Edensor Baca Online Part 1


Baca Novel Edensor

MOZAIK 1: Laki-Laki Zenit Dan Nadir

Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong ini pendapat Einstein maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh. 
Kini lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar pada khalayak yang silang sengketa.
"Tahu apa kalian soal hukum agama!”
"Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus di neraka berdaki-daki!"
***
Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh. Tapi di sekolah lama Mollen Bass Technisce School di Tanjong Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram. Weh seorang pemuda yang gagah. Ia bergaya, berdiri condong menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti. Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya. Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama, lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki zenit dan nadir ...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi. Mengapa Weh kesakitan?
Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat di kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelaki-lakiannya, bengkak seperti balon sampai jalannya pengkor. Jampi dan ramuan tak mempan. Ia atau sanak leluhurnya pernah melangkahi Cjur'an, kualat, tuduh orang kampung tanpa perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda penuh harapan itu tumbang. Ia keluar dari Technisce School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya. Weh menjadi nelayan, tinggal di perahu.
***
Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara aku disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya. Semula aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar dari lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu manusia.
"Lemparkan!" hardiknya melihat benda-benda di tanganku.
Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi. Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang, aku bergeming.
"Keras kepala! Mirip sekali ibumu!"
Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan. Sampai aku pulang kami tak berkata-kata.
Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia kembali menibar pokok terunjam. Ia hilir mudik di depanku lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah lekak-lekuknya.
Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya yang dikhianati nasib pada senyap sungai payau, aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk Weh.
"Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia. Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang." Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan tak menyentuhnya selama seminggu.
Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu Weh kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelan-pelan. Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku. Tak pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Programa RPM Malaysia mengalunkan "Kasih Tak Sampai", kemerosok, timbul tenggelam. Aku menggenggam kuat-kuat bungkusan beras di tanganku, hatiku mengembang.
***
Berminggu-minggu berikutnya aku bersusah payah membujuk ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh.
"Tak ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan menaikkan layar. Kautahu, Bujangku? Weh menyelami teripang, empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan tabung udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani ke Pulau Lanun. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya."
Ayah memilih kata dengan teliti. Ia tak ingin aku terinspirasi keberanian Weh yang gelap. Namun, semakin keras Ayah melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah, semalam suntuk tak dapat kupejamkan mataku.
Akhir pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara. Weh mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan melintasi lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu, Laut Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak dalam pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpah-limpah. Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa denting senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku yang mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah akan bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas dalam intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah tujuh di atas neraka yang berkobar-kobar.
Terlepas dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum melihatku yang pucat karena telah memuntahkan seluruh isi lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan Kalimantan di wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh menyalakan obor, merapal sebaris mantra, aku merinding melihat gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi dan cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku meraupnya. Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung kehebatan Weh.
Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu ikan hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar, memotong jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu Belonna yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano yang hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata jauh lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka adalah gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka mengempaskan dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar mengokang tuas harpun dan membidik seekor hiu yang lebih panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling yang ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu. Simpul tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar ke udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru. Weh terjun menyelamatkanku. Ia meraih tali tempuling, aku menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini adalah perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diriku. Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh mencabut sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan tangkas, meski tertahan tekanan air. Ia menampas tali tempuling. Aku terlonjak ke permukaan, kehabisan napas. "Keras kepala!
"Keras kepala, seperti ibumu!”
"Kau bisa tewas tak berguna!"
Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat wajahku, tak kusembunyikan siapa diriku.
Perburuan itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan kesimpulan bahwa aku pantas diajak Weh mengelana samudra. Ada gunanya tak kulepaskan hiu gergaji itu. Kami beranjak pulang.
Di tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku.
"Ikal, malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya.
Aku terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan penjuru angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan membawa perahu kecil ini pulang?
"Kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki, Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin."
Aku mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat keputusan apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat berkuasa karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah.
Sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh, nun di sana, empat kerlip bintang trapesium perlahan menjelma di horizon.
"Rasi belantik ....”
"Itulah timur”
Aku kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang barat daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang malam aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan seakan meniti langit karena bumi berputar. Columbus telah lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh bumi ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang tepat di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur laut. Weh berkisah.
"Tahukah engkau, Ikal ...?
"Langit adalah kitab yang terbentang Perahu menyusur gugusan pulau.
"Sejak masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul, langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi ...."
Dedaunan trembesi yang merunduk memagari tepian delta, pukat yang centang-perenang, tonggak-tonggak tambak yang diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk anak-anak buaya muara, tepekur menyimaknya.
"Semburat awan-awan tipis itu "
Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung-apung seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung gemawan berkilau membias cahaya rembulan.
"Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini menyapu Selat Gaspar ...." Dramatis.
"Awan-awan sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar lagi telur-telur ikan belanak akan menetas Aku terpesona.
"Angin ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan?" Weh bersidekap, kedinginan.
"Ini bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur!
"Artinya, kemarau akan panjang tahun ini." Weh bangkit.
"Tampakkah olehmu lingkaran itu?"
Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran itu karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran benda langit. Ia menarik sebatang kayu bakar dan melukis langit. Bara kayu bakar melingkar merah. Aku mengikuti lukisannya. Perlahan, seperti menyimak gambar tiga dimensi, sebentuk lingkaran merekah. Ia membagi lingkaran menjadi dua belas iris. Ajaib! Di setiap puncak jejarinya tampak bintang yang lebih gemerlap dari sekitarnya. Dipatrinya simbol-simbol aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulang-ulang, sehingga dapat kugambar dalam kepalaku.

Pada setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan, perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas, bintang kastor, musim menyemai benih.
Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu. Aku mengerti, itulah konstelasi zodiak!
Pada iris kesepuluh ia berpaling padaku. "Anak Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api Mars dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...."
Napasku tercekat.
"Engkau, laki-laki zenit dan nadir 
Aku terkesiap. Malam itu, ingin kujadikan malam puisi-puisi Lucre-tius tentang jagat angkasa, galaksi androme-da, dan nebula-nebula triangulum. Tak 'kan ku- kejar Weh dengan pertanyaan-pertanyaan praktis untuk menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap. Malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca langit yang adiluhung.
Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari, tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut. Apakah pulau itu tujuanku?
Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu, predator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku, Belitong. Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral Hook. Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah guru yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki.
***
Berat sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi kertas ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana kami berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya melukis tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami akan memburu gurita.
Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah, aku langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu Weh limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya terseret lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung. Di ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat. Hatiku dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju perahu. Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayun-ayun. Laki-laki pembaca langit itu telah mati, mati meragan menggantung dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang tak tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya, benteng terakhir itu adalah aku.
Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami yang menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya yang tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya masih mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa radio RPM Malaysia. Aku berteriak-teriak, tapi suaraku surut diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak ombak, lindap ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan.
Usungan digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti hidup mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri itu pun dipisahkan, dikucilkan nun di sana, dekat rawa-rawa nifah, tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak. Aku diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang didesaki ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang hidup, membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur cobaan berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat di hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku lemas melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk sekenanya, ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu menggali liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja.
Pesan terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang yang menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu yang menyiksa, untuk memahami kalimah misterius itu. Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri.
***

MOZAIK 2: Persyarekatan Bangsa-Bangsa

Einstein kedua dalam hidupku yang mengenalkanku pada diriku sendiri adalah tokoh legendaris ini: Mak Birah, dukun beranak kampung kami. "Waktu kau lahir, Ikal .... "Nyalo."
Nyah, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya angin, gemuruh hujan, dan gempita petir.
"Tengah malam pula”
Mengapa alam bergelora menyambutku? Tak jelas, yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan. Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki: ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau. Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu, yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam dengan menerapkan manajemen mandor kawat.
Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan Bujang! pada persalinan kedua. Ia bersalin lagi, Mak Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan keempat. Ia pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak dayang!
"Persalinan kelima cerita Mak Birah.
"Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."
Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya. Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu-tunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu. Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini setiap aku mengantar tembakau untuknya.
"Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya ....
"Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."
Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya.
"Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat jam weker.
"Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!"
Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.
"Tak ada yang paham apa mau ibumu!"
Cerita makin seru.
"Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah! Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan! Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibi-bibimu tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan sudah gawat, kami cemas bukan buatan!
"Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus jam weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!1
"Ibumu tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya angin saja gertakku!
"Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti kawat! Aku marah besar!"
Aku tegang menyimak.
"Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan bayimu! Sekarang!'
"Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!
"Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah kesabaranku!
'"Apa kau mau mati, Nyi!?' "Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali." Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh cerita ini.
"Sambil terengah ibumu membentakku; 'Kau tengok baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di radio?! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"
Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir, sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah bersorak.
"Nomor lima! Bujang!"
***

MOZAIK 3: Juru Pendamai

Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku mena-mainya Agil Barrag Badruddin.
"Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan, bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu.
Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din. Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya.
Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya, asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres, pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba itu dianut taat oleh ayahku.
Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku si nomor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok bersalin menyembunyikan naskah khatib sehingga ia gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas umat.
Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri, membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocar-kacir.
"Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim, penggawa yang kondang garangnya.
Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku. "Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru pendamai itu!? Bikin malu!"
Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri. Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia semprotkan memantul lagi kepadanya. Ia sadar aku menuruni watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal dari setiap inci dirinya. "Terserah Yah Ni
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.
***

MOZAIK 4: Pengembara Samia

Kejadian meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama Aqil Barraq Badruddin terlalu berat untukku. Ayah memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama baru, Ayah rajin berunding dengan juru tulis kantor desa, perawat puskesmas, polisi pamong praja, pelayan restoran, penjaga pintu air, atau siapa saja yang berseragam. Bagi Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang kebanyakan. Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak-geriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat kelapa. Di kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan mereka berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita.
"Telah kutemukan nama baru untuk si Ikal itu,
Bu!"
"Kabar gembira!" jawab Ibu.
"Dengan nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal."
Waktu itu aku dan adikku tengah dihukum mencuci piring karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.
"Tak tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat kelapa, nama ini dapat membuat orang menjadi bijak."
Aku ngomel dalam hati, bagaimana kalau aku tak sudi dengan nama baru itu ?
Ayah: Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa besar!
Aku: Hmm ... bagus sekali ya, tak seorang pun minta pendapatku, padahal akulah yang akan memikul nama itu seumur hidup!
Adikku, yang gembrot dan lugunya minta ampun itu, tak peduli. Ia meniup-niup gelembung sabun. Bruuuphhh ... brupphh.
"Apakah gerangan nama yang hebat itu, Yah?"
Ayahku bangkit, berkumandang.
"Waaa ... dudhl! Wadudh! Itulah namanya! Kata Mahader, nama itu gelar untuk menghormati orang yang paling tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!"
Ibu: Subhanallah\ Mahasuci Allah! Hebat nian nama itu!
Aku: Wadudh? Pastilah pengembara berkafiyeh yang suka minum susu kambing itu! Adikku: Bruuuphhh ... brupphh.
***
Sayang seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari itu menjelma menjadi garong. Tak lama setelah nama agung itu dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan santri untuk menjarah tambul, penganan yang disumbangkan umat ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu santri-santri itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku blingsatan mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide yang sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang cadel melolong-lolong seantero kampung. Aku dan Ayah kena sidang.
"Wadudh sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke masjid ini!" Haji Satar emosi.
Para penggawa yang mengelilingi kami mengangguk-angguk.
"Oh, gawat
Wajah Ayah biru menahan malu. Ia menatapku. Tatapan yang tak pernah kukenal sebelumnya. Naluriku berbisik, Ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk mengganjarku. Aku mengerut ketakutan.
"Onar! Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris. Kopiahnya pernah kulumuri minyak rem.
Ayah makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari ayahku, bahkan ia tak pernah menaikkan suaranya kepadaku, tak pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian "Indonesia Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis menuntut Ayah bertindak tegas. Dalam mata Ayah, jelas kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah. Ia bak Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya. Aku miris membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau Penyengat, menyeberangi Selat Melaka, tak pulang bertahun-tahun. Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu.
"Beri hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!" hardik Taikong Hamim.
Berat sekali cobaan Ayah.
"Bagaimana keputusanmu, Pak Cik?! Apa tindakanmu agar tabiat buruk Wadudh tak terulang lagi?!" Taikong tak sabar, nadanya mengancam. Suasana hening. "Bagaimana, Pak Cik?" Ayah berulang kali menarik napas panjang. "Baiklah, Taikong
Suara Ayah terbata-bata karena ia akan menyesali keputusan kejamnya padaku. Tapi ia tak punya pilihan lain. Aku terkulai di lengannya. Majelis waswas menunggu keputusan keras Ayah ....
"Akan kuganti lagi namanya
***

MOZAIK 5: Partner In Crime

Ratusan ribu kalong menyerbu pesisir. Perutnya buncit karena puas menjarah putik kemang di -pulau-pulau kecil tak bertuan. Kepaknya sombong tak peduli. Hewan berparas mengerikan serupa tikus terkutuk itu mendekor langit dengan bercak-bercak hitam, hanyut di angkasa dilatari deburan troposfer. Belitong menjelang malam, adalah semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan, tak dibuat-buat, dan memikat. Azan magrib mengalir ke dalam rumah-rumah panggung orang Melayu, umat berduyun-duyun menuju masjid, menuju kemenangan.
Masjid, seperti oase bagi semua anak Melayu udik. Di sana, bukan sekadar tempat salat dan mengaji, tapi tempat bermain dan membuat janji-janji. Masjid nan indah, tasbihnya berupa-rupa, kaligrafinya memesona, dan pilar-pilar tingginya memantul-mantulkan suara. Di atas lantai pualam terbentang sajadah panjang dari Turki, semerbak harum setanggi, kitab-kitab tua sejarah nabi, dan lebih dari semuanya, para jemaah putri! Belum lagi satu kegembiraan yang aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau Ramadan tiba. Mungkin jika Ramadan, orang Islam mendadak menjadi dermawan, berebutan mengantar tambul ke masjid.
Semuanya semakin indah karena keluarga kami memungut Arai, sepupu jauhku, yang mendadak menjadi sebatang kara dalam usia delapan tahun. Maka, aku memanggilnya Lone Ranger. Ia memanggilku Tonto dan kami segera menjadi partner in crime.
Ayah kembali pusing memikirkan namaku. Wajahnya redup. Diusap-usapnya kopiah resaman-nya. Ia kehabisan cara mengatasiku dan kehabisan nama untukku.
"Baiklah Bujang, sekarang pilihlah sendiri nama untukmu
Saat itu aku tengah membolak-balik halaman majalah Aktuil. Di salah satu pojoknya aku membaca berita usang tentang polisi Italia yang dibuat repot seorang wanita sinting karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan diri jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama wanita itu Andrea Galliano.
"Ayahanda, bagaimana kalau Andrea?"
Telinga Ibu berdiri.
"Ain! Nama macam apa itu? Itu bukan nama orang Islam!"
Ayah berpendirian lain. Mungkin karena ia sudah mati akal.
"Kalau begitu maumu Bujang, apa tadi? Andrea ah, bagus juga kedengarannya, tak ada salahnya dicoba ...." Ibu tak terima. "Yah Ni, tak ada nama orang Melayu seperti itu. Itu nama orang Barat. Mereka tak peduli soal nama dan itu nama anak perempuan." Ayah menangkis.
"Bukankah selalu kauidamkan anak perempuan,
Bu?"
Ibu berbalik meninggalkan kami, marah, tapi aneh, ia tersenyum. Mulai malam itu aku punya nama baru. Di peraduan kukenang kembali nama-namaku. Aku menarik kesimpulan, ternyata tabiat orang tak berhubungan dengan gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri. Kebenaran sederhana ini membuat hatiku ngilu.
***

MOZAIK 6: Rahasia Gravitasi

Ketika pertama kali melihatnya, melihat paras kukunya, lebih tepatnya, aku merasa seperti dipeluk arus Sungai Lenggang, berenang bersama lumba-lumba, dijemput jutaan kunang-kunang, lalu diterbangkan menuju bintang. Ia tersenyum, aku tak dapat bernapas.
"Namaku A Ling katanya menyalamiku, menggenggam hatiku. Ingin kusampaikan satu nama terbaik dari deretan nama agung pemberian ayahku, tapi tak satu pun kuingat. Di depan gadis kecil Hokian itu, aku lupa semua namaku. Perasaan indah memancar sampai ke ujung-ujung simpul pembuluh darahku.
Minggu depan kami akan bertemu. Berkali-kali aku berkaca. Rupanya aku telah berkumis! Maka tak ada alasan takut untuk minta izin kepada bapaknya. Kami akan naik komidi putar! Sabtu sore, dengan enam helai kumis terhunus, kudatangi toko kelontong Sinar Harapan milik bapaknya, A Miauw.
Laki-laki gendut itu sedang menjentikkan biji-biji sempoa. Melihatku, jentikannya makin keras.
"Ba ... Ba ... Baba
"Apa Ba, Ba? Mau apa!?"
Sebenarnya dia tahu aku ingin mengajak putrinya.
"Ba, hmm ... hmm ... mmm "Apa! Mau apa!?" "Begini Ba ... hmm "Apa begini, begini?!"
Tiba-tiba A Ling muncul dari balik tirai. Ia menarik tanganku, kami kabur. "A Ling!
"Oi hii na boui?\\
"Chon lisak\h
"A Ling!
"A Liiiiing ...!!
"Njoo Xian Liiiiiiing ...!!!"
Teriakan bapaknya layap dan kami melayang-layang dalam komidi. Indah sekali, melebihi ledakan aurora di atas belantara Amazonia. Kuberi tahu Kawan, rahasia romansa komidi putar adalah fisika sederhana: hukum gravitasi! Waktu komidi mencapai posisi empat puluh lima derajat dari porosnya, daya tarik bumi membuat mempelai dalam kurungan ayam tadi seperti akan terjungkal. A Ling histeris, takut campur manja, memeluk erat lenganku. Perasaanku melambung, melesat-lesat seperti mercon banting. Gadis Hokian itu menatapku ronhon.. perlindungan dan aku jatuh cinta, sungguh
Mau kemana?
Kesini!
jatuh cinta, untuk pertama kalinya
***
Rupanya, tak ada yang lebih aneh selain orang dimabuk cinta. Segalanya tiba-tiba berubah menjadi serbabaik. Kini, dalam penglihatanku, setiap benda menjadi indah, semuanya memiliki dimensi geometris yang berseni. Sekolah Muhammadiyahku yang doyong seperti gudang kopra itu ternyata bangunan kubus simetris yang efisien, bergaya etnik tropikal dengan spesifikasi multifungsi: sebagai kelas dan kadang-kadang sebagai kandang ternak. Bukankah optimal? Kalong-kalong yang rakus bukan lagi tikus yang terkena kutukan tapi hewan langka familia Palaeochiropteryx tupaiodon yang harus dilindungi, kalau perlu dengan undang-undang. Pengganggu hewan rupawan itu tak lebih dari manusia tak tahu diri. Taikong Hamim! Haji Marhaban Hamim bin Muktamar Aminnudin nama lengkapnya, sama sekali bukan guru ngaji yang kejam, bukan, sama sekali bukan, tapi ia tak lain manusia terpilih penegak syiar Islam, ulama penting penyelamat anak-anak Melayu dari rayuan iblis.
Aku mengaji dengan khusyuk. Kacamata Taikong sampai merosot, bibirnya tumpah. Ia bergegas menemui ayah ibuku.
"Tak pernah kulihat Ikal seperti ini, Pak Cik, teduh nian tabiatnya sekarang. Kalian apakan dia?"
Ayah kaget, sumringah. Ibu ternganga. "Mahasuci Allah! Bu, percayakah kau sekarang?"
Ibu masih menganga.
"Apa kataku soal nama Italia itu!"
***

0 Comments:

Post a Comment