A Walk To Remember Baca Online Bab 7

BAB 7

DI awal bulan Desember, setelah sekitar dua minggu latihan, langit musim dingin sudah gelap sebelum Miss Garber memperbolehkan kami pulang. Jamie memintaku menemaninya pulang berjalan kaki. Aku tidak tahu mengapa ia ingin aku menemaninya. Beaufort bukanlah kota dengan tingkat kejahatan yang tinggi.
Satu-satunya pembunuhan yang pernah kudengar terjadi sekitar enam tahun yang lalu ketika seseorang tewas ditusuk di luar Maurice’s Tavern—omong-omong, merupakan tempat berkumpul orang-orang seperti Lew. Selama kurang-lebih satu jam suasana kota cukup gempar, dan telepon-telepon berdering di seluruh penjuru kota sementara kaum wanita yang panik menanyakan kemungkinan masih adanya pembunuh gila berkeliaran di jalan, mengintai korban-korban yang lengah. Pintu-pintu dikunci, senjata diisi, kaum pria duduk di dekat jendela depan, mewaspadai kalau-kalau ada seseorang yang tidak dikenal mengendap-endap di jalan. Namun seluruh kehebohan itu mereda sebelum malam itu berakhir saat seorang pria menyerahkan diri pada polisi. Ternyata pembunuhan itu terjadi akibat percekcokan di bar yang lepas kendali. Rupanya si korban mencoba berbuat curang saat berjudi. Pria itu didakwa melakukan pembunuhan tingkat dua dan dihukum enam tahun penjara.
Para polisi di kota kami menjalani tugas-tugas yang paling membosankan di dunia ini, namun mereka masih suka berlagak sok jago sambil membawa-bawa pentungan atau duduk-duduk di kedai kopi sambil membahas soal “kejahatan besar” itu, seakan mereka telah berhasil mengungkap suatu misteri seheboh kasus penculikan bayi keluarga Lindbergh.
Namun rumah Jamie searah dengan rumahku, dan aku tidak dapat menolak tanpa melukai perasaannya. Tapi jangan salah mengerti, ini bukan berarti aku suka padanya atau semacamnya. Tapi setelah kau melewatkan beberapa jam dalam sehari dengan seseorang, dan kau masih akan menghabiskan waktu dengan orang itu selama sedikitnya seminggu lagi, kau tidak ingin melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat hari-hari mendatang menjadi tidak menyenangkan.
Drama itu akan dipentaskan pada hari Jumat dan Sabtu, dan banyak orang yang sudah mulai membicarakannya. Miss Garber begitu terkesan dengan penampilanku dan Jamie sehingga ia terus menceritakan kepada semua orang bahwa pertunjukan kali ini akan jadi pertunjukan terbaik yang pernah dipentaskan oleh sekolah kami. Miss Garber ternyata memiliki kemampuan yang mencengangkan dalam berpromosi. Kota kami memiliki seubah stasiun pemancar radio, dan mereka mewawancarai Miss Garber secara langsung, tidak hanya sekali, tapi dua kali. “Acaranya akan luar biasa,” komentarnya, “betul-betul luar biasa.”
Miss Garber juga menghubungi surat kabar, dan mereka telah sepakat untuk menulis artikel tentang drama itu. Surat kabar mau melakukannya karena kaitan antara Jamie dan Hegbert, meskipun semua orang di kota kami sudah mengetahuinya. Namun Miss Garber tetap tidak kenal lelah, dan ia baru saja mengatakan kepada kami bahwa pihak Playhouse akan menyediakan kursi-kursi tambahan untuk menampung jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas. Seisi kelas
mengeluarkan suara oh dan ah, seakan itu sesuatu yang hebat atau semacamnya, tapi kemudian kurasa memang itulah yang dirasakan sebagian di antara mereka. Ingat, kami memiliki orang-orang seperti Eddie. Ia mungkin menganggap inilah satu-satunya saat dalam hidupnya yang akan mendapat perhatian banyak orang. Yang menyedihkan adalah ia mungkin benar.
Kau mungkin mengira aku juga ikut antusias dengan kegiatan ini, tapi nyatanya tidak. Teman-temanku masih mengejekku di sekolah, dan sudah lama aku tidak menikmati sore yang bebas. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan adalah fakta bahwa aku sedang melakukan “sesuatu yang benar”. Aku tahu bahwa itu tidak banyak berarti, namun sejujurnya, hanya itulah alasanku. Kadang-kadang aku merasa gembira dengan perbuatanku, meskipun aku tidak pernah mengakuinya kepada siapa pun. Aku nyaris bisa membayangkan para malaikat di surga, berkerumun dan memandangku dengan air mata mengambang di sudut mata mereka, membicarakan betapa baiknya aku karena mau berkorban.
Jadi aku memikirkan semua itu sambil menemaninya pulang pada malam pertama, ketika Jamie mengajukan pertanyaan padaku.
“Benarkah kau dan teman-temanmu kadang-kadang pergi ke tempat pemakaman di malam hari?” Sebagian dari diriku tercengang saat mengetahui Jamie tertarik pada hal itu. Meskipun sebetulnya bukan rahasia, rasanya itu bukan sesuatu yang akan menggugah rasa ingin tahunya.
“Yeah,” sahutku sambil mengangkat bahu. “Kadang-kadang.”
“Apa yang kaulakukan di sana, selain makan kacang?”
Jadi ia juga tahu mengenai hal itu.
“Aku tidak tahu,” ujarku. “Mengobrol… bercanda. Kami cuma senang duduk-duduk di sana.”
“Kau tidak pernah takut?”
“Tidak,” sahutku. “Kenapa? Apakah kau akan takut?”
“Aku tidak tahu,” sahutnya. “Mungkin.”
“Kenapa?”
“Karena aku khawatir kalau yang kulakukan di sana tidak benar.”
“Kami tidak melakukan perbuatan buruk di sana. Maksudku, kami tidak merobohkan batu-batu nisan atau meninggalkan sampah di mana-mana,” ujarku. Aku tidak mau mengungkapkan padanya mengenai percakapan kami tentang Henry Preston karena aku tahu itu bukan sesuatu yang ingin didengar Jamie. Minggu lalu Eric sempat bertanya seberapa cepat orang seperti Preston bisa naik ke tempat tidur dan… ehm… kau tahu, kan?
“Pernahkah kalian cuma duduk di sana dan mendengarkan suara-suara di sekeliling kalian?” tanyanya. “Seperti suara derik jangkrik, atau gemeresik dedaunan di saat angin berembus? Atau pernahkah kalian berbaring telentang sambil memandangi bintang-bintang?”
Meskipun termasuk gadis remaja dan sudah berusia tujuh belas tahun, Jamie tetap sama sekali tidak tahu apa-apa tentang para remaja. Bagi Jamie mencoba memahami remaja pria ibarat mencoba menguraikan teori relativitas.
“Tidak juga,” sahutku.
Ia mengangguk pelan. “Kurasa itulah yang akan kulakukan jika ada di sana. Maksudku, seandainya aku pergi ke sana. Aku akan mengamati sekelilingku dan benar-benar memperhatikannya dengan saksama, atau duduk diam dan memasang telingaku.”
Seluruh percakapan ini terkesan aneh, tapi aku tidak berniat memperpanjangnya, dan kami terus berjalan dalam keheningan selama beberapa waktu. Karena Jamie sudah menanyakan sesuatu tentang diriku, aku merasa harus menanyakan sesuatu tentang dirinya. Maksudku, sejauh
ini ia sama sekali tidak mengungkit soal rencana Tuhan atau semacamnya, sehingga paling tidak itulah yang dapat kulakukan.
“Oke, apa yang biasa kaulakukan?” tanyaku. “Maksudku, selain membantu di panti asuhan, menolong makhluk-makhluk malang, dan membaca Alkitab?” Harus kauakui kedengarannya menggelikan, bahkan bagiku sendiri, namun memang itulah yang biasa dilakukan Jamie.
Ia tersenyum padaku. Kurasa ia tercengang mendengar pertanyaanku, terutama perhatianku terhadap kebiasaannya.
“Aku melakukan banyak hal. Aku belajar untuk sekolah, menghabiskan waktu bersama ayahku. Kami bermain gin rummy kadang-kadang. Hal-hal semacam itu.”
“Apakah kau tidak pernah pergi bersama teman-temanmu, sekadar untuk bersenang-senang.”
“Tidak,” sahutnya. Dari caranya menjawab aku bisa merasakan bahwa tidak banyak teman yang menyukai kehadirannya.
“Aku berani bertaruh kau tidak sabar untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tahun depan,” ujarku, mengalihkan percakapan.
Perlu beberapa saat baginya sebelum menjawab.
“Kurasa aku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi,” sahutnya lugas. Jawabannya sempat membuat aku bingung. Jamie termasuk siswa yang selalu meraih nilai tertinggi di kelas kami. Ia bahkan berpeluang menjadi siswa teladan, tergantung bagaimana hasil semester terakhir. Omong-omong, kami sudah mengadakan taruhan untuk menebak berapa kali ia akan menyebut rencana Tuhan dalam pidatonya kelak. Aku bertaruh empat belas kali, karena ia hanya mendapat waktu lima menit.
“Bagaimana dengan Mount Sermon? Kupikir kau berencana untuk melanjutkan ke sana. Kau pasti menyukai tempat seperti itu,” usulku.
Ia menatapku dengan mata berbinar. “Maksudmu aku cocok berada di sana, kan?”
Kata-kata yang dilontarkannya kadang-kadang bisa membuatmu terenyak.
“Maksudku bukan begitu,” sahutku cepat. “Aku pernah mendengar betapa inginnya kau kuliah di sana tahun depan.”
Jamie mengangkat bahu tanpa sungguh-sungguh menjawabku, dan sejujurnya, aku jadi merasa serba-salah. Saat itu kami telah sampai di depan rumahnya, dan berhenti di trotoar. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat bayangan Hegbert di ruang duduk melalui gorden. Lampunya menyala, dan Hegbert sedang duduk di sofa dekat jendela. Kepalanya menunduk, seakan sedang membaca sesuatu. Mungkin membaca Alkitab.
“Terima kasih telah mengantarku pulang, Landon,” kata Jamie, dan ia menengadahkan wajahnya ke arahku sesaat, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya di jalan masuk rumahnya.
Saat memperhatikannya dari belakang, terlintas dalam benakku bahwa percakapan kami barusan adalah yang paling aneh di antara sekian banyak percakapan kami. Jamie tetap tampak normal, meskipun beberapa jawabannya terdengar janggal.
Pada malam berikutnya, saat aku mengantarnya pulang, ia bertanya tentang ayahku.
“Ia baik-baik saja, kurasa,” sahutku. “Ia jarang ada di rumah.”
“Kau merindukannya? Dibesarkan tanpa kehadirannya?”
“Kadang-kadang.”
“Aku juga sering merindukan ibuku,” ujarnya, “meskipun aku tidak pernah mengenalnya.”
Itulah pertama kalinya aku menyadari bahwa Jamie dan aku mungkin memiliki kesamaan. Aku membiarkan pikiran itu terserap sejenak.
“Tentunya itu berat bagimu,” ujarku tulus. “Meskipun ayahku seperti orang asing bagiku, setidaknya ia masih ada.”
Jamie berpaling ke arahku sementara kami terus melangkah, kemudian ia menatap ke depan lagi. Ia menarik-narik rambutnya perlahan. Aku mulai memperhatikan bahwa Jamie menarik rambutnya setiap kali merasa gelisah atau tidak tahu harus berkata apa.
“Memang, kadang-kadang. Tapi jangan keliru—aku mencintai ayahku dengan sepenuh hati—namun ada saatnya aku bertanya-tanya akan seperti apa suasananya kalau ada seorang ibu. Kurasa kami bisa membicarakan topik yang tidak bisa kubicarakan dengan ayahku.”
Kupikir yang dimaksud Jamie adalah membicarakan cowok. Baru kemudian aku tahu bahwa aku keliru.
“Bagaimana rasanya hidup bersama ayahmu? Apakah ia sama seperti orang yang ditampilkannya di gereja?”
“Tidak. Sebenarnya ayahku memiliki rasa humor yang tinggi.”
“Hegbert?” semburku. Membayangkannya saja aku tidak bisa.
Kurasa Jamie terkejut mendengar aku menyebut nama ayahnya dengan nama kecilnya, namun ia tidak mempersoalkannya dan tidak menanggapi komentarku. Malah ia berkata, “Jangan terkejut begitu. Kau akan menyukainya, setelah kau lebih mengenalnya.”
“Aku tidak yakin aku akan lebih mengenalnya.”
“Kau tidak pernah tahu, Landon,” ujarnya sambil tersenyum, “apa rencana Tuhan.”
Aku benci saat Jamie mengatakan hal seperti itu. Ia berbicara dengan Tuhan setiap hari, dan kau tidak akan pernah tahu apa yang dikatakan “Yang Di Atas” kepadanya. Ia bahkan mungkin sudah memiliki tiket untuk langsung terbang ke surga, kalau kau mengerti maksudku, karena ia begitu baik.
“Bagaimana aku bisa mengenalnya dengan lebih baik?” tanyaku.
Jamie tidak menyahut, namun tersenyum pada dirinya sendiri, seakan ia mengetahui rahasia yang tidak mau diungkapkannya padaku. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku benci saat ia sedang begitu.
Pada malam berikutnya kami mengobrol tentang Alkitab-nya.
“Kenapa kau selalu membawanya?” tanyaku.
Aku mengira ia membawa Alkitab ke mana-mana cuma karena ia putri seorang pendeta. Itu bukan pikiran yang berlebihan, mengingat bagaimana Hegbert menyikapi Ayat-ayat Suci dan yang lainnya. Namun Alkitab yang dibawa Jamie sudah tua dan sampulnya tampak sudah usang. Aku menganggap Jamie termasuk orang yang akan membeli Alkitab baru setiap tahun atau secara berkala sekadar untuk membantu pihak penerbit Alkitab atau memperbarui ketaatannya kepada Tuhan atau semacamnya.
Ia melangkah beberapa saat sebelum menjawab.
“Ini tadinya milik ibuku,” ujarnya.
“Oh…” Nada suaraku seperti aku baru saja menginjak kura-kura kesayangan seseorang dan meremukkan tempurungnya.
Ia menatapku. “Tak apa-apa, Landon. Kau kan tidak tahu.”
“Maafkan aku karena bertanya…”
“Jangan minta maaf. Kau kan tidak punya maksud apa-apa.” Jamie terdiam sejenak. “Ibu dan ayahku mendapat Alkitab ini pada hari pernikahan mereka, namun ibuku-lah yang kemudian
menggunakannya. Ia selalu membacanya, terutama di saat ia sedang melewati masa-masa sulit dalam hidupnya.”
Aku teringat pada keguguran yang berkali-kali dialaminya. Jamie melanjutkan ceritanya.
“Ia suka membacanya di malam hari sebelum tidur, dan ia membawanya ke rumah sakit sewaktu aku dilahirkan. Ketika ayahku mengetahui ibuku meninggal, ia membawaku dan Alkitab ini pulang dari rumah sakit itu.”
“Aku minta maaf,” ujarku lagi. Di saat seseorang menceritakan sesuatu yang sedih padamu, hanya itulah yang menurutmu bisa kaukatakan, meskipun kau sudah mengatakannya sebelumnya.
“Alkitab ini membuatku… merasa dekat dengannya. Kau bisa mengerti?” Ia tidak mengatakannya dengan sedih, tapi lebih hanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaanku. Entah mengapa itu membuatku merasa lebih tidak enak lagi.
Setelah ia mengungkapkan cerita itu, aku membayangkan Jamie dibesarkan oleh Hegbert lagi, dan aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sementara memikirkan jawabannya, aku mendengar suara klakson mobil di belakang kami, dan kami sama-sama berhenti melangkah lalu menengok ke belakang saat kami mendengar mobil itu menepi.
Eric dan Margaret berada di dalam mobil itu, Eric di belakang kemudi, Margaret di sisi yang terdekat dengan kami.
“Wow, coba lihat siapa yang kita temukan di sini,” ujar Eric sambil mencondongkan tubuhnya ke arah kemudi sehingga aku bisa melihat wajahnya. Aku belum menceritakan padanya bahwa aku mengantar Jamie pulang. Rasa ingin tahu dalam pikiran remaja membuat perkembangan baru ini mengalahkan perasaanku setelah mendengar cerita Jamie.
“Halo, Eric. Halo, Margaret,” sapa Jamie riang.
“Kau mengantarnya pulang, Landon?” Aku bisa melihat setan kecil di balik senyum Eric.
“Hai, Eric,” sapaku, sambil berharap ia tidak pernah melihatku.
“Malam yang indah untuk jalan-jalan, kan?” ujar Eric. Kurasa karena Margaret berada di antara dirinya dan Jamie, Eric merasa lebih berani daripada biasanya di hadapan Jamie. Jelas ia tidak akan membiarkan peluang ini lewat tanpa membuatku merasa terpojok.
Jamie memandang sekelilingnya dan tersenyum. “Ya.”
Eric juga melihat ke sekelilingnya, dengan tatapan sayu di matanya sebelum ia menarik napasnya dalam-dalam. Aku tahu Eric cuma berpura-pura. “Wah, benar-benar menyenangkan di luar, ya.” Ia menghela napas kemudian menoleh ke arah kami sambil mengangkat bahu. “Sebenarnya aku ingin menawarkan tumpangan pada kalian, tapi itu tentu tidak semenyenangkan berjalan-jalan di bawah bintang, dan aku tidak ingin kalian berdua kehilangan itu.” Eric mengatakannya seakan ia melakukan suatu kebaikan pada kami.
“Oh, lagi pula kami sudah hampir sampai di rumahku,” ujar Jamie. “Aku baru akan menawarkan segelas sari apel pada Landon. Kalian mau menunggu kami di sana? Masih ada banyak.”
Sari apel? Di rumahnya? Jamie tidak menyebut apa-apa tadi…
Aku memasukkan tanganku ke dalam saku, sambil bertanya dalam hati apakah keadaan ini bisa lebih buruk lagi.
“Oh, tak usah… tak apa-apa. Kami akan ke Cecil’s Diner.”
“Di hari sekolah?” tanya Jamie polos.
“Oh, kami tidak akan sampai larut malam,” janji Eric, “tapi kami sebaiknya segera pergi. Nikmati sari apel kalian.”
Eric menjalankan mobilnya kembali, perlahan-lahan. Jamie mungkin akan menganggap Eric pengemudi yang hati-hati. Nyatanya tidak begitu, meskipun Eric sangat lihai melepaskan diri dari masalah begitu ia menabrak sesuatu. Aku ingat ketika ia mengatakan kepada ibunya bahwa seekor sapi tiba-tiba muncul di depan mobilnya dan karena itulah bumper serta bagian depan mobilnya rusak. “Kejadiannya begitu cepat, Mom, sapi itu muncul entah dari mana. Tiba-tiba sapi itu sudah berada di depanku, dan aku tidak sempat mengerem pada waktunya.” Semua orang tahu bahwa seekor sapi tidak tiba-tiba muncul entah dari mana, namun ibunya mempercayai ucapannya. Omong-omong, ibunya juga pernah menjadi ketua pemandu sorak.
Begitu mereka menghilang dari pandangan, Jamie berpaling padaku dan tersenyum.
“Kau punya teman-teman yang menyenangkan, Landon.”
“Tentu saja.” Aku menyatakan kalimat itu dengan hati-hati.
Setelah mengantar Jamie—tidak, aku tidak mampir untuk minum sari apel—aku langsung pulang, sambil menggerutu sepanjang jalan. Sementara itu aku sudah melupakan cerita Jamie, dan yang terngiang di telingaku adalah suara tawa teman-temanku dari arah Cecil’s Diner.
Lihat kan apa yang terjadi saat kau jadi orang baik?
Keesokan paginya semua siswa di sekolah tahu bahwa aku mengantar Jamie pulang. Hal ini menimbulkan spekulasi baru mengenai kami berdua. Kali ini malah lebih gawat daripada sebelumnya. Begitu gawatnya sehingga aku terpaksa melewatkan istirahat makan siangku di perpustakaan untuk menghindari semua itu.
Malam itu latihan dilakukan di Playhouse. Latihan terakhir sebelum pementasan pertama, dan masih banyak yang harus kami kerjakan. Sepulang sekolah, siswa laki-laki di kelas drama harus membawa semua properti panggung dari ruang kelas ke truk sewaan untuk diangkut ke Playhouse. Masalahnya adalah siswa laki-lakinya hanya aku dan Eddie, dan Eddie bukanlah orang yang indra-indranya terkoordinir dengan baik. Kami harus melewati sebuah pintu, menggotong barang berat, dan postur Hooville-nya menjadi kendala. Pada setiap saat yang kritis ketika aku betul-betul memerlukan bantuannya untuk menahan beban, ia akan tersandung debu atau seekor serangga di lantai, sehingga berat latar properti panggung itu akan ditimpakan pada jari-jariku, yang kemudian akan terjepit di kusen pintu dengan cara yang amat menyakitkan.
“S-s-sori,” kata Eddie. “Sakit… ya?”
Aku menelan sederetan umpatan yang nyaris terlontar dari mulutku dan menjawab dengan sengit, “Pokoknya jangan lakukan itu lagi.”
Namun Eddie tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak tersandung-sandung lagi, sama seperti halnya ia tidak mampu mencegah turunnya hujan. Pada saat kami selesai membongkar pasang semuanya, jemariku tampak seperti jemari Toby, si tukang serabutan. Bagian terburuknya adalah, aku bahkan tidak sempat makan sebelum latihan dimulai. Memindah-mindahkan properti panggung itu telah menghabiskan waktu tiga jam, dan kami baru selesai memasangnya kembali beberapa menit sebelum yang lain tiba untuk mulai latihan. Dengan semua kejadian yang berlangsung hari itu, boleh dikatakan suasana hatiku betul-betul tidak baik.
Aku mengucapkan dialog-dialogku tanpa konsentrasi, dan Miss Garber tidak sekali pun mengucapkan kata luar biasa sepanjang malam. Matanya menunjukkan keprihatinan, namun Jamie hanya tersenyum dan mengatakan padanya agar tidak khawatir, dan semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu Jamie cuma ingin mempermudah keadaan tapi aku menolaknya ketika ia memintaku mengantarnya pulang.
Playhouse terletak di tengah-tengah kota, dan aku harus berjalan ke arah yang berbeda dengan arah rumahku untuk mengantarnya pulang. Selain itu, aku tidak ingin terlihat mengantarnya pulang lagi. Namun Miss Garber kebetulan mendengar pembicaraan kami dan berkata dengan nada tegas, bahwa aku akan menemaninya dengan senang hati. “Kalian berdua bisa mengobrol tentang pementasan itu,” ujarnya. “Mungkin kalian bisa berlatih bagian-bagian yang masih kaku.” Tentu saja, yang dimaksud kaku di sini adalah aku.
Jadi sekali lagi aku mengantar Jamie pulang, tapi ia pasti tahu bahwa aku sedang tidak ingin berbicara karena aku melangkah sedikit lebih jauh di depannya. Kedua tanganku di dalam saku, bahkan aku tidak menoleh ke belakang untuk melihat apakah ia mengikutiku. Ini berlangsung selama beberapa menit pertama, dan aku tidak mengucapkan sepatah kata pun padanya.
“Suasana hatimu sedang tidak baik, ya?” tanya Jamie akhirnya. “Kau bahkan tidak berusaha malam ini.”
“Tidak ada yang luput dari perhatianmu, kan?” sahutku ketus tanpa menoleh ke arahnya.
“Mungkin aku bisa membantu,” usulnya. Nadanya terdengar tulus, yang membuatku jadi semakin kesal.
“Aku tidak yakin,” bentakku.
“Mungkin kalau kau mau menceritakan padaku apa yang mengganjal—“
Aku tidak membiarkan Jamie menyelesaikan ucapannya.
“Dengar,” kataku, seraya berhenti melangkah dan berdiri berhadapan dengannya. “Aku menghabiskan waktu seharian untuk menggotong-gotong properti sialan itu. Aku belum makan sejak siang, dan sekarang aku harus berjalan ekstra satu mil hanya untuk memastikan kau sampai di rumah, padahal kita sama-sama tahu bahwa kau sebetulnya tidak membutuhkanku untuk mengantar pulang.”
Baru pertama kali itulah aku menaikkan volume suaraku saat berbicara dengannya. Terus terang, rasanya lumayan menyenangkan. Aku sudah memendamnya sekian lama. Jamie tampak sangat terkejut untuk menanggapi kemarahanku, dan aku terus melanjutkan.
“Satu-satunya alasanku melakukan ini adalah karena ayahmu, yang bahkan tidak menyukaiku. Semua ini betul-betul konyol. Aku berharap tidak pernah setuju untuk melakukannya.”
“Kau cuma mengatakan semua ini karena kau tegang menghadapi pementasan besok—“
Aku memotong ucapannya dengan gelengan kepalaku. Sekali aku sudah mulai, kadang-kadang sulit bagiku untuk berhenti. Aku hanya mampu menghadapi sikap optimis dan keceriannya sampai di sini, dan ini bukan hari yang tepat untuk mendesakku makin jauh.
“Kau masih juga belum mengerti, ya?” tanyaku gusar. “Aku sama sekali tidak merasa tegang menghadapi pementasan. Aku cuma sedang tidak ingin berada di sini. Aku tidak ingin mengantarmu pulang, aku tidak ingin teman-temanku terus membicarakanku, dan aku tidak ingin menghabiskan waktu denganmu. Kau terus berlagak seakan kita berteman, tapi nyatanya tidak begitu. Kita tidak punya hubungan apa-apa. Aku cuma ingin semua ini segera berakhir dan aku bisa kembali ke kehidupan normalku.”
Jamie tampak sakit hati menerima luapan kemarahanku, dan sejujurnya, aku tidak dapat menyalahkannya.
“Aku mengerti,” cuma itu yang dikatakannya. Aku menunggunya balas membentak, membela dirinya, atau mencari masalah baru, namun ia tidak melakukannya. Jamie cuma menunduk. Kurasa sebagian dari dirinya ingin menangis, namun ia tidak melakukannya, dan akhirnya aku meneruskan lngkahku, meninggalkannya berdiri di tempatnya. Namun tak lama setelah itu aku mendengar ia juga mulai bergerak. Ia berada dalam jarak lima meter di
belakangku sepanjang perjalanan menuju rumahnya, dan ia tidak berusaha berbicara padaku lagi sampai ia akan melangkah ke jalan masuk rumahnya. Aku sudah mulai berjalan menjauh ketika mendengar suaranya.
“Terima kasih telah mengantarku pulang, Landon,” serunya.
Hatiku menciut begitu mendengar ucapannya. Bahkan di saat aku bersikap kejam terhadapnya dan mengatakan hal-hal yang paling menyakitkan, ia masih bisa menemukan alasan untuk berterima kasih padaku. Jamie memang gadis semacam itu, dan kurasa aku benar-benar membencinya karena alasan tersebut.
Atau lebih tepatnya, aku membenci diriku sendiri karena alasan itu.

0 Comments:

Post a Comment