Wasripin Dan Satinah Part 6


SEPULUH
1
PARTAI Randu ulang tahun. Partai-partai lain, Partai Kuda dan Partai Langit, meramalkan bahwa kesempatan itu akan digunakan untuk mencuri start alias kampanye terselubung. Mereka gembar-gembor lewat media massa.
Koran-koran juga bilang begitu. Tapi, Menteri Penerangan dalam sebuah wawancara di TVRI menyatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas siapa saja yang mencuri start. Mekanismenya ialah soal perijinan. Semua pihak yang akan mengumpulkan lebih dari lima puluh orang di tempat umum wajib minta ijin dengan menunjukkan jadwal acara. Atau, kalau itu berupa pertunjukan (teater, ketoprak, nyanyi, film) harus menunjukkan naskah, alur cerita, ijin sensor, atau teksnya. Pendek kata, Pemerintah tidak mau kecolongan oleh siapa pun. Untuk keperluan Partai di alun-alun kota didirikanlah sebuah panggung pertunjukan yang akan diisi rombongan artis-artis keliling dari ibu kota. Dalam rencana Bupati Kepala Daerah, Komandan Tentara, dan Kepala
Polisi akan minta menyumbangkan suara. Soal perijinan, jangan tanya mudahnya. Partai Randu tinggal menelepon Kepala Polisi. Pengamanan polisi ekstra kuat diperlukan karena Partai Randu memperkirakan yang menonton pasti banyak ekstrem kanan dan Golputnya.
Sore hari menjelang pertunjukan jalan-jalan yang diperkirakan akan dilalui ekstrem kanan dan Golput dijaga polisi tanpa uniform. Kebetulan surau TPI mengadakan Pengajian Akbar. Teratak sudah dipasang, tikar-tikar digelar, ibu-ibu nelayan sudah menyediakan makan, kue, dan kopi. Maka aparat keamanan memperkirakan semuanya akan berjalan lancar. Intelijen tentara dan polisi yakin bahwa orang-orang yang dicurigai sebagai ekstrem kanan dan Golput dari surau TPI tidak akan nonton.
Namun, seperti kata pepatah, “sepandai-pandai tupai melompat sekali akan gagal juga”. Satgas Partai Randu yang bertugas menjaga kelancaran pertunjukan menemukan selebaran-selebaran yang mendiskreditkan Partai. Misalnya, “Partai Randu Sarang Korupsi”, “Partai Randu Melindungi Maling Kakap”, “Maling Teriak Maling”, dan “Partai Randu Anti Pembangunan”. Ketika Ketua Partai melihat selebaran itu rasanya dada mau meledak. Tai dasar sedang pentas kesenian dia harus bisa menunjukkan muka cerah dan bibir tersenyum.
Pertunjukan berjalan lancar separo jalan. Separonya lagi kacau. Mula-mula panggung terasa miring, kemudian miring sekali, dan akhirnya runtuh. Tidak ada korban jiwa, meskipun ambulans cepat datang. Pertunjukan bubar begitu saja. Pagi harinya koran-koran ramai memberitakan. Panitia menuding pemborong, pemborong mengelak dengan mengatakan pasti ada sabotase. Dalam sebuah rapat, aparat keamanan (tentara dan polisi) mensinyalir perpecahan di tubuh Partai Randulah penyebab dari runtuhnya panggung. Ketua Partai menyatakan bahwa partainya solid, dan dalih perpecahan itu mengada-ada. “Bukan perpecahan, tapi perbedaan pendapat. Dalam demokrasi yang sehat, perbedaan pendapat itu biasa.” Ketua Partai sempat menyitir Nabi yang mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat.
Memang dalam kepemimpinan Partai Randu timbul dua pendapat mengenai sikap Partai terhadap ekstrem kanan dan Golput. Surat Ketua Partai Randu di perkampungan nelayan itu menjadi sebab perpecahan. Garis keras, tidak ada kompromi dengan penjegal pembangunan. Garis moderat, perlu toleransi, kekerasan menambah musuh. Menurut bisik-bisik yang sampai ke polisi, ada persaingan keras dalam kepemimpinan Partai. Namun harus ada yang disalahkan. Ketua Partai Randu berkesimpulan bahwa pertunjukan hanya mungkin dikacau ekstrem kanan dan Golput. Maka Partai Randu memprotes lambatnya penanganan kasus pertunjukan itu lewat surat kepada Bupati, sebagai Kepala Daerah dan Pembina Partai Randu.
“Sudah jelas, orang-orang ekstrem kanan dan Golput yang mengacau pertunjukan. Kami punya buktinya.” Ia menyertakan fotokopi dari selebaran-selebaran itu.
“Jangan menanggapi surat yang mengada-ada itu, Pak,” kata Kepala Polisi kepada Bupati.
“Tapi, fotokopi itu?”
“Itu rekayasa mereka yang Garis Keras.”
Setelah dua minggu tidak ada tanggapan, Ketua Partai menemui langsung Bupati.
“Bagaiman dengan surat kami?”
“O, ya. Kami sedang sibuk. Ada penduduk mau bedhol desa bertransmigrasi. Saya harus datang dan memberi pengarahan. Ada jembatan selesai dibangun. Saya harus meresmikan. Ada Jambore Nasional Pramuka. Saya harus menyertai para Gubernur, Menteri, dan Wakil Presiden. Ada ….”
Ketua Partai jengkel. Ia ingin Bupati paham betul bahwa Partai Randu adalah partai pemerintah yang sanggup menentukan siapa duduk di mana.
“Katanya Bapak ingin jadi Wakil Gubernur?”
Bupati paham betul arti ancaman itu, lalu merendah.
“Ya jangan begitu, to Pak. Ini betul-betul, kok. Coba, Pak. Apa yang tidak saya kerjakan untuk Partai? Suruh bikin edaran ke camat-camat, ke instansi yang ada, dan ke perusahaan-perusahaan sudah saya kerjakan. Sering, tanpa tedeng aling-alind di depan publik saya berkampanye untuk partai.”
“Tapi itu, Pak. Ekstrem kanan dan Golput itu, bagaimana?”
“Kepala Polisi haqul-yaqin mereka tidak hadir.”
“Selebaran-selebaran itu?”
Bupati menahan diri untuk tidak mengatakan Kepala Polisi berpendapat bahwa itu hanya rekayasa Garis Keras supaya ada tindakan keras terhadap ekstrem kanan dan Golput. Ia menggelengkan kepala, mengangkat bahu, memoncongkan bibir.
Ketua Partai mengalah, dia diam, pamit ke kamar mandi dengan niat terus pulang.
2
SEMENTARA itu ada pembakaran terhadap dua kapal pukat harimau di sebuah pelabuhan, yang sangat jauh. Kepala Polisi Kabupaten mendapat perintah dari kepolisian propinsi untuk menyelidiki para nelayan di perkampungan itu. Alasannya, pembakaran selain bermotif ekonomi juga politik.
Polisi menyebar intel. Intel-intel melaporkan bahwa pada hari pembakaran, nelayan dari perkampungan itu tidak pergi, tidak melaut. Mereka sedang pergi, seorang warga meninggal.
Kepala Polisi melaporkan hal itu secara langsung ke Semarang. Dengan halus Kepala Polisi Propinsi menyayangkan bahwa isyarat yang sederhana tak bisa ditangkap.
“Lalu maksudnya apa?”
“Pokoknya tahu sendiri.”
“Saya tidak tahu, Pak.”
“Begini, lho.”
Kepala Polisi Propinsi mendekat ke telinga. Dengan bisik-bisik dikatakannya bahwa nelayan-nelayan dari perkampungan nelayan harus ada yang ditangkap, setidaknya lima orang.
“Polisi tidak bisa berbuat tanpa bukti.”
“Ah, ini perintah atasan.”
“Ya, atasan yang ngawur!”
“Sst-sst.”
“Lalu soal bukti itu?”
“Itu bisa diatur.”
Kepala Polisi Kabupaten tetap tidak mengerti. Kepada istrinya diceritakan perihal peristiwa di Semarang.
“Kalau begini caranya saya bisa stress, Bune.”
“Sudah kubilang, kalau beban terlalu berat ya jangan diangkat.”
“Bagaimana, ya?”
“Saya jadi isteri pedagang atau petani tak apa. Pekerjaan itu asal halal. Saya dan anak-anak akan bangga dengan bapaknya.”
“Memang, saya sedang berpikir untuk kirim surat pengunduran diri.”
“Kalau kirim surat pakai bahasa yang sopan, tidak menyinggung perasaan.”
Seminggu kemudian Kepala Polisi Propinsi menerima surat tembusan tentang pengunduran diri Kepala Polisi Kabupaten. Surat itu sendiri ditujukan kepada Kepala Polisi Nasional dengan alasan ibunya minta dia menungguinya di hari tua, sebab dia anak tunggal. Akan tetapi, jawaban dari Jakarta sangat mengejutkan: Dia dipecat dari kepolisian karena pembangkangan. Tuntutan hukum akan menyusul. (Tuntutan itu tidak pernah terjadi).
Nelayan-nelayan selamat. Ketika kabar pengunduran diri Kepala Polisi Kabupaten sampai di perkampungan nelayan itu, mereka merasa kehilangan pelindung. Sebuah pertemuan veteran telah memperjelas sebab sebenarnya pengunduran diri itu. Dalam khotbah Jum’at Pak Modin memuji Kepala Polisi secara umum, “Kadang-kadang orang menjadi korban kebaikannya sendiri.”
3
TIDAK disangka-sangka kayu di teluk terbakar. Suatu malam ketika perahu-perahu nelayan sedang istirahat, dan orang-orang muda tiduran di surau mereka mendengar seseorang berteriak, “Api! Api!” Mereka bangun, membawa ember-ember air, menuju tumpukan kayu di teluk. Kayu-kayu itu tidak pernah menjadi perhatian mereka lagi. Juga perahu-perahu yang menjemput kayu itu dari sebuah kapal yang berlabuh di lepas pantai, truk-truk yang mengangkut kayu. “Api!” “Api!” Orang di seluruh perkampungan terbangun, membawa ember-ember untuk memadamkan api. Lagi ramai-ramainya bekerja dikejutkan oleh datangnya sebuah truk yang penumpangnya membawa bedil. Melalui sebuah mikrofon mereka mendengar orang berteriak, “Jangan dipadamkan!” “Biarkan! Biarkan!” Mereka terus bekerja. Tiba-tiba terdengar tembakan senjata api. “Hentikan air itu, Saudara-saudara!” Ketika satu-dua orang masih juga mengambil air laut dengan ember, terdengar letusan lagi. “Mundur!” Dengan terbengong-bengong tidak mengerti mereka hanya bisa menonton kayu bertumpuk-tumpuk terbakar. Jadilah orang-orang desa datang mengelilingi teluk, menonton pertunjukan terbakarnya kayu itu. Api berkobar-kobar. Truk dengan orang-orang bersenjata itu pergi.
Tak lama kemudian sebuah jip, sebuah truk, dan sebuah tangki dengan kabel besar, datang. Dengan penerangan api yang menjilat-jilat orang-orang desa dengan jelas melihat mereka berseragam. Mereka polisi, tentara dan pemadam kebakaran. Bersenjata bedil. “Tolong, Bapak-bapak, minggir. Api itu akan dipadamkan,” kata seorang lewat mikrofon. Orang-orang tidak bergerak. Corong mikrofon berbunyi lagi, “Tolong, Bapak-bapak.” Orang-orang menyingkir memberi tempat penyedot dan penyemprot air. Sementara itu tangki mendekati kayu-kayu yang terbakar. Air disedot, air disemprotkan. Tidak lama kemudian api padam. “Terima kasih, Bapak-bapak,” kata pengeras suara, lalu merek pergi. Teluk itu jadi gelap, dan orang-orang kembali tidur.
Keesokan harinya Kepala Dusun perkampungan nelayan mengajak nelayan yang tak melaut ke kelurahan untuk mendengarkan keterangan resmi tentang peristiwa terbakarnya kayu.
“Bapak-bapak. Kayu-kayu itu adalah kayu ilegal. Nah, kebakaran itu disengaja oleh sindikat kayu ilegal yang lain. Persaingan usaha.”
“Tanya, Pak.”
“Ya?”
“Bedil mereka dari mana?”
“Itu sedang dalam penyelidikan.”
“Kok rambut mereka pendek-pendek?”
“Itu juga sedang diselidiki.”
“Ilegal kok sudah beberapa bulan dibiarkan?”
“Itu sedang dalam penyelidikan.”
“Aparat terlibat?”
“Itu dalam penyelidikan.”
“Pemiliknya siapa, Pak?”
“Itu dalam penyelidikan.”
“Ketika TPI dibakar, yang mengganti kok Ketua Partai Randu?”
Secara bersama-sama orang menyahut, “Itu dalam penyelidikan.” Berkali-kali. Ruang pertemuan gaduh. “Ini penerangan atau penggelapan?” “Gombal!” “Pembodohan!” Juru penerang dan perangkat desa diam-diam menyelinap keluar, meninggalkan kantor.
Ada kejadian yang sama di tempat lain. Kayu-kayu dibakar, rakyat berusaha memadamkan, orang-orang bersenjata datang, melarang api dipadamkan, orang-orang bersenjata pergi, polisi datang dengan mobil pemadam kebakaran. Ketika berita itu sampai di perkampungan nelayan, mereka sudah tak peduli lagi. “Itu bukan urusan kami,” kata mereka.
4
MEREKA bisa tak peduli dengan urusan kebakaran kayu, tetapi mereka tidak bisa tak peduli ini. Para nelayan yang melaut dicegat di tengah laut oleh sebuah kapal motor kecil. Sebuah megafon mengatakan.
“Tunjukkan KTP!”
Perahu-perahu nelayan oleng oleh ombak kapal motor itu. Kapal merapat. Seorang awak kapal meloncat ke perahu. Orang-orang di kapal tidak
berseragam. Ketika para nelayan tak bergerak, tapi hanya terheran-heran atas kejadian yang belum pernah mereka alami, bedil ditodongkan dari kapal.
“Ayo cepat! KTP atau pecah kepala kalian!”
Mereka yang kebetulan membawa KTP segera menunjukkan. KTP-KTP diperiksa. Mereka yang tidak membawa KTP diharuskan naik kapal motor untuk interogasi. Wasripin yang melaut bersama para nelayan ikut naik. Mereka dikembalikan setelah jelas bahwa mereka benar-benar dari kampung nelayan. Kecuali Wasripin yang tidak ber-KTP, bukan penduduk perkampungan nelayan, dan mengaku sebagai Satpam TPI.
Mereka yang kembali ke perahu melapor kawan-kawannya, “Wasripin dibawa!”
“Mereka bukan polisi!”
“Di sana ada orang yang datang dengan truk malam itu!”
“Entah, siapa yang mereka cari.”
Seorang mengatakan, “Kata mereka, mereka sedang mencari kaki-tangan setan gundul.”
Tidak lama kemudian datang kapal-motor yang jauh lebih besar. Orang-orang berseragam. Mereka juga menghentikan perahu-perahu. Sama seperti orang-orang tak berseragam, dengan megafon mereka menyuruh orang-orang di perahu menunjukkan KTP.
“Maaf, Bapak-bapak. Kami sedang patroli. Tolong, tunjukkan KTP.”
Seorang turun dengan tangga tali besar. Mereka yang punya KTP memperlihatkan, mereka yang tak punya siap untuk naik kapal, dan diinterogasi. “Semua orang perkampungan itu?”
“Ya, Pak.”
“Selamat bekerja!”
Kapal motor menjauh. Meninggalkan para nelayan yang berteriak-teriak, “Tolong Wasripin! Tolong Wasripin!”
Sampai di darat TPI memutuskan untuk menghadap Kepala Polisi Kabupaten, melaporkan tentang Wasripin, dan menyampaikan pernyataan sikap keberatan atas gangguan terhadap ketenangan kerja.
“Maaf, Bapak-bapak. Urusan kami adalah ketertiban di darat. Tapi soal nasib kawan dan pernyataan sikap itu akan kami sampaikan.”
Polisi laut betul-betul berhenti menangkap perahu nelayan. Mungkin atas usulan para nelayan, mungkin atas perintah atasan.
Kabar tentang hilangnya Wasripin segera menyebar di perkampungan nelayan. Juga orang-orang pasar. Pada Hari Pasar Satinah yang mendengar nasib Wasripin mengurungkan niatnya untuk menyanyi. Bergegas pulang.
Sampai di rumah segera ia menangis di kamarnya.
Pamannya menghibur, “Saya sudah menanyakan pada Yang Di Atas, Wasripin tidak apa-apa.”
“Ah, Pak Lik ini kok menghibur melulu. Jelas dia dibawa geng!”
“Habis, kita mau apa?”
“Ya, usaha!”
“Kita orang kecil hanya bisa berdoa.”
5
WASRIPIN ada di atas kapal motor.
“Tidak punya KTP?”
“Tertinggal di Jakarta.”
“Sudah lama jadi nelayan?”
“Saya bukan nelayan, tapi Satpam. Melaut hanya hobi.”
“Kamu kelompok Marta, ya?”
“Bukan, saya kelompok Pak Modin.”
“Dimana markas mereka?”
“Di surau.”
Mereka berkesimpulan bahwa mereka salah tangkap. Mereka juga tidak tahu apa yang harus dikerjakan dengan tawanan itu. Mau disakiti, tidak ada gunanya.
“Lemparkan ke laut.”
“Jangan, menambah musuh saja.”
Jadi, tidak seperti yang dicemaskan para nelayan dan Satinah, nasibnya malah sebaliknya. Sebabnya, demikian. Pimpinan geng mengerang-ngerang kesakitan. Dia, yang dianggap paling jagoan,ternyata sekujur tubuhnya terasa sakit. Mungkin sakit-sakit akibat dipukuli dalam perkelahian dengan genglain kumat lagi, mungkin jantungnya kambuh, mungkin pula tekanan darah terlalu tinggi. Ia mengumpulkan anak buahnya,
“Saya tidak tahan lagi, tolong isteri dan anak-anakku dirawat,” katanya.
Anak buahnya bingung, tak ada dokter, tak ada tukang pijit. Mau ke darat, itu wilayah geng lain.
“Boleh saya memijit?”
Orang-orang di atas kapal motor hanya bisa mengangguk. Wasripin memijit-mijit. Kepala gengtertidur mengorok, siang-siang, di atas kapal, dalam keadaan siaga penuh.
“Kau bisa memijit!”
Bergiliran mereka minta dipijit. Setiap orang akan bilang, “Kau betul-betul lihai.”
Sejak itu mereka memperlakukannya dengan baik, berbagi kotak makanan, Coca-Cola, sarden, dan kue-kue.
Mereka mendarat di suatu pantai, lalu berjalan.
“Tugasku sudah selesai?”
“Belum. Kami akan mengantarmu ke Bos.”
“Bos suka pusing-pusing.” Mereka menyebut namanya.
“Ke mana kita?”
“Ke desa. Sudah itu nasibmu terserah Bos.”
Tanpa curiga, mereka juga menyebut nama desa.
Ketika melewati kebun tebu, tiba-tiba mereka disergap.
“Dor! Dor! Angkat tangan!”
Mereka lari pontang-panting. Dari kejauhan mereka membalas menembak. Wasripin baru sekali itu mendengar suara tembakan. Ia tengkurap di tanah, badannya berkeringat dingin.
Perhatian mereka tertuju pada Wasripin.
“Angkat tangan!”
Dengan gemetaran Wasripin berdiri dan mengangkat tangan. Sementara itu orang-orang di kapal sudah lari.
Ia dibawa ke suatu tempat dengan mata tertutup, yang ternyata markas mereka. Markas mereka ialah rumah berpagar tembok tinggi.
Seseorang memukul kepalanya,
“Begitulah hukumannya jika kau bohong. Nama?”
“Pekerjaan?”
“Satpam.”
“Bohong!”
Sebuah tinju bersarang di kepalanya.
“Jadi, apa pekerjaanmu?”
“Satpam.”
Sebuah tinju lagi.
“Pekerjaan sampingan?”
“Tidak Ada.”
Sebuah tinju lagi.
“Jangan mukul lagi, Pak. Nanti Bapak menyesal.”
Orang-orang tertawa. Mereka memukul dan menendang keras-keras. Tapi di luar dugaan tangan dan kaki mereka seolah menyentuh patung perunggu. Mereka berteriak-teriak kesakitan.
“Terima kasih, Bapak-bapak.”
Wasripin keluar dari markas, sementara mereka masih mengaduh-mengaduh memegangi tangan dan kaki.
6
TEMPAT pertama yang disinggahi Wasripin ialah rumah sewa Satinah. Ketika Satinah melihatnya, ia ternganga dan menyeka matanya berkali-kali.
“Benar, kok. Ini Wasripin. Bukan setan, bukan hantu, bukan nyawanya.”
Mereka berpelukan, lalu pelan-pelan Wasripin mundur.
“Maaf, maaf,” katanya.
“Tidak apa, minta maaf segala.”
“Begitu saja terjadi, tanpa dipikir.”
“Apa perlu dipikir?”
Mereka berdiri terhenyak, mengenang pelukan itu.
“Oh, duduk. Sampai lupa mempersilakan.”
Wasripin duduk. Satinah ke dalam.
“Pak Lik, tebak siapa yang datang?”
“Siapa?”
“Wasripin, eh, Kang Wasripin. Kau benar.”
“Sudah kubilang. Orang itu tak perlu susah atau gembira. Segalanya ketentuan Yang Di Atas.”
Paman keluar menemui Wasripin, sebentar kemudian Satinah keluar dengan teh dan kaleng biskuit.
“Eh, tadi makan belum?” Wasripin menggeleng.
Tempat kedua yang disinggahi Wasripin ialah surau. Segera ia bergabung dengan jamaah Maghrib. Mereka semua senang melihat Wasripin kembali. Pak Modin mengajak semua sujud syukur, Wasripin telah selamat dari musibah. Kata Pak Modin, “Itu bukan musibah. Tapi rahmat.”
7
ORANG-orang di perkampungan nelayan sudah membaca berita bahwa sipil bersenjata (yang malam itu datang) ternyata adalah tentara sewaan. Mereka sudah dilucuti dan sedang dihadapkan Pengadilan Militer. Selain itu, juga dimuat dalam koran tentang hadiah berupa uang beserta sertifikat penghargaan yang akan diberikan langsung oleh Kapolri Propinsi kepada siapa saja yang dapat memberi informasi mengenai dua geng kayu ilegal itu. Polisi berjanji untuk menyembunyikan nama informannya. Kabarnya, banyak yang memberi informasi tapi selalu saja tidak akurat.
Maka kawan-kawannya mendorong Wasripin untuk memberi informasi. Pergilah Wasripin ke polisi. Dan, betul dia pergi ke polisi. Dua hari kemudian polisi berhasil menangkap semua anggota geng dari kedua kelompok. Kecuali, para bosnya yang sempat kabur dan masuk dalam daftar DPO (Daftar Pencarian Orang). Namun, uang tak pernah diberikan, dan upacara pemberian penghargaan tak pernah ada. Para nelayan datang ke Markas Polisi Kabupaten, tetapi mereka ditolak karena Kepala Polisi sibuk. Mereka datang lagi, gagal lagi. Mereka kembali lagi ke Markas, Kepala Polisi sibuk lagi. Mereka putus asa. Akhirnya datang ke kantor kecamatan untuk mendesak Camat menanyakan penghargaan itu. Camat pergi ke Markas Polisi. “Sebenarnya kami malu pada masyarakat kami malu pada masyarakat. Ada perintah dari atas supaya penghargaan tak diberikan. Begini saja, Pak. Katakan bahwa penghargaan diberikan nanti kalau para bos sudah tertangkap.” Camat menyampaikan persis seperti dipesan Kepala Polisi. Sehari kemudian surat-surat kabar memuat tertangkapnya dua bos kayu ilegal. Para nelayan berharap bahwa penghargaan segera turun. Tetapi tidak juga.
“Tidak ada penghargaan tak apalah,” kata Wasripin.
“Bukan untuk kamu, tetapi untuk kami.”
Mereka memutuskan untuk mendatangi lagi Markas Polisi. Kepala Polisi kepergok. Ketika mobilnya dibuka ajudan, para nelayan mendekat dan menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Bapak-bapak ini bagaimana. Wasripin saja tidak peduli kok malah kawan-kawannya yang ribut. Yang berjasa Wasripin mestinya dia yang menuntut.”
“Kami masih orang timur, Pak. Wasripin tidak akan datang minta penghargaan.”
“Jadi jelas, kan. Tidak ada persoalan. Selamat siang.”
Kepala Polisi meninggalkan mereka. Masuk dalam gedung.
Mereka kembali sangat kecewa. Mereka terus saja di Markas. Mereka berteriak-teriak.
“Pak Polisi,mana tanda jasanya?”
“Mana penghargaan?”
“Rakyat berjasa tak dihargai!”
“Penggede korupsi malah jadi pahlawan!”
“Ini demokrasi Pancasila. Yang gedhe diemuk-emuk, yang kecil dikerasi!” (Diemuk-emuk artinya dibuat enak).
Entah dari mana datangnya, tiga anjing besar dengan mulut ternganga menyerbu para nelayan yang berdiri di halaman Markas. Para nelayan berhamburan keluar gedung.
8
KETUA Partai Randu desa yang meliputi perkampungan nelayan pagi-pagi sekali menemui Wasripin. “Ini rahasia. Saya dapat bocoran informasi. Penghargaan itu tidak akan diberikan. Pusat yang melarangnya, alasannya macam-macam yang anehlah. Di antaranya, KTP tidak ada. Jadi kau penduduk gelap. Kau dituduh PKI atau DI/TII. Maka saya kira KTP itu perlu segera dibuat. Saya akan mengusahakan secepatnya. Tapi perlu beberapa keterangan. Tanggal lahir?”
“Ya, kira-kira dua puluh tiga tahunan yang lalu.”
“Bagaimana kalau tanggal lahir 2 Januari?”
“Ya, Pak.”
“Jadi tanggal lahir kita sama. Nama ibumu?”
“Tidak tahu.”
“Bagaimana kalau Amanah?”
“Setuju.”
“Jadi nama ibu kita sama. Ayah?”
“Juga tidak tahu.”
“Bagaimana kalau Mukmin?”
“Setuju.”
“Jadi nama ayah kita sama. Kita kakak-beradik.”
“Ya, kita semua bersaudara, Pak.”
Ketua Partai Randu pamit. Dari jauh dikatakannya, “Jangan lupa kita bersaudara.” Lalu dikatakannya pelan, ditiup angin. “Kemudian kita membangun sekat-sekat.”
SEBELAS
1
SIANG Hari Pasar itu Wasripin dengan sebuah kail pergi ke teluk. Sekali itu ia sempat melayangkan mata ke sekitar. Ia mengikat kailnya. “Sedang apa kau?” tanya seorang nelayan yang sedang memperbaiki jaring-jaringnya. “Memancing,” jawab Wasripin. “Gila! Tidak akan ada ikan di situ.” “Tidak dapat, ya tak apa.”
Kemudian Wasripin yang berbaju ungu duduk dalam lingkaran bersama orang-orang lain yang ingin mendengar Satinah menyanyi. Paman bermain kecapi sebagai pembuka. Satinah mulai dengan mengajak semua menyanyi. Dan bertepuk tangan. Lalu nyanyian yang lain-lain. Setelah selesai, katanya, “Saya akan menyanyikan ‘Dandanggula Tanah Merindukan Hujan’. Kalau jelek,
jangan ditertawakan. Yang penting tembang ini jujur. Nyanyian yang saya gubah sendiri ini ditujukan untuk seseorang. Mulai, ya?”
Dhuh gusti, ra udan puniki
lemah-lemah selak pada bengkah
grimis we mendah senenge
(Aduh Tuhan, hujan tidak datang
tanah-tanah sudah tidak tahan
gerimis saja betapa senang)
“Tidak mengharap banyak, gerimis saja sudah senang,kok,” kata Satinah.
Mengko neka keduwung
yen ana singa andhisiki
nyiram banyu tawa
wong selak pikun
(nanti kalau menyesal
jika ada yang mendahului
menyiram air tawar
sebab keburu pikun)
“Ya ketimbang tidak, to?”
aywa suwe-suwe to
anggonmu mikir kuwi
wong butuh tenan kakang
(jangan terlalu lama
kau memikirkan
soalnya saya membutuhkan, kakang)
“Butuh apa, nggak tahu, hayo.”
“Lagi!”
“Lagi!”
Satinah menyanyikan tembang itu lagi.
“Sekarang lagunya bernama, ‘Syair dan Pantun Bulan Merindukan Pungguk’.”
“Kebalik!”
“Memang nyatanya kebalik, kok!” kata Satinah.
Bulan pucat pasi
menanti pungguk bernyanyi
bulan menangis
matanya sembab hatinya teriris
kabutkah yang menutupi
sampai wajahnya tersembunyi
rasanya panas matahari
selalu siang tak pernah pagi
buah pace buah mengkudu
rasanya muak baunya tak enak
siapa dia berbaju ungu
lha kok selalu mengelak
kelapa muda segar minumnya
tapi pemanjat takut memetik
bulan sudah bersedia
pungguk yang takut bernyanyi
“Ayo, sebut saja!”
“Siapa pungguk, siapa bulan!”
“Jangan-jangan dia!”
“Sekarang tembangnya bernama ‘Keroncong Bunga Merindukan Kumbang’. Oke?” kata Satinah.
Lama sekali bunga bergoyang, sayang
ke kanan dan ke kiri
meliuk-liuk bertahan dari angin
tapi kumbang yang dinanti-nanti
tak kunjung datan, ooo
entah sampai kapan, sayang
bunga bisa tinggal di taman
jangan-jangan malah dipetik orang, ooo
lama sekali bunga bergoyang, sayang
ke kanan dan ke kiri
meliuk-liuk bertahan dari angin
tapi kumbang yang dinanti-nanti
tak kunjung datang, ooo
entah sampai kapan, sayang
bunga bisa tinggal di taman
jangan-jangan malah dipetik orang, ooo
“Sekarang ‘Dangdut Sungai Merindukan Air’. Kalian semua bisa berjoget.”
Ada sungai di negeri Antah-Berantah
kering-kerontang, batu lumut dan lumpur di permukaan
ooo menyedihkan sekali
air mati tidak mengalir
ataukah airnya pergi ke tempat lain
ooo menyedihkan sekali
ada sungai di negeri antah-berantah
kering-kerontang, batu lumut dan lumpur di permukaan
ooo menyedihkan sekali
tidak ada mendung tidak ada angin
tidak ada guntur tidak ada hujan
ooo menyedihkan sekali
ada sungai di negeri antah-berantah
kering-kerontang, batu lumut dan lumpur di permukaan
ooo menyedihkan sekali
jangan-jangan ada air dari tempat lain mengalir
ooo menyedihkan sekali
Wasripin tak kelihatan, sementara orang berjoget. Juga ketika mereka berhenti berjoget. Juga ketika Satinah mulai lagi.
Suwe ora jamu
jamu tolak angin
suwe ra ketemu
temu pisan karo a-i-in
“Saribin!”
“Thoyibin!”
“Gholibin!”
“Tholibin!”
“Aripin!”
“Bukan,” kata Satinah.
Suwe ora jamu
jamu masuk angin
suwe ra ketemu
temu pisan karo a-i-in
“Masuk angin!”
“Ih-u!”
Wasripin datang dengan seekor ikan di dalam tas plastik transparan. Ia berdiri-diri di tepi. Orang mendorongnya ke tengah. Ia berdiri kaku, tak tahu yang harus dikerjakan.
“Serahkan ikan itu!” kata orang banyak
Suwe ora jamu
Jamu godhong ringin
Suwe ra ketemu
Temu pisan karo a-i-in
“Wasripin! Siapa lagi.”
Mereka bertepuk dan berteriak-teriak.
“Maju!”
“Maju terus! Pantang mundur!”
Wasripin maju dan menyerahkan ikan.
“Bilang! I love you!” kata orang bayak.
“Untuk apa!” kata orang lagi.
“Lamaran!” kata Wasripin.
“Diterima nggak, kawan-kawan?” Satinah.
“Terima! Terima!”
“Ya, saya menerima,” kata Satinah.
Orang-orang bertepuk tangan.
Jenang selo wader kalen
Apuranto yen wonten lepat kawulo
Kerumunan itu bubar. Satinah dan Wasripin ke paman.
“Ada apa, Nduk. Kok rame-rame?”
“Ini. Kang Wasripin itu memancing, dapat ikan besar sekali.”
“Nanti malam kita pesta?”
“Tentu saja, Pak Lik. Kang Wasripin, ajaklah teman barang lima orang.”
2
DI perkampungan nelayan kemudian beredar berita bahwa malaikat telah menggiring seekor ikan besar ke kail Wasripin. Pengalaman Wasripin dengan memancing di teluk itu mengilhaminya untuk memanfaatkan teluk sebaik-baiknya. Ia tahu. Orang juga bisa beternak ikan dengan tambak, dan di sungai sistem karamba. Selain itu, ia akan menjadikan teluk itu sebuah “Wisata Air”. Dengan tambak: jika para lelaki harus melaut supaya dapat ikan, sedangkan para perempuan bisa mendapat ikan tanpa melaut. Kalau sedang tidak musim ikan, para nelayan tetap mendapatkannya. Dengan “Wisata Air” dapat memberi banyak pekerjaan baru. Tukang perahu, penjual ikan segar, penitipan sepeda/sepeda motor, dan banyak lagi. Cerita yang beredar bahwa malaikat telah menolongnya, memuluskan jalan ketika ia mengusulkan tambak dan “Wisata Air” pada suatu rapat koperasi. Kemudian seperti disulap akan terlihat orang sibuk membuat empang di sekitar teluk dan di pantai, serta karamba di sungai.
3
KEDATANGAN Wasripin dan kawan-kawannya malam itu memperjelas lamaran Wasripin dan berhasil menetapkan tanggal perkawinan. Paman Satinah nampak gembira ketika mendengar lamaran dan ikut merencanakan tanggal perkawinan. “Hari Senin Pon Bulan Mulud Tahun Dal!” katanya. “Hari Senin Pon Bulan Mulud itu kelahiran Kanjeng Nabi, Tahun Dal itu artinya dadi (jadi).”
Sudah ditetapkan bahwa Satinah akan datang naik andong diantar beberapa tetangga pada pukul 07.00. Wasripin sudah menunggu di surau. Pejabat KUA akan datang untuk mencatat. Pak Modin akan menjadi wali, menikahkan mereka, dan mengucapkan khotbah nikah. Malam harinya akan ada walimahan. Orang akan membangun tenda di depan surau. Wasripin mengatakan bahwa ia akan mengundang emak angkatnya yang di Jakarta. Dikatakannya pula perasaannya bahwa pasti ada hubungan antara paman dan Satinah dengan emak angkatnya.
Kebahagiaan Satinah berlipat ganda malam itu, karena pamannya begitu bersemangat. Baginya itu suatu tanda baik bahwa pamannya sudah melupakan janjinya untuk mengantarnya hanya sampai ia dilamar orang. “Jangan lupa mengatakan ketika kau menerima lamaran,” kata pamannya entah berapa kali setiap ia tahu ada laki-laki mendekat.
4
PAK Modin mengundang dua adiknya dan dua orang anak-anak tunggal adik-adiknya. Seperti diketahui, ia suka serba resmi dan serba nasehat. Bila adik-adik dan para keponakan datang pada Hari Raya, pasti doa dan nasehatnya panjang, mirip ceramah. Maka, mereka tidak terkejut ketika mereka mendapat undangan. Tidak ada yang aneh, hanya yang agak luar biasa adalah soal waktu, sepertinya tidak ada alasan.
Kata Pak Modin memulai, “Bersyukurlah banyak-banyak, karena kedua orangtua kalian jelas. Bagaimana andaikata kalian lahir ke dunia tapi tidak tahu siapa bapak dan siapa ibu, nama mereka, dan alamat mereka tidak jelas. Juga tidak ada kekayaan apa pun diwariskan. Nah, kalian kami undang kemari, pertama-tama, untuk bersama bersyukur, sebab siapa yang pandai mensyukuri nikmat, Tuhan akan menambah kenikmatan itu. Kedua, untuk memberitahukan kesepakatan kami berdua. Seperti diketahui karena kebijaksanaan Allah kami tidak mempunyai keturunan. Maka kami bermaksud untuk memberikan kekayaan kami pada keponakan-keponakan dan kepada orang di luar keluarga yang membutuhkan. Kalian masing-masing akan dapat satu hektar sawah kami, dan rumah ini akan saya berikan kepada Wasripin, yatim piatu itu yang jadi merbot surau itu. Saya akan mengurusnya ke kelurahan dan ke agraria.”
Pak Modin menemui Wasripin sesudah Isya’.
“Begini, Nak. Maksud kami, saya dan ibunya, akan minta supaya sesudah pernikahan nanti kalian berdua sudi tinggal di rumah kami seadanya. Jangan dipikirkan yang lain-lain, pokoknya semua beres. Mengapur, membuat sekat-sekat, dan dipan semua dikerjakan anak surau.”
“Wah, saya merepotkan saja. Sudah terlalu banyak yang saya minta dari Pak Modin dan teman-teman di surau. Kata emak angkat saya ini namanya karoban kebaikan.”
“Jangan bilang begitu. Tidak apa-apa. Begitulah adat kami di sini.”
“Ya, Pak. Malah saya mau bilang, kalau emak saya datang dari Jakarta, boleh numpang di rumah?”
“Itu rumahmu, Wasripin. Jadi biarlah emakmu tinggal bersama kita.”
“Terima kasih.”
Pak Modin tidak mengatakan kalau Wasripin akan jadi pemilik rumah itu, sertifikat tanah itu akan jadi hadiah perkawinan.
5
KEPALA TPI mengundang Wasripin ke kamarnya. Katanya, “Akhir bulan ini saya akan BT, kemudian pensiun.
Saya akan mengusulkan supaya engkau jadi pengganti saya.”
“Jangan, Pak. Saya akan jualan ketoprak.”
“Apa sudah dipikir?”
“Jadi pegawai bukan potongan saya. Satpam saja sering saya tinggal melaut. Kabarnya orangtua saya dulu ke Jakarta karena ingin mengembara.”
“Apa kau juga ingin mengembara?”
“Bukan begitu, Pak. Ini soal bisnis. Saya akan jualan ketoprak di sini, sementara itu orang-orang lain saya ajari dan membuka warung ketoprak di tempat-tempat lain.”
“Ya, sudah. Saya sendiri akan membuka bengkel sepeda motor.”
6
KETUA Partai Randu menemui Wasripin. Katanya, “Wah, Dik.” (Ia sudah memanggil “dik” Wasripin). “Celaka. Bagian intelijen partai (disebut Departemen Khusus) mendapat kabar bahwa para dukun santet akan balas dendam. Dan orang yang dituju mereka sebut dukun dari perkampungan nelayan. Saya juga heran kok kita yang jadi sasaran, padahal pengadilan saja sudah menyatakan tak terlibat. Ada saja orang yang cari gara-gara ketika semua sudah beres. Kampanye aman, tak ada kerusuhan, tak ada perkelahian.”
“Ya, begitulah orang.”
“Apa tidak lebih baik kita mendahului daripada keduluan?”
“Tidak.”
Ketua Partai Randu gelisah. Ia ingin mencari siapa biang kerok dari semuanya itu. Ia bergerak cepat. Setelah dicermati dalam waktu 24 jam ia peroleh namanya. Kebetulan orang itu anggota partai. Mudah saja baginya mencari foto, dan alamat. Ia kenal betul pemegang daftar anggota.
Ia kembali menemui Wasripin dengan nama, foto, alamat, dan denah rumahnya. Ia mengusulkan agar orang itu disantet atau “apa begitu”, pokoknya mendahului.
“Wah, tidak ada ilmu saya.”
“Apa serahkan saja kepada saya?”
“Tidak, Pak. Kita tawakal saja.”
“Menyerah sebelum bertanding?”
“Habis, bagaimana lagi. Saya tak akan bertanding.”
Malam harinya perkampungan nelayan itu geger. Seseorang melihat dengan jelas cahaya-cahaya merah bersliweran di atas surau. Ia berteriak keras, “Bintang akan jatuh! Bintang akan jatuh!” Orang-orang keluar untuk melihat bintang jatuh. Mereka juga melihat ada bara-bara api berputar-putar di atas surau. Orang-orang berkerumun. Ada Wasripin dalam kerumunan itu. Tiba-tiba Ketua Partai Randu datang, langsung menemui Wasripin. “Berbuatlah sesuatu! Hentikan cahaya-cahaya merah itu!” katanya, menggoyang-goyang tubuh Wasripin. “Tidak, Pak. Tidak apa-apa. Kita perlu hiburan.” Untuk beberapa waktu cahaya-cahaya itu bersliweran. Kemudian sepertinya tertiup angin, menghilang dari atas suarau.
Setelah cahaya-cahaya pergi Ketua Partai Randu mengatakan kepada banyak orang, “Cahaya-cahaya itu adalah santet untuk Wasripin. Saya usul supaya sejak ini kita bergantian mejaganya. Jangan sampai kita lengah. Kalau ada cahaya, ledakan, atau benda yang mencurigakan beritahu kawan-kawan nelayan. Kita harus waspada. Mereka akan berbuat lebih kejam lagi.”
Sejak itu rumah, pribadi, dan seluruh tingkah Wasripin mendapatkan pengawalan. Ketika sore Wasripin potong rambut, para pengawal
mengumpulkan rambut dan segera memendamnya dalam tanah. Jemuran pakaian Wasripin juga dijaga. Makan Wasripin lebih dulu dicicipi.
Malam hari Wasripin dinas jaga di TPI. Enam orang nelayan yang sedang bertugas menjaga Wasripin ikut jadi penjaga malam. Malam itu tiga orang datang menemui Wasripin. Mereka mengaku utusan dari tiga orang dukun. Mereka datang untuk minta maaf dan obat. Ternyata, santet yang mereka lempar untuk Wasripin kembali dan berbalik mengenai mereka. Kalau tidak diberi obat, mereka akan mati dalam tiga hari. “Saya akan mengunjungi mereka,” kata Wasripin. “Jangan,ini jebakan,” kawan-kawannya keberatan. “Tidak, mereka tidak bohong. Adalah hak yang sakit untuk dikunjungi yang sehat.” Kawan-kawannya, “Kami akan mengawalmu.”
Pagi harinya, ketika Wasripin akan berangkat, 25-an orang mengantarnya dengan sepeda motor. Di jalan waktu ketemu iring-iringan Partai Randu atau Partai Langit mereka saling bertukar acungan jempol. Orang-orang menyisih memberi jalan, “Ini partai apa, kok tidak pakai bendera?”
Melihat orang yang datang masih muda-muda, seorang dukun sambil memegangi kepala yang sakit kemasukan paku-paku bertanya, “Mana Bapak Wasripin, saya mau minta maaf.” Ketika seorang muridnya menunjuk Wasripin sambil mengatakan bahwa sebaiknya ia memanggil dengan “nak”, dukun itu terkejut. Ia melihat Wasripin yang masih bocah. “O, tidak. Aku lebih baik mati daripada minta maaf!” katanya melengos. Isterinya menyabarkan, “Sabar, Pak-e, sabar.” Kepada Wasripin ia berkata, “Maafkan, Nak. Begitulah watak suami saya.” “Tidak apa-apa, Bu. Boleh saya memegang kakinya?” Wanita itu mempersilakan. Kemudian Wasripin memberi sebotol Aqua, dan minta pamit.
Dukun lain juga terkejut dengan kemudaan Wasripin. Mereka tidak percaya bahwa orang yang akan dibunuhnya patut jadi cucunya. Mula-mula, demi kehormatan, mereka tidak percaya bahwa orang semuda itu dapat membuat santetnya membalik. Bahkan, akan mengobati. Seperti dukun pertama, juga para isteri berperan untuk menyabarkan dan menyadarkan.
Setelah mereka mendapat cerita bahwa Nabi Hidhir-lah yang mengajarkan ilmu padanya, mereka percaya keampuhan dukun muda itu, dan ingin berguru padanya. Bahkan anak-anak bisa melampaui orang tua bila mendapat wahyu. Maka, keesokan harinya mereka bersama para cantrik ingin menemui Wasripin. Tidak mudah, sebab para nelayan masih bergantian menjaga. Setelah mereka mengutarakan maksud, Wasripin diundang. “Wah, bukan potongan saya menjadi guru.” Lalu ia merujuk ke Pak Modin.
Pak Modin berceramah, “Berjalan di atas air? Tidak aneh. Katak yang hina itu pun bisa. Melayang-layang di udara? Tidak aneh.
Gagak pemakan bangkai pun bisa. Dapat memasukkan batu di kepala orang? Tidak aneh. Iblis yang terkutuk pun bisa mengerjakan. Manusia itu lebih mulia daripada katak, burung, dan iblis. Bahkan, ia sebenarnya lebih mulia daripada malaikat. Terserahlah, mau jadi mulia, hina, atau hina-dina. Sebelum belajar ilmu yang lurus, ilmu yang tidak mendatangkan manfaat bagi orang lain, malah selalu merugikan orang harus dilepas dulu. Kata Nabi, ‘semulia-mulianya orang ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain’. Itu
syaratnya. Kalian saya beri waktu dua hari untuk berpikir. Sudah itu kembalilah yang ingin kembali ke jalan yang lurus.”
7
HARI Pasar. Sesudah paman main siter, sesudah semuanya selesai. Kata Satinah, “Maaf, dengan sangat menyesal harus diumumkan bahwa saya ingin berhenti menyanyi,” Gumam panjang dari orang dalam lingkaran menunjukkan kekecewaan. “Belum selesai. Kalau saya nanti sudah jadi Nyonya Wasripin, akan tinggal di sini dan membentuk kelompok karawitan, keroncong, atau dangdut. Pilih mana?”
“Karawitan?”
“Tidak!”
“Keroncong?”
“Tidak!”
“Dangdut?”
“Yaaa!”
“Dangdut, dados.”
Kata Satinah lagi, “Karena Pak Lik juga akan meninggalkan kalian, ia sudah menggubah lagu ‘Maskumambang Selamat Berpisah’ dan ‘Megatruh Selamat Tinggal’. “Maskumambang” artinya emas yang mengapung di air, sebuah keajaiban, dan “Megatruh” artinya pisahnya roh dari badan, tanda bahwa perpisahan ini ibarat kematian. Silakan, Pak Lik.” Satinah memasukkan kaset, merekam tembang pamannya.
Paman mulai dengan siternya disambung seruling. Permainan seruling itu mendayu-dayu, mengiris-iris hati, membuat para nelayan yang tiap hari menghadapi gempuran ombak itu termenung. Ketika seruling memainkan ‘Megatruh Selamat Tinggal’ mereka membayangkan kegagalan, keputusasaan, dan kematian. Sebagian orang mulai berdiri, meninggalkan lingkaran. “Kami datang untuk bersenang-sengang, bukan untuk bersedih-sedih,” pikir mereka sambil meninggalkan tempat itu.
“Pak Lik, penonton semakin menipis.”
“Sekali ini jangan larang saya main. Sesuka saya.”
Satinah semakin gelisah. Penonton tinggal anak-anak sekolah.
“Pak Lik, tidak ada lagi penonton.”
“Saya tidak bermain untuk penonton.”
Dia tahu pamannya tidak lagi dapat diberi tahu, lalu diam. Menanti sampai pamannya berhenti.
Di bawah pohon, di lapangan, di pasar tidak ada lagi orang. Wasripin datang dengan seragam Satpam, menolong Satinah membungkus pengeras suara.
8
SEBUAH panitia walimahan sudah dibentuk. Para nelayan patungan menanggung biaya. Orang tahu bahwa surau akan punya hajatan. Beras, ketan, gula, kopi, dan teh. Panitia juga mencatat siapa akan menyumbang
apa. Sumbangan berupa daging, ikan segar, dan sayur akan diserahkan sehari sebelum walimahan. Tenda akan dipasang sehari sebelum pernikahan.
Anak-anak yang mengaji di surau belajar shalawatan bersama dua orang gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh rebana. Di surau sudah tersedia topi-topi lancip berwarna merah untuk dipakai anak-anak yang akan berseragam putih. Di emper mereka diajari meliukkan badan dan leher, melambaikan tangan. “Shalawaat Badriyyah!” perintah gadis nelayan pengajar menyanyi.
shalluu ‘alaih!
(seorang pemain rebana berteriak, rebana mulai ditabuh).
shalaatullah salaamullah
“alaa thaahaa rasuulillah
shalaatullah salaamullah
‘alaa yaasiin habibillah
“Lagi, lagi!”
tawassalnaa bibismillah
wa bilhadii rasuulilah
wa kulli mujahidilillah
wa biahli badri yaa Allah
“Lagi, lagi!”
ilaahii sallimil ummah
minal afaati wanniqmah
wa min hummi wa min hummah
bi ahlil badri ya Allah
“Lagi, lagi!”
Orang akan memasang tenda siang hari, sedangkan pernikahan berlangsung besok pagi-pagi. Listrik sudah diurus ke PLN. Surau akan punya kerja! Para nelayan ingin membuat pasangan Wasripin dan Satinah berbahagia di hari pernikahan. Mereka berdua adalah anak-anak yatim piatu yang kesejahteraannya menjadi tanggungan masyarakat.
Tiga ekor kambing sumbangan masyarakat di luar perkampungan nelayan ditambatkan di pohon jeruk di samping surau. Orang sudah memesan piring, sendok, dan gelas dari kas desa.
Selesai upacara keduanya akan menetap di rumah Pak Modin, lalu sore hari sesudah Isya’ mereka akan diarak dengan rombongan rebana dan rodat ke pelaminan di tenda. Penceramah walimahan diambilkan dari luar daerah, ceramah yang pasti banyak luconnya disela lagu-lagu Islami dalam berbagai cengkok. Perayaan praktis akan berlangsung selama tiga hari, sebab akan dilanjutkan dengan perayaan Mauludan berupa pertandingan bola, bola basket, badminton, dan puncaknya ceramah Maulud.

0 Comments:

Post a Comment