Wasripin Dan Satinah Part 3
EMPAT
1
WASRIPIN jadi Satpam di TPI. Dia dapat shift malam hari untuk minggu pertama. Selain seragam, dia dibekali sebuah radio transistor dan baterei. Dia senang dengan pengalaman barunya. Di malam hari suara-suara laut lebih terdengar, byurrr, kricik-kricik. Teman-temannya selalu menghindar untuk berjaga di TPI dan memilih berjaga di emperan surau sambil bercanda dengan orang-orang Siskamling.
TPI menyediakan radio itu dengan maksud supaya Satpam yang jaga malam betah melek, tetapi merek selalu menghindari berjaga di TPI. Sebab, kata teman-temannya kerja di malam hari banyak godaannya. Ada godaan yang kasar, ada godaan yang halus. Ada godaan yang menawarkan racun, ada godaan yang menawarkan madu. Sebagai orang baru Wasripin mempunyai disiplin tinggi. Ia benar-benar berjaga di TPI. Melek, tidak tidur.
Malam pertama dia masuk kerja, ada pencuri berusaha membobol tembok TPI dengan linggis. Didengarnya suara dhuk-dhuk di tembok sebelah sana. Dengan mengendap-endap dia mendekati suara itu. Setelah dekat, dia mendehem.
“Ehm!”
Dia mengulang, “Ehm!”
Pencuri dengan linggis itu tidak berlari. Ia memberi isyarat untuk diam. Dia heran Satpam tidak tertidur, padahal semua syarat untuk menidurkan sudah lengkap: jampi-jampi dan beras kuning. Sebelumnya dia tidak pernah gagal melakukan ajian gendam. Pencuri itu berhenti bekerja. Mengulurkan tangan yang berisi sejumlah uang. Wasripin tidak menyambut uluran itu.
“Tolong. Kau miskin, aku melarat. Kita sama-sama orang kecil. Jangan ganggu aku. Terimalah ini!” kata pencuri sambil menyodorkan tangannya.
“Uang apa?”
Sambil melirihkan suara kata pencuri, “Ini kuberikan, tapi diamlah. Pura-pura tidak tahu.”
“Jadi uang suap, begitu?”
“Ya, terimalah. Kabarnya orang lebih suka terima uang daripada repot-repot.”
“Tidak.”
“Jangan urus aku. Uruslah pencuri yang besar-besar.”
“Besar atau kecil sama saja. Mencuri ya pencuri.”
“Tolong, anakku enam. Mereka perlu makan.”
Wasripin merogoh kantongnya. Ada uang pemberian Satinah yang selalu dibawanya.
“Ini uang untuk anak-anakmu. Tapi jangan lagi mencuri. Tambahkan pada uang suap.”
Sambil melongo pencuri itu menerima uang Wasripin. Dia berlari dengan linggisnya. Pencuri itu mencium tangan yang segera ditariknya. Itu barangkali satu-satunya ciuman tangan yang pernah diterimanya. Pelan-pelan pencuri menjauh, makin lama makin cepat. Kemudian dia menoleh.
“Aku tahu sekarang, kau pasti Wasripin,” teriaknya setelah jauh. “Pemimpin kami!”
“Eh, aku pemimpin pencuri juga?” pikir Wasripin.
Lain malam, lagi enak-enak mendengarkan wayang kulit dari radio, dia mendengar suara perempuan menangis merintih-rintih minta tolong, “Tolong! Tolong!” Dia biasa mendengar itu di perkampungan pinggir sungai di Jakarta. Seorang suami sedang berbuat kasar dengan isterinya. Ia mengecilkan radionya. Tiba-tiba dia ingat: di tengah malam seperti di teluk TPI tidak mungkin hal itu terjadi. Ada sesuatu yang aneh. Dia mematikan radionya. Berbekal sebuah senter dia mencari arah suara itu. Dia berjalan sepanjang teluk.
“Aku di sini!”
Lho itu kok suara Satinah, pikirnya. Tidak mungkin dia di sini malam-malam. Ia berjalan ke arah suara itu. Tidak ada orang, hanya setumpuk kayu glondongan.
“Ya, aku di sini.”
“Di mana?”
“Di sini.”
Dilihatnya ada tali dan seorang perempuan yang tergencet dalam gelondongan kayu. Badannya jadi tipis macam yang ia lihat di film kartun.
“Bagaimana kau sampai di situ?”
“Saudara-saudaraku mengikat aku ke kayu ini, supaya aku terbawa pergi.”
“Aku tahu sekarang. Kau pasti anak nakal.”
“Jangan sebut aku anak, umurku sudah 350 tahun.”
“Nah, aku tahu! Kau pasti jin.”
“Cepat, sebentar lagi orang-orang datang dan membawaku pergi.”
Wasripin melonggarkan tali itu. Dan perempuan meloncat ke atas tanah.
“Sekarang pergilah ke duniamu.”
“Tidak. Aku sudah bersumpah, siapa saja yang membebaskan, kalau perempuan akan kujadikan saudara, kalau laki-laki akan kujadikan suami.”
“Jangan, pulanglah ke duniamu. Lho, aku jadi Joko Tarub?”
“Saudara-saudaraku sudah menolak aku.”
“Dunia kita lain.”
“Tak jadi soal.”
“Aku sudah punya tunangan.”
“Kalau begitu jadikan kelak aku isteri kedua.”
“Tidak ada caranya begitu.”
“Ya sudah. Jadikan aku pelayanmu.”
Perempuan itu mulai menangis, melolong-lolong. Tiba-tiba terpikir oleh Wasripin untuk melemparnya. Dia memegang kedua tangan perempuan itu dan melemparnya. Dia ringan seperti kapuk. Dia sedang tertegun dengan apa yang sudah dikerjakannya, ketika sebuah pukulan kayu mengenai tengkuknya. Dia roboh, tak sadarkan diri. Sementara dia pingsan, kayu-kayu itu menghilang dengan sebuah truk.
2
Pagi-pagi sekali bakul-bakul pasar menemukannya masih tergeletak di pantai. Mereka tahu bahwa orang itu adalah Wasripin. Para lelaki menggotongnya ke TPI. Seseorang menggebyur dengan air. Dia sadar. Menggeliat. Melihat Wasripin sadar orang-orang meninggalkannya. Satpam TPI yang menggantikannya datang.
“Ada apa?” tanya Wasripin kepada Satpam pagi.
“Kau tergeletak di pantai. Ada apa?”
Wasripin mengingat-ingat.
“Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.”
“Kayu-kayu?”
“Bukan itu saja.”
“Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.”
“Bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Itu lho, mmm.” Wasripin berhenti, “Tapi kau pasti tak percaya.”
Wasripin akan bercerita tentang perempuan yang menangis, tapi diurungkannya. Dan ia pulang ke kamarnya.
Ketika Kepala TPI datang dan mendapat laporan tentang Wasripin. Katanya, “Salah sendiri, sudah kubilang bahwa urusannya ialah mengamankan TPI, bukan yang lain.”
Siang itu juga Kepala TPI mengumpulkan para Satpam. Sambil menunjukkan sebuah surat tanpa alamat tanpa tanda tangan tanpa nama terang dia berpidato,
“Saudara-saudara, saya baru saja terima surat ancaman. TPI akan dibakar kalau kita mencampuri urusan mereka. Karenanya, jangan diulang lagi, Wasripin. Mereka punya backing.”
Ancaman itu tidak sekedar menakut-nakuti. Malam hari yang lain serombongan laki-laki datang di TPI dengan sebuah truk. Mereka menggedor pintu dan mangobrak-abrik lemari, meja-kursi, bangku-bangku. Satpam yang tertidur tidak mendengar suara-suara itu. Kemudian mereka mengecer-ecer bensin di lantai. Lalu menyulutnya dengan korek api. TPI terbakar. Mereka pergi. Satpam yang bertugas bangun dari tidur di emperan surau. Berteriak-teriak.
“Api! Api! Tolong! Tolong!”
Dengan cepat orang-orang sekitar datang dengan ember-ember berisi air. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Api membesar mengalahkan sinar bulan di atas. Api meludes bangunan dari kayu dengan cepat. Mereka tertegun
melihat reruntuhan bangunan itu. Tempat mereka tawar-menawar tangkapan itu rata dengan tanah.
Ketika siang itu Kepala TPI datang, dia hanya dapat mengumpat dalam hati. Untung Ketua Partai Randu segera datang, menepuk-nepuk pundak, menenteramkan hatinya.
“Jangan khawatir, ini pasti sebuah kesalahan. Akan kumintakan ganti,” kata Ketua Partai Randu.
“Siapa akan mengganti?”
“Kau tahu beresnya saja, mereka pasti tak tahu bahwa TPI itu persembahan Randu untuk nelayan.”
Sungguh seperti sulapan, hanya dalam dua minggu TPI sudah berdiri lagi. Kerja lembur. Kali ini lebih bagus, tembok semen, kusen dan daun pintu kayu jati, dan cat-cat baru. Mereka mendengar bahwa Partai Randu yang membangun. Karenanya tidak heran dari mana datangnya duit untuk membangun, semua orang mengerti bahwa kekuasaan itu kuasa.
3
WASRIPIN sedang jaga malam, dari pukul sembilan hingga pukul lima. Terbungkus sarong untuk menghindari udara dingin dari laut. Dia sedang menikmati wayang di radio dan mendengar suara sepeda motor. Sepeda motor berhenti dekat TPI. Dilihatnya seorang perempuan turun dari boncengan. Perempuan itu menghampirinya. Pengendara sepeda motor duduk di sebuah batu dan mengeluarkan rokok.
“Sendiriann, Mas?”
“Ya.”
“Kedinginan, ya?”
“Ya.”
“Kalau begitu butuh penghangat?”
“Tidak.”
“Penghangat dari tubuh perempuan?”
“Sudah ada sarong.”
“Saya temani, mau ya? Kalau tidak bawa uang, boleh bayar belakangan.”
“Tidak saja.”
“Tidak usah bayar, bagaimana?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, boleh aku terus terang?”
“Boleh saja.”
“Kata orang kau sakti. Aku sengaja ke sini untuk membuktikan apa kau juga sakti di tempat tidur.”
“O, itu to. Tidak saja.”
“Kalau aku pengin, bagaimana?”
“Tidak saja.”
“Sekali-sekali rasakan servisku.”
“Tidak saja.”
Perempuan itu makin merangsek mencoba merangkul, tetapi Wasripin selalu menghindar. Tidak terpikir oleh Wasripin bahwa ada perempuan menawarkan diri untuk menemaninya tidur. Pengalamannya selama di Jakarta ialah emak angkatnya selalu mencarikan. Perempuan itu akhirnya jengkel. Kemudian perempuan itu memasukkan jari-jarinya ke mulut, “Tuiit, tuiit.” Ada perjanjian bahwa ia akan memberi aba-aba, dan sopir ojek itu akan menyerang Wasripin. Berkali-kali perempuan itu memasukkan jarinya ke mulut, tapi laki-laki itu diam saja. Lalu perempuan itu mendekati tukang ojek.
“Kau kenapa?”
“Kita pulang saja.”
“Kenapa?”
“Dia sakti. Aku takut.”
“Ah, laki-laki macam apa kau ini!”
Keduanya lalu berboncengan dan pergi. Gelap malam menyelimuti mereka. Orang-orang Siskamling datang. Sambil tertawa kata mereka, “Jadi Satpam itu enak, ya?” “Mbok tadi suruh saya menggantikan!” “Wah, kok ditolak! Eman-eman.”
4
KAWAN sesama Satpam mengeluh kalau isterinya sering ditakut-takuti seperti orang tinggi besar dan berbulu di rumahnya. “Sekarang isteri saya pulang ke rumah orangtuanya,” katanya dengan sedih. Wasripin melihat-lihat rumah itu. Ditemukannya bahwa rumah itu memang ada penunggunya. Kawannya memintanya untuk mengusir penunggu itu. Dia tidak punya pengalaman, tapi diberanikannya juga. Di luar dugaannya sendiri ia berhasil hanya dengan berdoa dan berdzikir sebagaimana diajarkan orang tua berambut putih itu. Wasripin lalu dikenal sebagai pengusir hantu.
Suatu hari Kepala TPI bilang bahwa di TPI pasti banyak jinnya. Seorang penjual teh yang sedang membawa teh terkejut, teh tumpah, gelas pecah. Katanya, ada orang berbaju surjan duduk di bawah meja telepon. Telepon itu sendiri gagangnya sedemikian sering terlepas, sehingga Kepala TPI harus membetulkannya setiap kali. Sudah dibetulkan sebentar saja gagang itu lepas lagi, sehingga telepon-telepon tidak bisa masuk. Padahal, telepon itu sangat penting, bukan bagi TPI, tapi bagi penduduk. Pernah, sebuah berita kematian yang disampaikan malam-malam lewat TPI gagal masuk. Wasripin bekerja dan mengatakan bahwa ada sekeluarga jin tinggal di TPI. Ia berhasil meyakinkan bahwa TPI itu milik manusia. Keluarga jin itu tidak mau pindah, karena persis di TPI itulah mereka tinggal sejak nenekmoyangnya. Tapi keluarga jin berjanji tidak lagi mengganggu manusia. Wasripin mengatakan bahwa jin dan manusia punya dunia sendiri-sendiri.
Kepala TPI manggut-manggut, menepuk-nepuk pundak Wasripin. “Aku tidak salah pilih. Aku tidak salah plilih.” Dia berpikir sudah ada penggantinya. Segera diajukannya surat BT (bebas tugas).
5
SUATU malam Wasripin sedang menikmati terang bulan di pantai di luar TPI ketika seorang perempuan tiba-tiba menegurnya. Bau harum menusuk hidungnya.
“Halo, indah ya bulannya.”
“Ya, sebelumnya aku tak tahu bahwa bulan bisa sebesar itu. Tapi …” Wasripin mulai curiga. Tiba-tiba saja wanita itu muncul. Di Jakarta dia sudah mendengar soal jin Jembatan Ancol.
“Ya, seperti kau duga aku peri laut.”
“Kalau begitu pergilah!”
“Nanti dulu, to. Tahukah kau seks tanpa risiko?”
“Tidak.”
“Wah, kabarnya kau orang Jakarta. Jakarta minggiran, ya?”
“Ya, kira-kira begitu.”
“Artinya tidak ada gatal-gatal, tidak ada siphilis, tidak ada saksi mata sebab aku dapat menghilangkan tubuhmu, tidak ada kehamilan hingga tidak perlu ada aborsi.”
“Pergilah!”
“Kau ingin apa? Gadis bule, gadis hitam, gadis berambut hitam, gadis berambut pirang, gadis berambut keriting, gadis berambut lurus, gadis mata biru, gadis mata hitam. Pendeknya apa-apa aku bisa. Seperti kata pedagang, You Name It, We Have It. Ingin apa?”
“Pergilah!”
“Nanti dulu. Pernahkah kau lihat perempuan sophisticated seperti aku?”
Tentu saja Wasripin belum pernah melihat gadis seperti itu. Perempuan yang sudah dikenalnya adalah mereka yang di tepi sungai itu.
“Pergilah!”
“Aku ingin membuatmu senang.”
“Pergilah! Jangan tunggu kesabaranku habis!”
“Ya sudah!”
Peri itu lalu menghilang. Bau wangi berubah menjadi bau mayat membusuk. Wasripin kembali ke TPI.
6
KABAR bahwa Wasripin dapat melihat dunia halus segera menyebar. Mula-mula ia dikenal sebagai orang yang kedatangan Nabi Hidhir, tukang pijat, dan kemudian pengusir jin. Keahlian sebagai pengusir jin itulah yang menimbulkan masalah.
Ada seorang pemuda desa yang tiba-tiba jadi gila. Dia ke pasar dan TPI. Berteriak-teriak, “Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan! Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan!” Seorang yang gila tidak pernah digubris orang. Seorang tidak digubris, muncul orang gila yang lain dengan teriakan yang sama, “Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan! Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan!” Tidak digubris. Ketika ada seorang gadis tiba-tiba gila di pasar dan melepas semua pakaian, “Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan! Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan!” Orang-orang pasar sibuk menutupi.
Orang-orang desa mulai berpikir. Tidak seorang pun di antara mereka yang gila mempunyai nenekmoyang orang gila. Mereka pergi pada orang pintar. Orang pintar mengatakan bahwa jin-jin marah, sebab Wasripin membuat mereka panas.
Tidak diketahui siapa yang merencanakan tiba-tiba saja orang banyak berkerumun di depan surau lepas waktu isa. Batu-batu melayang, genteng-genteng pecah. “Klothak, klothak.” Semua orang kulon dalan yang sejak dulu memang bermusuhan dengan orang-orang surau. Dulu sekali soal sepak bola, pencak silat, dan perkawinan. Daripada dapat menantu orang surau lebih baik anaknya jadi perawan tua. Sekarang mereka bermusuhan lewat partai yang berbeda. Mereka membawa pedang, kelewang, dan belati. Di dalam orang-orang menyingsingkan lengan baju. Orang-orang di luar berteriak,
“Usir Wasripin! Usir Wasripin!”
Pak Modin bilang pada Wasripin, “Jangan keluar. Aku saja.”
Pak Modin keluar. Jamaah surau berkerumun di emperan. Mereka menaikkan sarong.
“Tenang, Saudara-saudara. Apa soalnya?”
“Dia menyebabkan anak-anak kami kesurupan!”
“Wasripin berhak tinggal di sini!”
“Usir! Usir!”
“Saudara-saudara ini PKI atau bukan?”
“Bukan!”
Mendengar kata PKI mereka surut. Dan rupanya Pak Modin cukup dihormati orang-orang desa. Kematian, selamatan, sedekah laut, peluncuran perahu, dan upacara-upacara resmi selalu memerlukan kehadirannya. Kepercayaan orang melebihi Kaur Agama yang resmi.
“Jangan grusa-grusu!”
Pak Modin menatap mereka. Dia punya pengalaman jadi Hizbullah, menyerang pabrik gula, ditangkap Belanda, dan dipenjara. Pengalaman itu membuatnya berani.
“Usir Wasripin! Usir! Usir!” suara-suara makin lemah.
“Siapa pemimpin?”
Di luar dugaannya seseorang maju.
“Segala sesuatu dapat dirundingkan. Musyawarah untuk mufakat. Mari!”
Mereka lalu duduk di emperan surau. Di sebelah sana orang-orang surau, di sebelah sini para tamu tak diundang itu. Pak Modin duduk di tengah. Mereka sepakat bahwa anak-anak mereka akan dikumpulkan di surau. Pak Modin memimpin doa dan dzikir untuk mengusir jin, dan untuk keselamatan warga. Kalau tidak berhasil, Wasripin akan pergi. Maka, pada suatu malam mereka berkumpul di surau. Dan seperti diharapkan orang-orang gila itu sembuh.
7
WASRIPIN kehilangan lacak Satinah. Perempuan itu tidak datang juga di pasar TPI, meski sudah beberapa kali Hari Pasar orang membentuk lingkaran di
bawah pohon munggur. Ia sangat ingin menemui Satinah. Beberapa kali ia ke sungai pada Hari Pasar, tetapi Satinah tidak pernah muncul. Mungkin dia ke sungai pada hari lain, pikirnya. Kemudian dia ke sungai tiap hari, tidak ketemu. Dia meminjam sepeda tiap hariuntuk berkeliling, tidak ketemu.
Dia bertanya kesana-kemari tentang rumah Satinah, tidak seorang pun tahu. Dia menyalahkan diri sendiri karena tidak menanyakan alamatnya.
Wasripin semakin sibuk menolong orang. Anak-anak yang panas, ibu batuk tak sembuh-sembuh, laki-laki yang selalu semutan kakinya, orang yang rumahnya angker, laki-laki yang kakinya membengkak, laki-laki yang tidak thok-cer, suami-isteri yang belum dikaruniai anak, rumah yang banyak penunggunya. Kadang-kadang diajaknya pasien ke TPI. Mereka membawa makanan, kalengan, baju, sarong untuk Wasripin. Seluruh desa mengenalnya. Dia juga menjadi konsultan. Pengantin yang tak kunjung akur, anak yang bodoh sekolahnya, orang yang akan mendirikan rumah, orang yang membeli tanah, perjodohan, peruntungan pekerjaan, orangtua yang kehilangan anak. Musim tanam tidak ditanyakan ke PLP (Penyuluh Lapangan Pertanian) tapi ke Wasripin. Kerbau hilang tidak lapor ke polisi tapi ke Wasripin. Hampir-hampir tak ada waktu untuk diri sendiri. Surau, TPI, dan menolong.
Dia sedang mengepel surau ketika didengarnya lewat pengeras suara Satinah sedang bernyanyi. Dilihatnya orang membuat lingkaran di bawah pohon munggur. Seorang perempuan dengan rok panjang merah berada di tengah kerumunan itu. “Lho, itu Satinah,” dia berhenti mengepel dan berlari. Berjongkok dalam lingkaran. “Lho, kok pakai rok! Lho, rambutnya kok sebahu!” pikir Wasripin.
Ayo kawan kita bersama
Menanam jagung di kebun kita
Mana cangkulmu, mana pangkurmu
Kita bekerja, tak jemu-jemu
Cangkul, cangkul yang dalam
Tanahnya longgar jagung kutanam
“Yang dalam!”
“Enak, ta!”
“Biar nikmat!”
“Huss. Jangan saru, ta!”
Kata Satinah, “Kebunnya sendiri-sendiri, lho! Jangan kebun orang lain! Nanti dimarahi yang punya!”
“Kebun siapa, hayo!”
“Lagi!”
(Mereka bernyanyi lagi sambil bertepuk).
“Suwara Suling, yu!”
Kata Satinah, “Suwara Suling, dados!”
Suwara suling, kumandhang swarane
Thulat-thulit, kepenak unine
Unine mung nrenyuhake
Bareng lan kentrung
Ketipung suling, sigrak kendhangane
(Suara suling, nyaring suaranya
Tulat-tulit, enak didengar bunyinya
Bunyinya hanya membuat hati trenyuh
Bersama dengan kentrung
Ketipung suling, segar kendangnya)
“Ih-hu!”
(Satinah melihat Wasripin di tengah lingkaran).
Suwe ora jamu, jamu ora suwe
Suwe ora ketemu, temu pisan ora suwe
Suwe ora jamu, jamu ana kali
Suwe ora ketemu, kirane wis lali
“Ih-hu!”
Suwe ora jamu, jamu delima merah
Suwe ora ketemu, temu pisan rok merah
Seorang laki-laki meloncat ke tengah. Orang itu sempoyongan. Dari mulutnya keluar bau alkohol. Beberapa laki-laki melangkah ke depan, mereka ingin melindungi Satinah. Tapi Satinah mencegah mereka dengan isyarat tangan. Dengan gaya Dursosono laki-laki itu bilang, “Ayo, wong ayu Jeng Sri eh Srikandi. Melua aku. Tak muktekke ana Ngastino!” (Ikut aku. Aku muliakan di Astina). Satinah yang pura-pura jadi Srikandi bilang, “Nanti dulu, to Kakangmas. Mbokya minum teh poci dulu!” Sementara itu lelaki yang mabuk menari-nari, dan terjatuh. Beberapa orang menggotongnya ke luar arena.
“Terus!”
“Terus!”
Nyang kali ngiseni kendi, jebul kendine katut
Nyang kali arep nyuci, jebul malah kepencut
(Ke sungai mengisi kendi, ternyata kendinya hanyut
Ke sungai mencuci, ternyata jatuh cinta)
Rujak tela
Rujake wong atine gela
Ya wae Mas, lhe wong disepelekke. Aku anak uwong, lho!
(Rujak ketela
Rujaknya orang berhati menyesal
Ya saja Mas, saya diremehkan. Saya anak orang, lho!)
“Ih-hu!”
(Satinah melirik Wasripin. Wasripin keluar lingkaran. Ia menuju kamarnya).
Jenang sela wader kalen sesonderan
Apuranta yen wonten lepat kawula
8
SATINAH keluar lingkaran, lari-lari kecil mengikuti Wasripin. Tidak mengedarkan besek seperti biasanya. Orang banyak melihat tingkah Satinah dengan heran. Lingkaran itu bubar. Pamannya memanggil-manggil, “Satinah!
Satinah!”, lalu dibenahinya radio yang juga pengeras suara. Ia mengartikan itu sebagai tanda kematiannya sudah dekat.
Satinah berlari sampai ke sisi surau. Pintu Wasripin terbuka. Di dalam ada dua orang ibu dengan bayinya dan seorang laki-laki yang sedang pringisan karena plunggungnya dipijat Wasripin. Satinah berhenti di depan pintu. Wasripin keluar. Mereka berdua berbisik.
“Kok pergi, tersinggung ya?”
“Apa hak saya untuk tersinggung?”
“Ah, jujur saja!”
“Masak berkata begitu di muka orang banyak.”
“Ge-er. [Gedhe rumangsa, besar kepala]. Mereka pasti tidak tahu.”
“Tahu saja!”
“Ya sudah. Kalau begitu saya salah minta maaf yang banyaaak.”
“Mudah saja! Berbuat salah, minta maaf.”
Muka Satinah merah, dia mulai meneteskan air mata. Wasripin bingung harus berbuat apa.
“Gembeng!” (Mudah menangis).
“Ya ben! [Biar!] Gembeng tidak mbayar, kok susah.”
“Mosok, pakai rok.”
“Ya ben! Roknya sendiri, kok tidak boleh.”
“Rambut sebahu!”
“Ya ben!”
“Jelek!”
“Ya ben!”
“Pakai lipstik! Kayak perempuan anu!”
“Ya ben! Ya ben! Ya ben! Memang saya perempuan anu!”
“Maaf, maaf. Bukan itu maksud saya.”
Satinah berlari pergi.
“Bukan ituuu!” Wasripin berteriak, tapi suaranya ditelan jarak. “Tunggu!” Wasripin mengikuti Satinah. Kembali, “Sebentar, ya,” katanya pada mereka yang menunggu di dalam. Mereka semua melihat tingkah Wasripin. Mereka mendapat kesan keduanya saling jatuh cinta.
Sampai pada pamannya, Paman bilang pada Satinah,
“Sudah saya bilang. Jadi orang itu yang sabar. Urusan kan bisa diselesaikan. Jangan suka marah-marah begitu.”
Paman sudah mengemasi barang-barang. Satinah segera mengambil sepeda motor. Wasripin hanya bisa melongo. Satinah menoleh. Katanya keras-keras pada Wasripin, “Sungai!”
Hari-hari Pasar berikutnya Satinah selalu pakai kain, kebaya, selendang, tidak pakai lipstik. Mereka bertemu di sungai. Wasripin jadi tahu semuanya tentang Satinah dan pamannya. Setelah mendengar kisah Satinah, ia berpikir mungkin Satinahlah jodohnya. Wasripin juga tambah yakin adanya hubungan antara emak angkatnya dengan paman Satinah. Dia berniat suatu kali akan mempertemukan keduanya.
LIMA
1
CAMAT mendemisionerkan lurah dan perangkatnya. Artinya, mereka tidak boleh membuat Perdes (Peraturan Desa), jual-beli atas nama desa, dan mengangkat pejabat baru. Mereka hanya bertugas menyukseskan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Maka, begitu bangun orang-orang desa akan melihat sebuah dokar, dua orang penumpang, sebuah bende, dan sebuah pengeras suara, “Saudara-saudara berduyun-duyunlah datang ke TPS [Tempat Pemungutan Suara]. Gunakan hak Saudara-saudara, dhung-dhung, …” Mereka menyebut tanggal dan beberapa tempat. “Tanda gambar para Cakades [Calon Kepala Desa] akan diumumkan dua minggu sebelum Pilkades, dhung-dhung.”
Camat membentuk Panitia Seleksi Cakades. Seleksi ideologis, pengetahuan administratif, dan pengetahuan lingkungan sosiokultural desa. Pengumuman calon diadakan dua minggu sebelum hari-H untuk menghindari kampanye terselubung dan obral uang (kemudian disebut money politics). Perhitungannya demikian: seminggu untuk kampanye dan seminggu minggu tenang. Namun, beberapa calon sudah mencuri start dengan keyakinan akan lulus seleksi. Mereka membentuk kader, kampanye door-to-door, mengadakan rapat diam-diam, dan menjanjikan ini-itu (termasuk memberi uang bagi pemilihnya). Dari sebelas calon yang lulus (diluluskan) seleksi ada tiga orang, yaitu Babinsa (Bintar Pembina Desa), Sekdes, dan Kaur Keamanan. Jadi banyak calon yang kecewa. (“Tiga cukup. Biar tidak bertele-tele,” kata Camat). Tanda gambar mereka juga diumumkan. Tanda gambar itu tak boleh mirip tanda gambar Pemilu. Maka, ada kipas, anglo, dan petromax. (“Kok semua menyarankan api. Ini ada apa?” kata Camat dalam rapat Muspika [Musyawarah Pimpinan Kecamatan]. “Ah, itu klenik,” bantah Kapolsek).
Kampanye pun dimulai. Meskipun tinggal di pantai, mereka masih malu-malu: tak ada pidato-pidatoan (“Pilih aku!”), rapat-rapat umum (“Pembangunan desa jadi prioritas!”), dan janji-janji terbuka (“Listrik masuk desa!”). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik, istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (Pedagang Kaki Lima) ikut sibuk. Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siang-malam. Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Pak Babinsa sepi pengunjung. Di Siskamling orang-orang rerasan, “Maklum pendatang”, “Dia tidak tahu apa-apa tentang orang pantai”, “Orang akan lebih suka selawatan daripada wayang dan ruwat”. Dalam minggu tenang pun masih ada kampanye, misalnya, wayangan dan ruwat yang disebut Pak Babinsa sebagai peristiwa budaya dan bukan peristiwa politik. Begitu ramai desa itu. Anehnya, lapangan TPI selalu saja sepi. Orang sudah telanjur mencap para nelayan sebagai Golput yang fanatik, tidak mau terlibat dalam politik desa maupun nasional. Pernah, suatu partai mengadakan rapat umum di lapangan TPI, para nelayan yang dikabarkan dhuk-dheng membubarkan rapat itu. Konon, Pak Modin menggembleng mereka dengan silat tenaga dalam.
Pak Babinsa membuat kejutan. Ia menang dalam putaran pertama di hari pertama. Keesokan harinya bertandinglah dia dengan Pak Sekdes. Untuk
penyelenggaraan Pilkades yang demokratis, disediakanlah sebuah kotak kosong. Sesudah perolehan dari semua TPS dihitung, ternyata kotak kosong yang memenangkan pemilihan. Camat memutuskan bahwa Pilkades telah gagal. Aturan mainnya ialah kemudian diadakan minggu tenang selama dua minggu. Minggu pertama untuk penerimaan Cakades baru, minggu kedua untuk seleksi dan pengumuman. Lalu ada kampanye seminggu, minggu tenang, dan di ujungnya untuk pelaksanaan Pilkades. Setelah pendaftaran, seleksi, kampanye, minggu tenang, dan pelaksanaan Pilkades, ternyata kotak kosong menang lagi. Sekali lagi akan diselenggarakan Pilkades. Kalau gagal lagi, Camat berhak mengangkat seorang care taker.
2
LIMA puluhan orang mendatangi surau setelah ‘Isya. Mereka minta agar Pak Modin mau mendaftar diri sebagai Cakades.
“Hidup, hidup Pak Modin!”
“Hidup, hidup Pak Modin!”
Keesokan harinya Pak Modin diarak ke Kecamatan untuk mendaftarkan diri. Adanya nama Pak Modin ternyata menyulitkan Muspika. Danramil ingin dia tidak lulus seleksi, sedangkan Camat dan Kapolsek ingin dia lulus. Perdebatan antara Danramil dan Camat pun terjadi.
“Suraunya sudah lampu kuning,” kata Danramil.
“Dia hanya perlu pembinaan,” kata Camat.
“Dia itu Islam budiyah, menentang Pemerintah yang sah.”
“Ah, itu pandangan kolonial.”
[Aliran Budiyah – yang secara resmi disebut rifa’iyah – didirikan oleh KH Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (1786-1876)]. Tokoh itu dibuang Belanda ke Ambon pada tahun 1859, dianggap menentang Pemerintah karena perkawinan biasa di bawah penghulu resmi dianggap tidak sah. Kabarnya, setelah Kemerdekaan dipersangkakan mereka masih menikahkan kembali pengikutnya, tidak cukup di KUA.
Karena kedudukan dua lawan satu, akhirnya Danramil mengalah. Pak Modin pun lulus seleksi, bersama dua Cakades lain. Pak Modin menolak berkampanye. Untuk pertama kalinya di desa itu, kampanye tidak diselenggarakan oleh Cakades, tapi oleh sebuah panitia. (Cara kotanya adalah tim sukses). Wasripin yang tidak berhak ikut Pilkades dijadikan penasihat.
Di rumah, di TPI, di jalan, sedang nonton Satinah menyanyi orang bertanya kepada Wasripin,
“Pilih siapa?”
“Pak Modin-lah.”
Kabar bahwa Wasripin memilih Pak Modin segera tersebar di seluruh perkampungan nelayan.
“Pemimpin kita memilih Pak Modin!”
Setelah Pilkades diselenggarakan ternyata Pak Modin meraup delapan puluh persen suara. Maka sebelum diadakan putaran selanjutnya, pesaing Pak Modin pun mengundurkan diri. Pak Modin meraih kemenangan. Tetapi, Danramil masih minta Pak Modin bersaing dengan kotak kosong, katanya untuk
menjamin Pilkades yang bersih dan demokratis. Camat setuju dengan usulan itu. Pak Modin pun memenangkan sembilan puluh lima persen, lima persen tak datang, dan kotak kosong sungguh-sungguh kosong.
Dalam rapat Muspika, Danramil menunjukkan surat dari Kodim yang ditandatangani Wadandim supaya tidak ada pelantikan Kades.
“Pemilihan cermin aspirasi rakyat,” kata Camat.
“Tidak. Intel kita berkata lain,” kata Danramil.
Camat pun menunda-nunda pelantikan Kades.
Para nelayan mendatangi kantor Camat. Kebetulan Muspika sedang rapat. Mereka tahu belaka siapa yang datang dan untuk apa. Orang-orang datang untuk menyatakan pendapat. Berbaris rapi dengan bendera Merah Putih di depan. Camat menemui mereka. Danramil dan Kapolsek ada di dalam. Seorang nelayan maju membacakan teks Kebulatan Tekad yang sudah dipersiapkan oleh seorang nelayan yang aktif di HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).
“Satu. Mendukung Pancasila dan UUD ’45.”
“Gombal!” ujar Danramil pelan-pelan.
“Dua. Mendukung Presiden Sadarto.”
“Tahi kucing!” Danramil.
“Tiga. Menyatakan Pilkades telah terlaksana secara demokratis.”
“Bohong!” Danramil.
“Empat. Mendesak Kades baru segera dilantik.”
“Intimidasi!” Danramil.
Camat berpidato, “Saudara-saudara. Kita sedang mencari tanggal yang pas. Pak Bupati sedang ke Jakarta, dipanggil Bapak Presiden untuk mendapat petunjuk!” kata Camat. Dikira kata “Presiden” akan membuat mereka tenang. Tetapi tidak, mereka gaduh.
“Ini akal-akalan apa!”
“Gombal!”
“Kades yang memilih rakyat, yang melantik juga rakyat!”
“Kita pulang. Pak Modin kita lantik!”
“Mereka pulang, merundingkan soal pelantikan Kades rakyat. Pak Modin keberatan, sebab nantinya ada pemerintahan desa kembar. Dan itu soal serius. Setelah orang-orang menjelaskan bahwa urusan Kades rakyat adalah ke masyarakat, bukan ke atas dan kedinasan, barulah Pak Modin setuju.
“Namanya jangan Kades tapi Karak, Kepala Rakyat.”
Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan selawatan mereka melantik Modin sebagai Kepala Rakyatan alias Karak. Pembawa acara mengatakan bahwa yang melantik rakyat, jadi rakyatlah yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa, rakyatlah yang akan maju.
Adapun Camat menunda-nunda pelantikan Pak Modin jadi Kades, sampai ada Kades yang definitif. Setelah tanya sana-sini tidak seorang pun di perkampungan nelayan itu jadi Pjs Kades, termasuk aparat desa yang lama. Akhirnya dia menunjuk diri sendiri sebagai care taker.
Segera Camat tahu bahwa ada Karak. Urusan itu dibawanya ke rapat Muspika. Danramil bersungut-sungut, “Rakyat? Rakyat? Lha kok rakyat?” Ia mondar-mandir, “Mungkin dia PKI malam di sana!”
“Aku tahu sekarang! Dia dulu pasti ikut Pemberontakan Tiga Daerah!” (Peristiwa Tiga Daerah di Brebes, Tegal dan Pekalongan adalah pembangkangan pada Pemerintah Pusat, dekat setelah Kemerdekaan).
“Itu tak mungkin. Dia ikut Hizbullah.”
“O, bagaimana kalian ini. Dulu dia pasti mempraktekkan KKM, Kerja di Kubu Musuh.”
“Itu istilah baru, Pak.”
“Baru atau lama sama saja. Kami akan kirim intel!”
Setelah ditunggu lama, Pak Modin tidak juga dilantik. Rakyat mogok. Siskamling sepi, tak ada pertemuan bulanan dusun. Camat tak diundang dalam semua perhelatan (sunatan, perkawinan, peluncuran perahu), tidak diminta menyambut pada kematian, tak diundang pengajian akbar, tak diminta memberi tendangan pertama pada sepak bola antardusun. Kedudukannya di masyarakat dihapus, rakyat selalu meminta Modin di tempat yang biasa diduduki Kades. Hanya PBB tak pernah dilupakan, sebab Modin menghukuminya sebagai fardhu ‘ain.
Camat gelisah. Baru sekali ini ia diboikot rakyat. Kasus pemerintahan kembar itu dibawa ke Muspika.
“Sabar saja, Pak. Membayar PBB itu sudah tanda loyalitas,” kata Kapolsek.
“Intel-intel kami sedang mencari biang keroknya. Modin itu hanya boneka,” kata Danramil.
“Ah, jangan cepat menuduh, lho Pak. Di sekolah kepolisian selalu ditekankan ‘asas praduga tak bersalah’,” kata Kapolsek.
“Apa kalau TNI asasnya ‘tembak dulu urusan belakang?”
“Ya tidak begitu, to maksudnya.”
“Sudah sudah, Bapak. Sekarang bukan waktunya berdebat.”
Camat merasakan pembicaraan mulai tegang. Karenanya ia menyetel TV. Camat minta tamu-tamunya nonton TV dengan acara Thomas Cup yang Indonesia selalu menang.
3
DANRAMIL lapor Dandim. Dandim lapor Danrem. Danrem lapor Pangdam. Pangdam menyerahkan perkara pada Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah, mengurusi soal subversi). Maka Pak Modin pun dipanggil ke Semarang. Seoran Kapten menginterogasinya. Kapten itu masih muda, sepantasnya dia jadi anaknya. Di pojok ada tukang ketik yang juga berbaju hijau. Dengan patuh ia mengetik setiap pembicaraan. Mereka ingin tahu kalau-kalau ada keluarganya yang tersangkut makar. Dengan suara keras dan kasar pemeriksa menyodorkan formulir.
“Modin, isi ini!” Pak Modin sebenarnya sakit hati. Sepantasnya ia harus dipanggil dengan Pak, Pakde, dan Paklik.
Pak Modin diminta mengisi formulir, semuanya tentang pekerjaan, organisasi sosial, kegiatan politik, dan kondisi keuangan. Ia harus mengisi tentang ia sendiri: orangtuanya, mertuanya, paman-pamannya, keponakan-keponakannya. Semua tinggal mencoretnya, tidak punya siapa-siapa. Hanya ketika harus mengisi soal anak, nampak matanya berkaca-kaca, agak ragu-ragu.
“Anakmu masuk CGMI, ya?”
Ketika dikatakan bahwa ia tidak punya anak seorang pun, pemeriksa mengejar.
“Itu yang diketahui, yang tak diketahui?”
Pak Modin meneteskan air mata, entah apa maksudnya. Tiba-tiba ada telepon untuk pemeriksa. Tidak diketahui apa isi pembicaraan telepon, tapi Kapten itu bilang,
“Telepon tadi memerintahkan, kalau ada indikasi sebaiknya Modin kami tahan.”
Kata pemeriksa sambil berdiri dan mengelus-elus sabuk kulit tempat pistolnya. Selanjutnya formulir itu berisi tentang kawan-kawannya, tiga yang paling menonjol. Ia mengingat. Ditulisnya: Sulaeman jagoan main bola, Sabiyantu paling pandai memanjat pohon, Munajat nomor satu lomba makan kerupuk pandu HW. Pemeriksa membaca, bersungut-sungut,
“Bukan ini. Kawan yang sudah jadi orang, maksudnya. Sekarang lisan saja. Kawan-kawan Modin?”
Pada waktu itu masuk seorang tentara berbintang satu. Kapten dan prajurit tukang ketik itu berdiri dan memberi hormat. Pak Modin yang ingin tahu siapa yang datang ikut berdiri dan membungkuk.
“Kita lanjutkan. Jadi kawan-kawan Modin?”
“Syarif juragan perahu, Achjar pedagang pindang, Wasripin Satpam TPI.”
Pati berbintang satu kembali. Katanya sambil menunjuk Pak Modin.
“Lho, ini kan Pak Modin?”
“Ya, kenapa?”
“Saya masih terkesan ceramah Bapak di AMN Magelang akhir tahun 1960-an itu. Coba, Kapten ke kamar saya.”
Ia kembali ke kamar, diikuti Kapten.
“Tahu, siapa dia?”
“Siap, Jenderal. Tidak!”
“Waktu Kles II dia memimpin serangan ke pabrik gula di Cirebon, mengepungnya semalam, membendung sungai sampai airnya menggenangi pabrik, dan Belanda angkat kaki. Urus, jangan sampai dia menderita.”
“Siap, Jenderal!”
Dia mampir ke Keuangan, dan kembali pada Pak Modin.
Sikapnya yang garang hilang, berubah jadi lembut.
“Begini. Pak Modin dipersilakan pulang.” Sambil memberikan sejumlah uang, “Maaf, ada kesalahan prosedur pada kami. Bapak, ini uang transportnya, ini uang akomodasinya, ini uang konsultasinya.”
Pak Modin menerima uang itu, menghitung, dan uang transport masuk sakunya.
“Yang ini tak usah saja. Kita kan hanya omong-omong barang lima menitan,” katanya sambil memberikan uang di tangannya, “Permisi!”
Ia melangkah keluar. Pati keluar dari kamarnya. Pak Modin bersalaman, juga dengan Kapten dan tukang ketik itu.
“Terima kasih atas kunjungan Bapak. Ada untungnya juga kesalahan itu. Kalau tidak begini, kita takkan bertemu. Ini kartu saya. Kalau ada apa-apa hubungi saya.”
Setelah sendirian Kapten mengumpat pelan, “Trembelane!” sambil mengepalkan tangannya.
Tiba di perbatasan desa selepas Maghrib Pak Modin terkejut. Banyak batu, pohonan, dan barang apa saja di jalan: panci bekas, periuk tanah, sarong sobek, kursi tanpa tempat duduk, pecahan piring. Ia heran. Orang banyak berkumpul di surau. Begitu mendekati surau, orang banyak mendukungnya.
“Apa yang terjadi?”
“Kalau hari ini Pak Modin tidak datang, kami akan mendatangi kantor kecamatan.”
“Apa yang di jalan itu?”
“Supaya Camat tak bisa ke sini. Sekarang akan kami bersihkan.”
“Semua harus minta maaf pada Camat. Kita salah duga, semuanya bukan karena dia.”
Keesokan harinya jalanan sudah bersih. Para nelayan pergi ke kecamatan dipimpin Pak Modin. Entah dari mana, tetapi kecamatan siap menghadapi suasana yang terburuk. Karenanya, pagi itu kantor kecamatan dijaga polisi dan tentara dari kejauhan.
Camat keluar, disambut dengan jabat tangan Pak Modin.
“Pak, kami datang untuk minta maaf.”
“Maaf apa?”
“Kami mengira Bapak yang mengatur sampai saya dipanggil ke Semarang.”
“Ya, ta?”
Semua orang bersalaman dengan Camat.
Mereka berdamai. Camat menjanjikan segera mengusulkan pada Bupati untuk melantik Pak Modin. Camat sebagai care taker Kades memberikan sambutan atas nama keluarga pada kematian, Siskamling jalan, Camat berpidato dalam pengajian akbar.
Tetapi pelantikan tidak pernah terwujud. Malah, Camat dipindahkan. Dalam acara perpisahan di kantor kalurahan dia bilang bahwa ia datang dan pergi untuk memenuhi tugas. Kepergiannya adalah sebuah tour of duty biasa.
Namun, beberapa orang perkampungan nelayan yang ikut mengantar ke tempat tugasnya yang baru mengatakan bahwa tempatnya yang sekarang terletak di daerah bukit yang tandus, sulit air, dan tak ada tanaman hijau di waktu kemarau.
Camat baru jadi care taker juga di desa nelayan itu. Dia heran, Camat sebagai sesepuh desa tidak pernah diminta menyambut di kematian, perkawinan, pengajian akbar. Banyak kegiatan desa yang tidak jalan: Siskamling, gotong-royong mengeraskan jalan, membersihkan kuburan desa.
Camat terpaksa mengeluarkan uang PBB untuk menyewa orang mengadakan ronda, mengeraskan jalan, dan membersihkan kuburan.
Aparat desa keberatan dengan pengeluaran uang pajak itu, tapi tidak digubrisnya. Ketika petugas pajak menyatakan bahwa desa itu menunggak setoran pajak tidak digubrisnya juga. Ia tenang-tenang saja, karena ia membawa misi Partai Randu. Baru ketika sebuah koran daerah mengabarkan bahwa Camat sebagai care taker Kades perkampungan nelayan menilep uang pajak ia pergi minta uang ke kantor Partai Randu untuk membayar.
4
Di kantor Partai Randu ia berdebat dengan Bendahara.
“Saya disuruh menyukseskan Pemilu yang akan datang dengan segala cara. Itulah cara saya.”
“Tapi jangan sampai masuk koran. Itu memalukan Partai. Semua orang tahu bahwa engkau fungsionaris Partai.”
“Jangan salahkan saya, salahkan koran.”
Meskipun uang keluar juga, tapi Rapim Partai Randu menyepakati untuk melayangkan surat protes. Alasannya, soal uang pajak itu adalah masalah intern pemerintah, sepatutnya koran tak turut campur. Koran pun mengambil untung. Surat protes itu dimuat secara penuh dalam rubrik “Surat Pembaca”. Dan, kemudian koran pun menggelar debat publik mengenai “fungsi pengawasan pers dan otoritas pemerintah”. Dalam debat opini memang Partai Randu tak disebut-sebut, tetapi para fungsionaris Partai tahu bahwa otoritas pemerintah yang tak pernah disebut itu adalah wewenang Kades alias Camat care taker.
Kepentingan Partai Randu akhirnya dimenangkan di perkampungan nelayan itu. Pilkades yang memilih Pak Modin dibatalkan oleh Bupati, dan akan diadakan Pilkades ulangan. Kalau Pak Modin jadi Kades, pasti partai lain yang akan menang, kalau tidak malah Golput.
Ketika diadakan pendaftaran Cakades tidak seorang pun mendaftar, maka kader-kader Partai Randu yang telah ikut penataran diharuskan mendaftar. Pilkades pun berjalan sesuai prosedur. Pak Modin tidak dipaksa mendaftar sebagai Cakades, karena para nelayan tahu bahwa dia takkan lulus atau lolos. Minggu kampanye dan minggu tenang semuanya berjalan baik. Hanya, waktu hari-H tiba, tidak seorang pun keluar rumah. Kecuali para anggota Partai Randu yang datang ke TPS. Itu pun kabarnya karena ada surat perintah untuk menyukseskan Pilkades, dengan janji kerugian tidak melaut akan mendapatkan kompensasi yang lebih besar.
Camat berang. Menyalahkan aparat yang tak aktif (“Penduduk itu seperti kerbau, kalau tak digiring ya tidak ke kandang!”), fungsionaris Partai yang tak bertanggung jawab (“Klelar-kleler kerjanya, seperti ulat!”), bendahara Partai yang pelit (“Kayak uangnya sendiri saja!”), dan penduduk yang tak berpartisipasi (“Dasar!”). dia sendiri sudah habis-habisan: tenaga, uang, dan kehormatan.
Kegagalan Pilkades itu membuatnya sangat malu. Konon, dia sesumbar akan membuat desa nelayan itu sembilan puluh persen untuk Partai Randu.
Tahu-tahu, menyelenggarakan Pilkades saja tak becus. Ia terpukul, mengambil cuti, entah berapa lama. Maka untuk beberapa waktu desa itu tidak punya Kades, tidak ada care taker, tidak ada instruksi apa-apa dari Muspika atau dari Bupati. Sekdes praktis jadi Kades. Hanya saja soal bengkok masih dikerjakan orang yang dulu, dan Sekdes tak bisa mengklaimnya. Itulah sebabnya ia selalu gedumal-gedumel, “Kerjanya Kades, gajinya Sekdes!” Urusan resmi desa pada Sekdes, urusan masyarakat pada Modin.
Oleh Bupati Sekcam (Sekretaris Kecamatan) ditunjuk sebagai care taker camat, tapi tak disebutkan apakah dia juga care taker Kades. Karenanya, jabatan Kades kosong blong. Hansip tak terurus honorariumnya dan Siskamling tidak jalan. Hanya pasar TPI yang selalu bersih, sebab pasar itu bukan urusan desa, tapi punya Dipenda (Dinas Pendapatan Daerah). Berita sekitar tidak terurusnya desa itu menyebar. Itulah sebabnyaada grayak di TPI. Kawanan penjahat yang tidak profesional itu menyumpal mulut Satpam yang berdinas. Mereka menjebol pintu, tetapi tidak menemukan apa-apa di dalam. Atas usul Wasripin, Kepala TPI menolak titipan uang retribusi pasar. Karena kesal, mereka menghajar, memukul, menendan Satpam. Tetapi, keesokan harinya Wasripin memijit-mijit Satpam. Hilanglah lebam ditubuhnya, memar di kepala, dan benjolan besar di jidat. Satpam dapat tertawa-tawa, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Namun, jabatan Kades tetap kosong.
5
ADAPUN Danramil mendengar bahwa Pak Modin mendapat perlindungan dari Pati berbintang kesal tapi tak bisa berbuat apa pun. Namun, ia tetap akan mengawasi surau itu, demi keutuhan bangsa dan negara. Ia yakin pasti ada orang di belakangnya yang mungkin lebih penting. Ia pun menengarai adanya satu orang: Wasripin, Satpam TPI, tukang pijit, dan pengusir jin. Baru-baru ini seorang pencuri yang tertangkap di desa lain mengaku bahwa pemimpinnya adalah Wasripin.
Danramil tak bisa berbuat banyak. Sebab, tiba-tiba ia jatuh sakit: perut membesar, sakit seperti ditusuk-tusuk di bagian ginjal. Ia ke dokter, kata dokter tak perlu khawatir. Dokter lain menyuruh periksa darah dan urine, dokter lainnya lagi menyuruh memeriksakan tinjanya. Ada dokter menyuruhnya USG, karena jangan-jangan ada penyakit ginjal. Untuk itu dia harus ke Semarang. Tidak juga ketemu penyakitnya.
Kemudian dia pergi pada terkun (dokter merangkap dukun), barulah terkun menemukan penyakitnya: dia kena santet. Mungkin jabatan, mungkin perempuan. Terkun mengobatinya, tak kunjung sembuh. Sadar kena santet dia pergi ke orang pintar. Orang pintar satu gagal, ia pergi ke orang pintar lain. Tak kunjung sembuh, kata orang-orang pintar itu, ilmu miliknya kalah tinggi dengan pembuat santet. Dalam keputusasaan ada orang menyarankan upaya berobat ke Wasripin.
“Sampai mati pun aku takkan ke sana!”
“Istighfar, Pak. Istighfar.”
“Tentara tidak boleh mencla-mencle!”
“Tapi Bapak juga seorang suami bagi isterinya, seorang bapak bagi anak-anaknya.”
Setelah isteri dan anak-anaknya membujuk, ia mau juga pergi. Ia diantar isteri, seorang pembantu, dipapah seorang sopir. Ia datang menemui Wasripin, orang yang sebenarnya masuk dalam daftar hitamnya. Ia juga membawa seliter Aqua, seperti pasien lain. Orang sudah mendengar bahwa Danramil sakit, sehingga kedatangannya tak mencurigakan, meskipun dia terkenal galak kepada para nelayan. Ketika Danramil datang ada seorang pasien sedang menunggu, dan lainnya sedang dipijit. “Sebentar, ya Pak,” kata Wasripin yang tahu persis siapa yang datang. “Bapak duluan saja. Toh saya tidak begitu sakit.”
Wasripin memijit-mijit bagian perut, dan memberikan kembali botol Aqua yang sudah dibuka dan diberi doa. Kemudian juga mengajarkan doa Nabi Ibrahim untuk dibaca sesering mungkin, Wa idzaa maridhtu, fahuwa yasyfiin (Dan ketika aku sakit, Dia menyembuhkanku). Kemudian Wasripin membisikkan sesuatu ke telinganya,
“Tapi, yaitu Pak. Jangan diteruskan hubungan itu.”
“Ya, ya.”
Tidak usah diceritakan bahwa Danramil sembuh, setelah berobat ke Wasripin sekali saja. Tapi akibatnya Danramil sangat malu dengan diri sendiri. Ternyata Wasripin sangat jauh dari gambarannya. Semula gambarannya mengenai Wasripin ialah garang, tinggi hati, dan mata duitan. Ternyata, dia ramah, rendah hati mendekati rendah diri, ikhlas, dan menyiratkan wajah yang bersih. Ia malu dengan diri sendiri, mengajukan surat pindah.
0 Comments:
Post a Comment