunjuk kepada Ketua Dewan Pembina Partai Randu.
“Aduh, jawabannya pasti nanti selepas pukul sebelas. Bapak sedang menghadiri pesta pernikahan.”
Maka malam hari itu adalah waktu paling menggelisahkan Ketua, bukan dari jam ke jam atau dari menit ke menit tapi dari detik ke detik. Ia menongkrongi telepon di kantor Partai sejak pukul 10.00 malam, dan mengumpat kalau ternyata yang berdering bukan telepon dari Pusat. Orang-orang di kamar sebelah sudah pulang.
Pada pukul 12.00 telepon berdering. Cepat ia menyahut gagang telepon.
“Sudah saya sampaikan. Katanya, tunggu saja, semua sudah diserahkan Panglima. Tetapi, beliau berpesan bahwa kebijakan apa pun yang akan diambil, sama sekali bukan desakan dari mana-mana, tapi murni dari atas sebagai amanat pembangunan nasional.”
“Kita hanya minta supaya pemberian bintang itu dibatalkan. Atau setidaknya ditunda sampai setelah Pemilu. Sulitnya apa?”
“Ya, tapi pasti tidak begitu caranya. Babe kita itu paling tidak suka dilangkahi. Jadi, solusinya ya terserah beliau.”
“Waaah!”
Ia tidak tahu bahwa di seberang sana Ketua Umum Pusat mengangkat bahu. Malam itu ia pulang, dan tidak bisa tidur.
“Kira-kira apa?” selalu dibenaknya.
6
MINGGU sesudah Isya’. Karpet merah berbunga-bunga sudah digelar di dalam surau, untuk upacara akad nikah. Tenda sudah dipasang di depan surau. Ular-ularan dan balon menghias tenda. Listrik sudah menyala. Kursi-kursi sudah dipasang. Panggung untuk anak-anak melantunkan sholawat dan orang bermain rebana sudah tersedia. Anak-anak bermain kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian. Mereka main di mana saja. Rumah Wasripin yang tak pernah dikunci jadi tempat bersembunyi yang bagus. Tenda, surau, dan rumah samping surau terang-benderang. Kursi pelaminan dengan dua pasang kursi di kanan dan kiri juga telah di tempat. Akan duduk sebagai ganti orangtua Wasripin, Pak Modin beserta Ibu, sedangkan bertindak sebagai orangtua Satinah, Pak Kepala Dusunnya beserta Ibu.
Ketua Partai Randu yang membawahi perkampungan nelayan datang.
“Mana Wasripin?”
“Di TPI, Pak.”
Dia ke TPI. “Lho, kok masih bekerja!”
“Saya sedang menikmati topi Satpam untuk yang terakhir kali.”
“Terakhir?”
“Besok pagi saya berhenti dan menjadi penjual ketoprak.”
“Kalau begitu tekadmu ya sudah. Tapi seharusnya kau dipingit, tidak boleh pergi, tidak boleh kerja. Ini KTP-mu. Tinggal tanda tangan. Ini foto yang saya ambil dari tukang foto. Kalau ditanya orang besok, C-1 di mana, katakan masih bergabung dengan keluarga saya.”
“Terima kasih, Pak. Saya sudah bingung bagaimana kalau KUA menanyakan KTP.”
Waktu itu datang seorang dengan karangan bunga di kanan dan kiri sepeda. Setelah meletakkan bunga, ia berkata.
“Untuk Pak Wasripin. Tolong ditandatangani.”
Orang bersepeda itu mengucap terima kasih dan pergi.
“Dari siapa?”
“Satinah. Katanya malam ini namanya malam midodareni. Di kampungnya orang membuat kembar mayang, dua rangkaian bunga. Pengantin perempuan ibarat bidadari, temanten laki-laki seperti dewa.”
“Jadi kau dewa, ya. Lalu dewa memberi apa padanya sebagai ganti?”
“Maksudnya apa, Pak?”
“Maskawinmu apa?”
“Apa maskawin?”
“Pemberian wajib dari calon suami kepada isteri. Besok pagi apa yang akan kau berikan?”
“Lha, saya miskin. Apa, ya?”
“Sudah, begini saja. Maskawinnya seperangkat alat sembahyang, mukena dan sajadah, serta cincin emas lima gram.”
“Wah, tidak punya itu.”
“Besok, kalau ditanya KUA bilang saja, maskawinnya diutang.”
“Maskawin diutang.”
Mereka lalu menggotong karangan bunga diletakkan di kanan dan kiri pelaminan.
7
MALAM itu Kepala Polisi Kabupaten di rumahnya mendapat telepon dari Wakil Kepala Polisi di Jakarta untuk membatalkan rancana pemberian bintang. Tidak percaya, ia menelepon balik.
“Ya, saya yang telepon. Ssst, jangan bilang-bilang, rencana pemberian bintang itu murni dari kepolisian sebagai wujud kerja sama dengan masyarakat. Tetapi, Panglima bilang, tentara sudah punya rencana khusus, yang digodok lama dan matang.”
“Rencana apa, Pak?”
“Kata Panglima, besok pagi juga tahu. Itu urusan tentara, bukan polisi. Jadi yang penting, batalkan rencana itu!”
“Siap, Pak. Laksanakan.”
Sesudah pukul 11.00, hampir tengah malam. Undangan-undangan sudah tersebar, gladi resik sudah jalan, rencana sudah matang. Dan sekarang dibatalkan! Kemudian ia menelepon Radio Pemerintah Daerah yang siarannya akan berhenti pukul 12.00, minta diumumkan bahwa acara pemberian bintang dibatalkan. Tapi ia yakin akan banyak orang kecele, sebab tidak semua
mendengarkan siaran daerah. Ia menelepon kesana-kemari hanya untuk urusan pembatalan itu.
8
MINGGU sore itu Pak Modin baru saja tiba dari kota. Ia baru saja ketemu kawannya yang bekerja di Dinas Pertanahan. Begitu turun dari sepeda motornya, ia melambai-lambaikan sebuah buku sertifikat tanah pada isterinya.
“Akhirnya selesai juga. Padahal saya sudah dag-dig-dug, jangan-jangan tidak selesai. Sekarang tugasmu.”
“Pekerjaan saya sudah beres sejak kemarin,” kata isterinya.
“Itu apa?”
“Orang Yogya bilang, ini layah (batu ceper agak cekung), yang ini uleg-uleg (batu bulat panjang).”
“Iya, maksudnya untuk apa?”
“Layah itu simbol wanita, dan uleg-uleg itu simbol laki-laki.”
“Iya, untuk apa?”
“Membuat sambal.”
“Masak temanten dihadiahi begituan.”
“Ini akan saya bungkus dengan kertas emas bersama sertifikat tanah itu.”
“Iya, hadiah. Tapi masak batu.”
“Coba, kalau bikin sambal, bagaimana?”
“Ya begini, to,” kata Pak Modin sambil memperagakan orang membuat sambal.
“Tahu belum?”
Pak Modin menggeleng.
“Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”
“Betul, kok.”
“Itu lambang mmm ketemunya laki-laki dengan perempuan.”
“Masak hanya begitu.”
“Kira-kira saja, saya sudah lupa.”
“Kalau sudah lupa, nanti saya ajari.”
“Ssst, jangan saru.”
“Apa saru?”
“Bagaimana saya tahu?”
“Saru itu artinya nyasarnya kalau turu (tidur).”
“Sudah tua kok genit!”
“Tua bagaimana!”
Mereka terdiam, lalu tertawa.
“Kita akan punya anak!”
“Tanpa mengandung tanpa kesakitan.”
“Kesakitan atau kenikmatan?”
“Ya, kesakitan begitu, namanya saja melahirkan.”
“Iya, ya. Sakit kok malah terus diulang.”
“Jangan diteruskan, nanti ada setan lewat. Ingat, kita sudah tua.”
9
DI surau Ketua Panitia mengadakan ceking terakhir. Dia bertanya seksi konsumsi, dokumentasi, tempat, undangan, dan protokol. Semua beres.
“Saudara-saudara, Pak Kades menawarkan Kijangnya untuk dipakai seharian itu. Kita akan gunakan untuk mengantar Wasripin ke stadion.”
“Tapi saya biasa membonceng sepeda motor,” kata Wasripin.
Ketua berkata sambil tersenyum.
“Ketuanya itu saya, jadi semua orang harus tunduk keputusan saya.”
“Ya, sudah.”
“Dari stadion kita terus ke SDN. Ada sedikit upacara bendera untuk menghormat bintang itu.”
“Tapi itu terlalu berlebihan,” kata Wasripin.
“Biar, berlebihan tak apa. Kata Bung Karno kita bukan bangsa tempe tapi bangsa yang besar.”
EMPAT BELAS
1
MENJELANG fajar, Senin Pon. Di rumah Kepala Desa seseorang berpakaian seragam hijau dan berbaret mengetuk pintu. Tentara.
“Siapa itu?”
“Saya. Tentara Komando.”
Tergopoh-gopoh lurah membuka pintu. Tentara memberi hormat.
“Silakan masuk.”
“Begini, Pak. Bapak diperintahkan menyaksikan, seorang warga Bapak akan ditangkap tentara.”
Mereka berdua kemudian ke TPI.
“Siapa yang ditangkap?”
“Saya tidak tahu. Itu urusan Komandan Operasi.”
Sementara itu empat orang yang tidur di emperan surau yang juga dijadikan Poskamling dibangunkan. Mata mereka silau oleh listrik yang menerangi tenda, ular-ularan, dan kursi-kursi, diucek-ucek memakai jari-jari.
“Ada apa?”
Mereka terkejut melihat seragam yang hijau, baret, dan senapan di tangan.
“Kami ingin kalian menjadi saksi.”
“Saksi?”
“Ya, saksi penangkapan.”
Seorang tentara memadamkan listrik yang terang-benderang. Lapangan jadi gelap. Dalam gelap itu Wasripin diantar oleh enam orang bersenjata ke rumahnya di samping surau. Tangan Wasripin diborgol! Lho! Lurah dan petugas ronda heran. Ada crew membawa lampu, kameraman, wartawan foto, dan wartawan berita. Di bawah sorotan lampu televisi mereka bergerak. Rombongan menuju rumah Wasripin di samping surau. Pintu yang tidak pernah terkunci dibuka. Seorang tentara menggeledah ruangan itu, tidak menemukan apa-apa, lalu menengok kolong tempat tidur Wasripin. Ia menunjuk ke seonggok senapan dan granat tangan. Jepret-jepret! Wasripin terdiam,
terlongong-longong tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya dan sekitarnya.
“Tugas Bapak-bapak selesai!”
Dalam gelap mereka memborgol tangan dan menggiring Wasripin berjalan dan meloncat ke atas truk yang berhenti jauh di luar lapangan. Dari dalam gelap meloncat tentara-tentara ke atas truk terbuka itu. Operasi berjalan lancar. Sebuah truk yang lain memuat para crew televisi, kameraman, wartawan foto, dan jurnalis.
2
MENYADARI apa yang telah terjadi, seorang berteriak di tengah lapangan, “Allahuakbar! Allahuakbar!” Sebentar kemudian pintu-pintu sekitar lapangan terbuka, orang-orang keluar rumah dengan senjata di tangan: golok, linggis, tangkai besi, cangkul, dan sabit. Pada tahun 1965 teriakan itu berarti bahwa bahaya datang.
“Apa?”
“Was-ri-pin! Di-ba-wa ten-ta-ra.”
“Lapangan penuh orang. Listrik menyala kembali. Ada kursi tapi orang tidak berminat duduk. Mereka mendengarkan penuturan Lurah dan orang-orang yang jaga malam sambil berdiri.
Dari pinggir lapangan terdengar deru sepeda motor yang berhenti, dan akan membalik. Tiba-tiba orang sudah mengepung, motor dimatikan. Seorang polisi di atasnya menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu turun dari motor.
“Apa ini?”
“Ini orangnya!” Orang-orang merangsek.
“Bukan, pasti bukan!” kata polisi sekenanya. Ia mengacung-acungkan sebuah surat yang berisi pembatalan upacara pemberian bintang untuk Wasripin. “Saya mengantar ini!”
“Bohong!”
“Siaaap!” Orang-orang bergerak maju.
“Siaaap!” Orang membawa senjata tajam.
Pak Modin datang. Seorang nelayan lari ke rumahnya memberitahukan apa yang terjadi. Mengangkat tangan, menghentikan gerak maju orang.
“Tenang-tenang! Nanti dulu! Jangan tergesa!”
“Ini orangnya, Pak!”
“Polisi bukan tentara! Qur’an mengatakan, barang siapa membunuh seorang manusia tanpa dosa, maka dia telah membunuh seluruh ras manusia. Artinya, siapa menyakiti seorang tak bersalah, ia menyakiti seluruh manusia.”
Orang-orang bersenjata tajam itu mundur.
“Kita tahan di sini.”
“Sampai Wasripin pulang!”
“Tidak ada gunanya menahan dia,” kata Pak Modin. Polisi itu menyerahkan selembar surat. “Itu mendatangkan masalah dengan polisi,” kata Pak Modin lagi.
“Bagaimana baiknya terserah, Pak.”
“Sebaiknya kita suruh dia kembali. Islam artinya menyerah diri pada Tuhan, salam artinya damai, kita bukan bangsa pemarah. Bagaimana?”
“Setuju!” kata orang banyak.
Kemudian kata Pak Modin pada polisi, “Nah, kembalilah pada komandanmu. Bilang bahwa surat sudah diterima.”
Polisi mengucapkan terima kasih dan bersalaman dengan orang-orang di dekatnya.
Setelah polisi pergi Pak Modin membaca surat pembatalan itu. Surat itu pindah dari tangan ke tangan.
“Perasaan saya mengatakan sesuatu yang tak baik akan menimpa Wasripin,” kata Pak Modin pada orang di dekatnya.
3
PAGI TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang. Granat yang sama dengan yang digunakan untuk menggranat Candi Gedong Sanga. Kata para pejabat yang dikutip korang ialah bahwa Pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku makar untuk membuat mereka miris. Perkampungan nelayan itu mengirim orang untuk memborong koran-koran.
Mereka mendengar berita dari TVRI. Mereka yang membaca koran berteriak-teriak. Teriakan-teriakan terdengar.
“Bohong!”
“Tadi sore anak saya bersembunyi di kolong dipan Wasripin, senjata itu tak ada.”
“Munafik!”
“Apa-apaan ini!”
Mereka berkumpul di lapangan.
“Kita harus membalas!”
“Sampai titik darah penghabisan!”
“Kita rela mati!”
Di rumah-rumah nelayan para perempuan menangis. Wasripin! Wasripin!
Pak Modin datang dan mengajak mereka sembahyang ghaib untuk jenazah Wasripin. Mereka menurut dan masuk surau.
“Allahuakbar! Ayo!”
“Allahuakbar! Ayo!”
Pak Modin berdiri.
“Saudara-saudara. Itu tidak menyelesaikan masalah, malah membuat masalah baru. Berpikirlah. Kita paling-paling seratus orang, tentara itu ribuan. Senjata kita paling-paling pedang, mereka punya senapan, granat, mortir, dan bom. Kita akan mati konyol.”
“Kami tidak takut mati, Pak.”
“Ya, kami tidak takut mati!”
“Kita sudah kehilangan Wasripin. Tidak ada yang tidak sedih. Tapi, biarlah dia jadi tumbal demi hidup kita. Saya tidak punya anak, tapi Saudara?”
Kemarahan mereda. Mereka melihat permadani merah pelaminan. Ya Tuhan, permadani akan kosong. Anak-anak yang latihan sholawat akan bertanya, “Kemana Pak Wasripin?” Dan anak-anak sekolah yang hari itu akan upacara menghormati bintang itu akan terdiam, mengerek bendera setengah tiang. Ya, Allah! Ya, Rasul! Apa yang sebenarnya telah terjadi?”
4
PAK Modin sudah menyediakan kata-kata untuk menjemput Satinah begitu andong itu muncul. Ketika sudah jamnya Satinah tidak datang, hatinya gelisah. Ia minta mobil Kijang yang sudah menunggu mengantar ke tempat Satinah. Beberapa orang ikut di mobil.
Sampai di rumah Satinah seorang perempuan berdandan rapi menyambut mereka, “Satinah hanya titip salam. Terima kasih atas kebaikan yang sudah diberikan pada Wasripin dan Satinah. Selanjutnya, ia mengatakan selamat tinggal.”
“Kemana?”
“Ia tidak berpesan.”
“Pamannya?”
“Sudah kemarin dia meninggal.”
Mereka kembali, tidak seorang pun bicara.
Sampai di lapangan TPI bendera setengah tiang sudah dinaikkan. Pak Modin turun dan terus pulang. Didapatinya Bu Modin masih sembab matanya.
“Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan menantu saja gagal.?
Dilayangkannya matanya ke sekat kamar yang maksudnya untuk Wasripin dan Satinah. Dibayangkannya anak-anak yang bermain sondah-mandah di halaman. Ia tersenyum getir. Ia tidak tahu rahasia Tuhan dengan kelahiran Wasripin, keberadaannya yang sebentar dan bermanfaat di perkampungan nelayan, dan kematiannya. Juga Satinah dan Pamannya.
“Apa pun yang terjadi, Bu. Beristighfarlah dan ucapkan Alhamdulillah.”
Ia menarik napas panjang.
5
HARI masih sangat pagi, gedung itu masih sepi. Dengan membawa parang yang disembunyikan di dalam baju seseorang mondar-mandir di Markas Tentara Kabupaten. Ia melangkah pagar tembok yang hanya setinggi lutut, dan berhasil menghindari pengawasan petugas piket.
“Di mana kamar Komandan?” tanyanya pada seorang yang membawa sebaki air minum.
Tanpa curiga, orang itu menunjukkan. Ia masuk kamar. Kamar itu belum berpenghuni. Ia berjongkok di balik meja. Seorang tentara meletakkan surat-surat di meja Komandan. Ia berdiri, mengacung-acungkan parangnya.
“Mengapa Wasripin kau bunuh?”
Tentara itu terkejut dan bengong. Ia menyabetkan parang dan melukai lengan tentara. Tentara berteriak-teriak dan berlari keluar sambil menuding-nuding.
“Orang ngamuk! Orang ngamuk!”
Beberapa orang perwira dengan pistol di tangan masuk. Orang itu langsung mengayunkan parang dan berhasil melukai dua orang. Tentara perempuan yang bekerja sebagai sekretaris membunyikan sirine tanda bahaya, meraung-raung. Seorang perwira berhasil menembak dada orang itu. Orang itu jatuh berlumuran darah, parang lepas dari tangan.
“Meng-apa Was-ri-pin kau bu-nuh?” kemudian menghembuskan napas yang penghabisan.
Markas itu sibuk. Ambulans mengoeng-ngoeng. Para perwira dipapah ke mobil ambulans. Mereka yang baru datang menanyakan pada teman-temannya. Dengan mobil ambulans yang lain jenazah segera dibawa ke rumah sakit untuk diserahkan keluarga. Beberapa petugas membersihkan darah di lantai.
Komandan datang. Ia baru saja tiba dari Kantor Bupati memberikan briefing mengenai perlunya tindakan tegas tentara untuk memberantas makar. Bertanya pada wakilnya apa yang telah terjadi, kemudian mengundang rapat. Ia mendapat laporan bahwa pelakunya menanyakan kenapa Wasripin dibunuh.
“Kepung perkampungan nelayan!” perintahnya.
Tentara bergerak cepat. Mereka menjaga jalan-jalan menuju perkampungan, menanyakan KTP setiap orang. Bukan itu saja. Tentara juga menyebar ke kebun-kebun, bahkan ke kuburan desa. Tentara menaikkan bendera yang dipasang setengah tiang di lapangan TPI. Tentara juga ke SD dan Kantor Kelurahan yang benderanya dipasang setengah tiang. Mereka yang mengetahui bahwa tenda dan kursi-kursi di depan surau semuanya untuk Wasripin juga memerintahkan orang-orang sekitar untuk membongkarnya.
6
HARI itu Hari Pasar. Tenda, ular-ularan, dan kursi sudah dibongkar. Tak ada orang, tak ada tenda pedagang, tak ada gerobak dorong, tak ada warung tiban, tak ada orang di pasar TPI. Di jalan masuk ke pasar tentara akan menghadangnya. Mereka memeriksa keranjang sayur dan gerobak dorong.
“KTP?”
Tidak ada caranya bagi orang pasar untuk membawa KTP. Orang kantoran bawa KTP, mahasiswa perlu KTP, orang kota perlu KTP, tapi bukan pedagang kecil seperti mereka, bukan bakul di pasar. Mungkin punya, mungkin tidak.
“Pulang dulu ambil KTP.”
Dengan patuh mereka pulang, dan tak pernah kembali.
“Ada apa?”
“Pak Wasripin diciduk, dan ditembak.”
“Ampuh sungguh tentara, Pak Wasripin saja kalah.”
Pasar hewan juga sepi. Truk yang membawa kambing dihentikan.
“Apa yang kau bawa?”
“Kambing, Pak.”
Kemudian tentara akan naik, memeriksa. Tentara juga memeriksa jok depan.
“Apa yang dicari, Pak?”
“Senjata api, senjata tajam. KTP?”
“Wah, tidak ada, Pak. Sopir itu, biasanya hanya bawa SIM dan STNK.”
“Coba.”
Sopir memberikan yang ia bawa, dan diperbolehkan terus. Sebentar kemudian mereka kembali.
“Lho, kamu lagi!”
“Pasar mati, Pak. Katanya itu karena Pak Wasripin diciduk dan ditembak. Kami ini orang susah, Pak. Jangan dibuat lebih susah lagi.”
Ada pedagang memikul dagangannya dihentikan tentara.
“Senjata tajam tak boleh masuk.”
“Saya ini memang berdagang sabit, pisau, cangkul, kelewang.”
“Pokoknya ini peraturan.”
Bagi orang di perkampungan nelayan, pasar TPI mati tak melaut tidak apa. Mereka masih punya gulai dan nasi walimahan untuk beberapa hari. Beras dan ikan kering untuk seminggu. Pemungut pajak tidak masuk. Tetapi, bagi para bakul tidak jualan berarti tak ada untung, tak ada untung berarti tak makan. Maka, para bakul menggelar dagangan, memasang tenda di jalan-jalan menuju pasar. Praktis, dekat tempat penjagaan tentara.
Tak ada nelayan melaut. TPI sepi. Tak ada truk pengangkut ikan. Tak ada keranjang-keranjang ikan dengan ikan dan air laut yang menetes-netes. Para Satpam dan Kepala TPI tidak masuk kerja. Perkampungan yang menjadi pemasok ikan untuk kota-kota di Jawa Barat. Tidak ada pasokan ikan segar.
7
KOMANDAN Operasi yang masuk dengan sebuah jeep ke lapangan TPI kaget. Ternyata di lapangan itu bendera dinaikkan setengah tiang. Ia minta seorang prajurit yang mengawalnya menaikkan bendera itu menjadi sepenuh tiang. Firasatnya mengatakan kalau ia harus ke kelurahan, karena jangan-jangan di sana orang juga mengibarkan bendera setengah tiang. Ia berjalan ke sana. Lhadalah! Ia betul, orang mengibarkan bendera setengah tiang. Ia ke lurah, dan memerintahkan untuk menaikkan ke atas. Lalu ia berjalan ke SD. Lho! Benderanya juga setengah tiang. Ia menemui seorang guru. “Di sini yang kuasa Kepala Sekolah, Pak. Semua kebijakan dia yang ambil.” Komandan Operasi mencari Kepala Sekolah, tapi tidak ada. Akhirnya ia menemui tukang kebun sekolah, dan bendera itu berhasil dinaikkan.
Maka, ia kembali ke lapangan TPI. Ia terkejut untuk kedua kalinya: bendera itu telah jadi setengah tiang kembali. Kemudian ia menyuruh pengawalnya ke kelurahan dan SD. Di sana pun yang terjadi demikian. Bendera itu kembali jadi setengah tiang. Di kedua tempat itu ia berhasil menyuruh orang untuk menaikkan bendera, lalu kembali untuk lapor. Komandan menyuruh seorang tentara lagi untuk menunggu tiang bendera, karena ternyata kedua tempat itu rawan pembangkangan dan ia sendiri menunggu tiang bendera di lapangan. Semuanya berjalan lancar: di lapangan,
kelurahan, dan SD. Ditunggui tentara dengan topi baja dan senapan siap menyalak!
Tidak disangkanya di rumah-rumah para nelayan di sekitar lapangan dan seluruh rumah perkampungan nelayan tiba-tiba muncul bendera setengah tiang. Maka, ia memerintahkan sopir untuk menjemput seorang prajurit pembawa megafon. Setelah prajurit itu datang diperintahkannya untuk keliling kampung dan mengumumkan bahwa pemasangan bendera setengah tiang berarti pembangkangan.
Maka berjalanlah prajurit itu dari rumah ke rumah dengan pengumuman, “Menaikkan bendera setengah tiang adalah pembangkangan.”
Tidak begitu mujur nasibnya: hanya rumah yang dekat dengannya kemudian menaikkan bendera, tapi begitu ia sudah lewat bendera itu jadi setengah tiang lagi. Ia merasa dipermainkan. Pusing bermain kucing-kucingan dengan para nelayan, ia kembali ke lapangan dan melapor Komandan.
“Ubah pengumuman itu, dilarang memasang bendera,” kata Komandan.
Ia kembali ke perkampungan. Anak-anak sekolah yang hari itu hanya masuk setengah hari melihat ada tentara masuk kampung membawa megafon. Itu aneh. Mereka senang, dan mengikuti dari belakang, sambil menirukan penabuh genderang,
“Deng deredeng deng, deng deredeng deng. Ba-ris terik tempe, le-song dele gosong.”
Sepanjang jalan anak-anak menirukan penabuh genderang dan bernyanyi. Makin lama makin banyak anak sekolah yang mengikutinya.
Ia mengangkat megafon, anak-anak itu mengerumuninya, dan merengek-rengek.
“Pinjam, Pak. Pinjam, Pak.”
Ia terpaksa mengurungkan niat. Setiap kali dia mengangkat megafon, anak mengerumuninya dan merengek-rengek, “Pinjam, Pak! Pinjam, Pak!”
Anak-anak terus mengikutinya, sambil memperagakan orang menambur. Ia merasa seperti orang gila yang diikuti anak-anak. Dan sangat risi. Tugasnya ia batalkan dan kembali ke lapangan.
“Lapor! Tugas selesai!”
Komandan menunjuk ke rumah-rumah di sekitar lapangan yang masih berbendera setengah tiang. Mereka ke perkampungan.
“Sudah dengar pengumuman?”
“Dengar, Pak.”
“Nekad, ya?”
“Bendera-bendera itu memasang dirinya sendiri.”
“Bohong!”
Sementara itu orang berkumpul.
“Tanya tiangnya sendiri.”
“Dasar kampungan!”
“Bapak ini bagaimana? Saya tidak pernah mengaku orang kota. Berani sumpah, Pak.”
Tentara itu merasa tidak ada gunanya berdebat dengan mereka, kemudian keduanya naik jeep dan mau menjemput kawannya di kelurahan dan SD.
Pada waktu itu Lurah datang. Lurah datang dengan seragam, peci, dan tanda di dadanya.
“Saya menjamin orang tidak akan memasang bendera setengah tiang, asal tentara tidak lagi mengepung desa.”
“Kami harus menunggu perintah atasan,” kata Komandan dan memerintahkan jeep untuk berjalan.
8
Koran-koran di Jawa Barat yang biasa menerbitkan indeks harga-harga di pasar selama empat hari belakangan memberi catatan bahwa melejitnya harga ikan telah diketahui sebabnya, yaitu tidak adanya pasokan ikan di pasar-pasar. Tetapi, kata mereka, belum diketahui sebab kenapa hal itu bisa terjadi.
Bupati Kepala Daerah menerima telepon dari rekan-rekannya di Jawa Barat. Mereka mengatakan bahwa sudah empat hari ini tidak ada pasokan ikan dari Pantura sehingga harga ikan melejit. Bupati memerintahkan bawahannya sebab-sebab para nelayan tidak melaut. Segera bawahannya ke perkampungan nelayan. Dia juga dicegat tentara.
“Lha bagaimana, Pak. Bukannya kami tidak mau melaut, tapi ikan yang tak mau dijaring.”
“Bukan karena pengepungan itu?”
“Bukan. Mau dikepung sebulan, dua bulan, juga boleh.”
Bupati mendapat laporan bahwa pengepungan tentara menyebabkan nelayan tak melaut dan pasar mati. Bupati pun menelepon Komandan Tentara Kabupaten, minta supaya pengepungan diakhiri.
Seminggu kemudian pengepungan berakhir, nelayan melaut, pasar hidup, dan bendera-bendera disimpan.
9
Nelayan sudah melaut. Pada sore hari beberapa nelayan berkumpul di emperan surau.
“Di tengah laut ada ombak besar, saya teriakkan nama Wasripin, ombak itu menghilang!”
“Saya tidak dapat menangkap seekor ikan pun, saya sebut nama Wasripin, ikan-ikan datang seperti ditumpahkan dari langit!”
“Saya ke Masjid Demak. Saya melihat dengan mata kepala sendiri Wasripin shalat di sana!”
“Saya dapat surat dari sepupu saya yang sedang umrah di Mekkah. Dia melihat Wasripin sedang berdoa di Multazam!”
Orang-orang percaya bahwa Wasripin sebenarnya tidak mati. Para nelayan menularkan kepercayaan itu pada orang pasar. Orang-orang pasar pada keluarganya.
Orang pasar akan berkata satu sama lain.
“Anak saya demam, saya sebut nama Wasripin lalu saya suruh minum air putih. Sembuh.”
“Suami saya pegelnya kumat, malam-malam antara terbangun dan tertidur Wasripin datang dan memijat. Paginya ia bekerja.”
“Istri saya bengeknya kumat. Datang Wasripin dalam mimpi memberi air putih. Ee, ketika ia bangun ada sebotol air putih sungguhan, lalu diminum, sembuh.”
Para nelayan dan orang pasar menyebarkan berita itu ke seluruh kecamatan. “Sebutlah nama Wasripin, Tuhan akan mengabulkan doamu,” kata mereka. Wasripin telah menjadi washilah (perantara) terkabulnya permohonan. Pak Modin prihatin.
LIMA BELAS
MALAM itu ada peringatan Milad Nabi di perkampungan nelayan, menukar rencana yang semula batal. Anak-anak dan permainan rebana setempat akan bermain. Kyai dan rombongan rebananya diundang lagi. Kyai itu berdakwah, melucu, dan diselang-seling permainan rebana. Tenda didirikan, kursi-kursi dipasang. Sebelum waktu diberikan pada Kyai, Pak Modin – sebagaimana selalu demikian – diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang-orang dari desa sekitar berdatangan.
“Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya,” kata Pak Modin. “Dan Wasripin telah syahid. Negara menzhalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan dia sebagai washilah. Itu syirik.”
Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau datan ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan Komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak, “Jangan! Ja-ngan!” Teriakan itu membuat orang-orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin: dibawa tentara selalu berarti mati.
Para nelayan berkumpul. Mereka berniat menyusul Pak Modin. Kecurigaan pertama mereka ialah pada Tentara Kabupaten. Dengan sepeda motor mereka menuju Markas Tentara Kabupaten. Setelah berunding, mereka diperbolehkan melihat kamar tahanan. Tempat itu kosong. Kecewa, mereka menuju Markas Polisi Kabupaten. Di sana mereka juga diperbolehkan menjenguk kamar tahanan. Tidak ada. Mereka pergi ke Kejaksaan. Pak Modin tidak ditemukan. Mereka kembali. Mereka hanya bisa berdoa untuk keselamatan Pak Modin.
Beberapa orang nelayan ditugaskan untuk memantau berita-berita di koran dan teve. Seperti terjadi pada syahidnya Wasripin, mereka tidak melaut. Pengibaran bendera setengah tiangtidak mereka lakukan, karena tidak ada berita yang pasti tentang Pak Modin.
Telepon rumah dan kantor Bupati mendapat keluhan bahwa harga ikan di kota-kota Jawa Barat naik berat. Minta supaya Bupati menggunakan seluruh kekuasaan untuk memaksa para nelayan melaut. Kalau tidak, mereka
mengancam bahwa akan minta para Bupati di jalur Pantura Jawa Barat memasok ikan. Bupati menugaskan Kepala Dinas Perikanan untuk menemui para nelayan, dan mengatakan bahwa melaut adalah kepentingan nelayan sendiri, sambil menyampaikan ancaman itu. “Kami mau melaut, tapi pulangkan Pak Modin.”
Para nelayan berkumpul.
“Tidak usah digubris.”
“Membuat orang biasa jadi nelayan tidak semudah membalikkan tangan.”
“Harus membangun dermaga, TPI, perahu-perahu, dan mengajari orang menangkap ikan.”
Bupati ternyata juga baru tahu bahwa Pak Modin dibawa tentara. Dia menelepon kesana-kesini, tapi baik tentara maupun polisi tidak tahu. Lain dengan berita tentang Wasripin yang semua orang tahu belaka, dari koran-koran dan teve. “Bukan pekerjaan kami,” kata Komandan Tentara. “Bukan pekerjaan kami,” kata Kepala Polisi. Tahulah dia bahwa itu pekerjaan intelijen. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menarik napas panjang.
2
DI kantor Pimpinan Daerah Partai Randu. Ketua Partai yang membawahi perkampungan nelayan muncul.
“Kebetulan, ada yang ingin kami tanyakan.”
“Tentu ini, mengapa warga kami tak aktif dalam kampanye?”
“Kok tahu.”
“Saya sudah mengira. Warga partai desa kami mogok.”
“Mengapa?”
“Kata mereka, Partai bungkam ketika Wasripin ditembak tentara. Partai juga tidak ada usaha apa pun mengenai Pak Modin.”
“Itu semua sudah di luar wewenang kami.”
“Mereka berpikir tidak ada gunanya jadi partai penguasa.”
“Kekuasaan itu ada batasnya.”
Ketua Partai Desa merogoh bajunya. Mengeluarkan seratusan kartu dari sakunya. Meletakkan di meja.
“Apa-apaan ini? Seharusnya mereka tidak usah keluar.”
“Keputusan kami sudah bulat. Partai di desa kami menyatakan bubar. Terima kasih.”
Dia meninggalkan kantor.
TERJADI gara-gara. Ada tawur di jalanan antara peserta kampanye Partai Randu dan Partai Langit. Lima orang luka-luka berat akibat sabetan pedang, delapan luka-luka ringan, dan jalan terganggu. Di bukit ada hujan deras yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor. Puluhan rumah terpendam, tiga belas hektar sawah puso, lima orang hilang dan belum diketahui nasibnya. Jembatan bobol dan tinggal beton dan kerangka besi. Teve mengumumkan bahwa jalan di Pantura tak dapat dilalui, dan dianjurkan
pengguna jalan melalui jalur alternatif. Reklamasi laut yang hampir selesai gagal, karena ombak ganas menerjang. Dalam rencana reklamasi itu diperuntukkan pembangunan pelabuhan modern.
Puluhan petani mendatangi kantor Bupati karena sawah-sawah mereka terbenam dalam banjir. Menurut para petani sebabnya ialah pembangunan perumahan mewah untuk pegawai Pemerintah Daerah oleh sebuah perusahaan real-estate telah membuat tanggul-tanggul sehingga air mengalir ke arah yang salah.
“Hentikan pembangunan!”
“Persetan rumah mewah!”
“Pegawai untung, petani buntung!”
Bupati terpaksa menemui mereka. Bupati berjanji akan menegor perusahan properti, dan menghentikan proyek itu. Mereka bubar tapi mengancam akan datang lagi bersama anak isteri kalau janji Bupati tidak ditepati dalam tiga hari.
Bupati memanggil pengusaha.
“Wah, Bapak memanggil orang yang salah. Itu sudah keputusan Dewan.”
Dia menelepon Ketua Dewan. Tidak ada. Kemudian ditelepon Wakilnya. Tidak ada. Wakilnya lagi, kosong. Bupati curiga. Lalu menyuruh Sekretaris ke Dewan. Kantor Dewan kosong, tidak ada sidang, yang ada tukang sapu.
“Mereka sedang ke luar negeri. Studi banding.”
“Studi banding atau melancong bersama isteri?”
“Mana saya tahu, Pak.”
“Kampanye ke luar negeri, barangkali.”
Bupati mengeluh, “Aji mumpung!”
Tiga hari kemudian para petani datang. Mereka bersama isteri, anak, perlengkapan masak, dan kasur-kasur. Seperti para keluarga petani yang akan bertransmigrasi ke luar Jawa. Mereka bertekad menginap di Kantor Bupati sampai ada penyelesaian. Wartawan berdatangan. Mereka bertanya pada Bupati.
“No comment,” kata Bupati.
Lalu mereka menginterviu para petani. Ketika keesokan paginya berita-berita sekitar banjir dan genangan air yang membusukkan tanaman di sawah keluar di koran-koran, Bupati hanya bisa terdiam. Juga ketika ditanya soal kosongnya Dewan. Sebuah koran memberitakan seolah-olah dia mengatakan “kacang mangsa ninggala lanjaran” (bawahan mencontoh atasan), dia hanya bisa menelan semua kepahitannya. Entah sampai kapan keruwetan itu berakhir, ia pun tidak tahu.
UNTUK mengatasi masalah suplai ikan Bupati mengundang rapat stafnya.
“Ancam mereka dengan menaikkan pajak,” usulnya.
“Itu terlalu lama. Perlu Peraturan Daerah, dan Partai Randu takkan setuju. Sekarang musim kampanye.”
Rapat itu tidak menghasilkan keputusan. Lalu Bupati mengundang Komandan Tentara dan Kepala Polisi. Kepada Komandan Tentara dimintanya
mencari keberadaan Pak Modin, dan kepada Kepala Polisi ia mempunyai usul untuk memaksa para nelayan menangkap ikan.
“Bagaimana kalau polisi memaksa para nelayan menangkap ikan?”
“Kekerasan tidak akan jalan, Pak. Tetapi akan kami coba.”
Dengan sebuah megafon keesokan harinya sebuah jip polisi keliling perkampungan nelayan.
“Halo! Halo! Nelayan wajib mencari ikan. Kalau tidak, izin perahu akan dicabut!”
Rupa-rupanya nelayan menjadi terbiasa dengan polisi. Mereka tidak juga bangkit. Polisi, pengadilan, dan tentara adalah makanan sehari-hari. Resiko tertinggi adalah mati. Tidak seorang nelayan pun melaut.
Kepala Polisi menelepon Bupati tentang kegagalan itu.
“Saya punya usul untuk meningkatkan tekanan,” kata Bupati.
“Apa?”
“Setiap polisi ikut melaut bersama nelayan.”
“Akan kami coba, demi daerah kita.”
Maka terjadilah peristiwa yang tak ada duanya di dunia. Nelayan dipaksa melaut. Seorang polisi pilihan (kekar, atletis, sehat) berada di atas satu perahu. Sehabis subuh, lima belas perahu nelayan berangkat bersama lima belas polisi. Para polisi berdiri tegar, tangan menyelempang ke belakang, pistol di pinggang. Sebentar saja, ketika angin, ketika ombak, perahu oleng. Para polisi tidak tahan. Badan dingin, keringat keluar, para polisi terduduk, memegang pinggiran perahu. Perut mulas-mulas. Mereka muntah-muntah, “Ho-ek, ho-ek”. Dari lima belas polisi hanya seorang yang tidak muntah-muntah.
“Kita kembali!”
“Sebentar, Pak. Belum dapat ikan.”
“Kembali saja!”
“Nanti tak dapat ikan.”
“Tak dapat ikan tak apa.”
Mereka kembali ke darat. Para polisi lapor, bahwa tugas sudah dilaksanakan. Kepala Polisi senang. Segera dia menelepon Bupati untuk menyampaikan berita baik itu. Bupati mengatakan bahwa pekerjaan itu perlu diulang terus-menerus sampai para nelayan sadar. Bupati dengan bangga menelepon kolega-koleganya di Jawa Barat, mengatakan bahwa ikan-ikan akan segera membanjiri pasar.
Kepala Polisi bilang pada bawahannya.
“Kalian akan kami usulkan dapat ‘Bintang Produksi’. Besok diulang lagi. Sampai mereka sadar.”
“Ya, tugas dan bintang itu berikan saja pada orang lain.”
“Polisi pantang membantah.”
“Terus terang saja, Pak. Kami muntah-muntah.”
“Lho! Jadi?”
“Kami kembali sebelum dapat ikan. Jadi nelayan tidak mudah. Kalau kami kena hukum, ya silakan.”
Kepala Polisi berpikir keras untuk memberitahu Bupati aib yang sangat memalukan itu.
EMAK angkat Wasripin pulang ke gunung. Tempat pertama yang dikunjunginya ialah rumah seorang kiai. Ia mengaku banyak berdosa, dan menyatakan ingin betul-betul bertaubat.
“Tuhan itu pengampun. Meskipun engkau datang dengan dosa sebesar gunung, dia akan memaafkanmu. Nah, apa ada manusia yang pernah kau sakiti?”
“Ada. Wasripin dan paman Satiyem.”
“Cari mereka sampai ketemu. Dan minta maaf pada manusia, baru Tuhan akan memaafkanmu.”
Maka mulailah dia bertanya-tanya pada tetangga.
“O, ya. Satiyem baru saja mengirim undangan ke kami untuk menghadiri pernikahan dengan seseorang bernama Wasripin.”
Dia melihat undangan itu dan mencatat alamatnya.
Dia pergi mencari alamat itu. Sebuah surau di Pantura.
Tidak usah diceritakan perjalanannya, ia menyewa sebuah becak dari jalan raya menuju perkampungan nelayan. Sampai, ia menyeberangi lapangan dan menuju surau. Ia menyuruh becak berhenti dan bertanya kepada orang pertama yang dijumpai.
“Tolong, tunjukkan rumah Wasripin. Aku akan mencium lututnya, dan minta maaf. Aku ingin keluar kata-katanya bahwa ia memaafkanku.”
“Jadi belum dengar beritanya?”
Perempuan itu curiga, ia mencium sesuatu yang tak baik.
“Dia sudah pergi.”
“Pergi?”
“Meninggalkan dunia yang fana, pergi ke alam baka.”
“Mati?”
“Ya, Bu.”
Perempuan itu terduduk di tanah.
“Duh, Gusti! Minta maaf saja kok tidak boleh.”
Untuk beberapa lama ia terdiam.
“Di mana kuburnya?”
“Di suatu tempat yang kita tidak tahu.”
“Isterinya?”
“Tidak diketahui ke mana dia pergi.”
“Paman isterinya?”
“Kami tidak tahu, Bu.”
Perempuan itu mencium tanah dua kali.
“Maafkan, emakmu. Maafkan, Mas.”
6 Mengucapkan terima kasih, dan pergi.
SEBUAH jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seseorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Setotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu. Orang tua yang ternyata bongkok itu berjalan mondar-mandir, bertumpu tongkat bambu. Banyak orang lewat, tetapi tak memperhatikan. Seorang lewat dengan sepeda motor. Orang itu berhenti. “Pak Modin! Pak Modin!”
Orang tua itu diam saja, menatap dengan kosong. Orang tua itu mengulurkan tangan.
“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.”
“Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.”
“Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral, bersenjata lengkap.”
“Tidak, Pak.”
“Lha, siapa saya?”
Orang bersepeda motor itu tahu bahwa keadaan orang tua itu gawat. Segera ia menitipkan sepeda motornya dan memanggil becak.
“Kok begini jadinya.”
Ia menaikkan orang tua itu ke atas becak, dia sendiri duduk di samping, memapah. Orang itu menangis.
“Mengapa engkau menangis?”
“Tidak apa!”
“Kemana lagi saya akan dibawa?”
“Pulang ke rumah!”
“Apa? Rumah?”
“Ya, Pak.”
“Bajumu kotak-kotak. Kau bukan tentara?”
“Saya nelayan, Pak. Anakmu.”
“Saya tak punya anak.”
“Setiap nelayan anakmu.”
“O, begitu.”
Hari itu Hari Pasar, sekalipun para nelayan belum melaut, pasar sudah buka. Tukang becak itu turun dan mendorong becaknya.
Mereka yang kebetulan melihat penumpang becak berteriak.
“Pak Modin! Pak Modin!”
Mereka membentuk ekor panjang. Para lelaki sesenggrukan dan para perempuan menangis.
0 Comments:
Post a Comment