A Walk To Remember Baca Online Bab 1

BAB 1

PADA tahun 1958, Beaufort, North Carolina, yang terletak di pesisir dekat Morehead City, sama seperti kebanyakan kota kecil di daerah selatan lainnya. Tempat dengan kelembapan udara yang begitu tinggi di musim panas sehingga berjalan ke luar rumah untuk mengambil surat saja akan membuat seseorang merasa seakan perlu mandi. Anak-anak berkeliaran sambil bertelanjang kaki mulai dari bulan April sampai Oktober di bawah pohon-pohon oak yang dilapisi lumut Spanyol. Orang-orang melambai dari mobil mereka setiap kali melihat seseorang di jalan, kenal ataupun tidak. Udara menebarkan aroma pohon pinus, garam, dan laut yang begitu unik bagi penduduk Carolina.
Bagi kebanyakan orang, memancing ikan di Pamlico Sound atau menangkap kepiting di Sungai Neuse adalah semacam gaya hidup, dan kapal-kapal dalam keadaan tertambat setiap kali kau melihat Terusan Antarpantai. Hanya ada tiga stasiun televisi, meskipun televisi bukanlah barang penting bagi kami yang dibesarkan di sini. Kehidupan kami lebih terpusat pada gereja, yang di dalam kota saja jumlahnya ada delapan belas. Di antaranya Fellowship Hall Christian Church, Church of the Forgiven People, Church of Sunday Atonement, dan tentu saja beberapa gereja Baptis. Ketika aku tumbuh dewasa, gereja inilah yang paling populer. Bisa dikatakan bahwa hampir di setiap sudut kota berdiri sebuah gereja Baptis, meskipun masing-masing beranggapan memiliki kelebihan daripada yang lain. Ada berbagai macam gereja Baptis—Freewill Baptis, Southern Baptists, Congregational Baptists, Missionary Baptists, Independent Baptists… bisa kaubayangkan, kan?
Di masa itu, peristiwa besar tahunan disponsori oleh gereja Baptis di pusat kota—Southern Baptists—bekerja sama dengan SMU setempat. Setiap tahun diselenggarakan acara drama Natal di Beaufort Playhouse, yang sebenarnya merupakan karya yang ditulis oleh Hegbert Sullivan, pendeta yang telah mengabdi di gereja itu sejak Nabi Musa membelah Laut Merah. Oke, mungkin ia tidak setua itu, namun cukup tua sehingga kita nyaris dapat melihat sampai ke balik kulitnya. Kesannya seperti dingin dan tembus cahaya—anak-anak berani bersumpah bisa melihat darahnya mengalir melalui pembuluh-pembuluh darahnya—dan rambutnya seputih kelinci seperti yang kaulihat di toko-toko hewan peliharaan sekitar hari Paskah.
Pokoknya, ia menulis drama berjudul The Christmas Angel, karena ia tidak ingin terus-menerus menampilkan karya klasik Charles Dickens, A Christmas Carol. Dalam pandangannya, tokoh Scrooge adalah seorang kafir, yang mengalami pertobatan hanya karena ia melihat hantu, bukan malaikat—lagi pula, siapa bilang hantu-hantu itu dikirim oleh Tuhan? Dan siapa yang bisa menjamin bahwa ia tidak akan kembali ke cara lamanya yang tidak terpuji, karena hantu-hantu itu tidak secara langsung dikirim oleh surga? Akhir kisah drama itu juga tidak menyatakannya secara gamblang—karena itu menyangkut soal iman—sedangkan Hegbert tidak mempercayai hantu yang tidak betul-betul dikirim oleh Tuhan, dan baginya justru di sinilah permasalahannya. Beberapa tahun yang lalu ia telah mengubah bagian akhirnya—akhir berdasarkan versinya sendiri, lengkap dengan tokoh si Scrooge tua yang kemudian menjadi pengkhotbah, yang
melakukan ziarah ke Jerusalem ke tempat Yesus pernah mengajar para ahli Taurat. Hasilnya ternyata kurang meyakinkan—bahkan di mata jemaatnya, yang duduk di antara penonton dengan tercengang—sementara koran-koran berkomentar, “Meskipun cukup menarik, tetap saja bukan pertunjukan yang sudah kita kenal dan sukai…”
Karena itulah Hegbert memutuskan untuk mencoba menulis dramanya sendiri. Ia telah menulis khotbahnya sendiri selama ini. Harus kuakui bahwa beberapa di antaranya memang menarik, terutama saat ia berbicara tentang “kemurkaan Tuhan yang akan menimpa para pezina” dan berbagai topik bagus lainnya. Aku berani mengatakan bahwa darahnya mendidih saat ia berbicara tentang para pezina. Topik itulah yang kami jadikan bahan hiburan tentang dia. Ketika usiaku masih lebih muda, aku dan teman-temanku biasa bersembunyi di belakang pohon-pohon dan berteriak, “Hegbert tukang zina!” setiap kali kami melihatnya lewat di jalan, dan kami akan cekikikan seperti orang tolol, seakan kami orang-orang paling lucu di muka bumi ini.
Hegbert tua akan berhenti melangkah dan daun telinganya akan berdiri tegak—aku berani sumpah, telinganya benar-benar bergerak—kemudian wajahnya akan berubah jadi merah padam, seakan ia baru minum bensin, dan urat-urat hijau di lehernya akan mulai bertonjolan seperti Sungai Amazon dalam peta-peta majalah National Geographic. Ia melirik ke sana kemari, matanya menyipit sambil mencari kami, dan setelah itu, secara mendadak wajahnya menjadi pucat lagi, kembali licin seperti kulit ikan, persis di hadapan kami. Wow, betul-betul sesuatu yang asyik untuk dilihat.
Kami bersembunyi di belakang pohon sementara Hegbert (orangtua mana yang tega menamai anaknya Hegbert?) berdiri di sana, menunggu kami menyerahkan diri, seakan ia mengira bahwa kami akan sebegitu bodohnya. Kami membekap mulut dengan dua tangan untuk menahan tawa, namun entah bagaimana caranya ia selalu dapat menemukan kami. Ia akan menoleh ke sana kemari dan setelah itu memusatkan tatapannya yang tajam ke arah kami, menembus batang pohon. “Aku tahu kau di sana. Landon Carter,” ia akan berseru, “dan Tuhan juga tahu.” Hegbert membiarkan kata-katanya merasuk sebentar dan akhirnya ia melanjutkan langkahnya. Pada khotbahnya di hari Minggu berikutnya ia akan menatap kami dan mengatakan sesuatu seperti “Tuhan sangat menyayangi anak-anak, tapi anak-anak seharusnya juga layak untuk disayangi.” Dan kami duduk melorot di tempat duduk kami, bukan karena malu, tapi menyembunyikan keinginan kami untuk cekikikan lagi. Sebenarnya aneh bila Hegbert tidak bisa memahami kami, mengingat ia sendiri juga punya anak. Memang sih anaknya seorang anak perempuan. Tapi mengenai ini akan kita bicarakan nanti.
Pokoknya, seperti yang sudah kukatakan, Hegbert menulis The Christmas Angel dan memutuskan untuk menjadikannya sebagai drama Natal. Ceritanya sebetulnya tidak jelek dan sempat mengejutkan semua orang ketika pertama kali dipentaskan. Inti ceritanya tentang seorang pria yang ditinggal mati istrinya beberapa tahun yang lalu. Pria ini bernama Tom Thornton, dulunya sangat religius, namun imannya goyah setelah istrinya meninggal dalam persalinan. Ia membesarkan anak perempuannya seorang diri, tapi ia bukanlah ayah yang hebat. Untuk hadiah Natal, putri kecilnya cuma menginginkan kotak musik istimewa dengan ukiran malaikat di atasnya, yang gambarnya telah digunting putrinya itu dari sebuah buku katalog tua. Si ayah menghabiskan banyak waktu dan berusaha keras mencari kotak musik itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. Sampai Malam Natal tiba pun ia masih terus mencari. Saat sedang menjelajahi toko demi toko, ia berpapasan dengan wanita aneh yang tidak ia kenal sebelumnya. Wanita tersebut berjanji akan membantunya mencarikan hadiah itu untuk putrinya. Tapi, sebelumnya, mereka membantu seorang tunawisma (omong-omong, pada masa itu mereka disebut gelandangan), setelah itu mereka mampir di panti asuhan untuk menengok beberapa anak, dan
kemudian mengunjungi seorang wanita tua yang kesepian dan ingin ditemani pada Malam Natal. Saat itulah wanita misterius tadi menanyakan pada Tom Thornton apa yang diinginkannya untuk Hari Natal, dan ia mengatakan bahwa ia ingin istrinya kembali. Wanita itu membawanya ke air mancur di kota dan mengatakan padanya untuk melihat ke dalam air dan ia akan menemukan apa yang sedang ia cari. Ketika melihat ke dalam air, ia melihat wajah putri kecilnya. Hatinya langsung luluh, dan ia menangis di tempat itu. Sementara ia menangis, wanita misterius itu menghilang, dan Tom Thornton berusaha mencarinya namun tidak dapat menemukannya. Akhirnya ia pulang, sambil merenungkan kembali apa yang baru saja dialaminya. Ia memasuki kamar putrinya, dan menyaksikan sosok yang sedang tertidur lelap itu membuatnya sadar bahwa putrinya adalah segala yang masih ia miliki dari istrinya. Ia mulai menangis lagi karena tahu bahwa selama ini ia bukan ayah yang cukup baik bagi anaknya. Keesokan paginya, secara ajaib, kotak musik itu ada di bawah Pohon Natal mereka, dan gambar malaikat yang terukir di atasnya ternyata betul-betul mirip wanita yang ditemuinya pada malam sebelumnya.
Tidak terlalu buruk sebetulnya. Kenyataannya, banyak orang menangis bercucuran air mata setiap kali mereka menontonnya. Karcisnya selalu habis terjual di setiap pementasan. Karena demikian populernya, Hegbert akhirnya memindahkan pertunjukannya dari gereja ke Beaufort Playhouse, yang menyediakan lebih banyak tempat duduk. Pada saat aku kelas 3 SMU, pertunjukannya sudah diselenggarakan dua kali dan tetap selalu ramai, yang merupakan suatu prestasi tersendiri, mengingat siapa yang tampil dalam pertunjukan ini.
Hegbert ingin anak-anak muda yang berperan dalam drama itu—para siswa SMU, bukan anggota grup teater. Kurasa ia menganggap itu sebagai suatu pengalaman belajar yang baik sebelum para siswa memasuki perguruan tinggi dan berhadapan langsung dengan para pezina. Hegbert memang orang yang selalu berusaha melindungi kita dari berbagai godaan. Ia ingin kita tahu bahwa Tuhan ada di atas sana mengawasi kita, bahkan di saat kita sedang berada jauh dari rumah, dan jika kau percaya pada Tuhan, akhirnya semua akan terselesaikan dengan baik. Suatu pelajaran yang pada akhirnya kupelajari juga, meskipun bukan Hegbert yang mengajarkannya padaku.
Seperti yang sudah kuceritakan, Beaufort adalah kota yang berciri khas daerah selatan, meskipun mempunyai kisah sejarah yang menarik. Blackbeard, si bajak laut, pernah memiliki rumah di sini, dan kapalnya, Queen Anne’s Revenge, katanya terkubur di suatu tempat dalam pasir tidak jauh dari pantai. Belum lama ini beberapa ahli arkeologi atau kelautan atau entah siapa yang suka mencari hal-hal seperti itu mengatakan bahwa mereka telah menemukan kapal itu. Tapi sejauh ini tak seorang pun merasa betul-betul yakin, mengingat kapal itu sudah karam lebih dari 250 tahun. Lagi pula, kita kan tidak bisa mengecek kapal itu melalui STNK-nya. Kota Beaufort sudah ada sebelum tahun 1950-an, meskipun masih belum bisa disebut kota metropolitan atau apalah namanya. Beaufort memang, dan selalu akan, menjadi kota kecil. Tapi ketika aku tumbuh dewasa, Beaufort ternyata mendapat tempat di peta. Untuk jelasnya, distrik wilayah kongres yang mencakup kota Beaufort meliputi seluruh bagian timur negara bagian—dengan luas sekitar dua puluh lima ribu mil persegi—dan hampir tidak ada sebuah kota pun yang berpenduduk lebih daripada 25.000 jiwa. Bahkan dibandingkan dengan kota-kota itu, Beaufort masih dianggap kecil. Seluruh bagian timur dari Raleigh dan utara dari Wilmington, terus sampai ke perbatasan daerah Virginia, merupakan distrik yang diwakili oleh ayahku.
Kurasa kau pernah mendengar namanya. Ia memang tokoh legendaris, bahkan sampai sekarang. Namanya Worth Carter, dan selama hampir tiga puluh tahun menduduki jabatan
sebagai anggota kongres. Slogannya setiap dua tahun sekali selama musim kampanye adalah “Worth Carter mewakili—,” dan seseorang diharapkan mengisinya dengan nama kota tempat ia tinggal. Aku masih ingat bagaimana aku dan Mom harus memperlihatkan kepada orang-orang bahwa ayahku adalah pria yang mencintai keluarganya setiap kali kami melakukan perjalanan. Kami akan melihat stiker-stiker itu di bumper mobil, dengan isian nama-nama seperti Otway, Chocawinity, atau Seven Springs. Di zaman sekarang hal-hal seperti itu dianggap basi, tapi dulu itu cara yang cukup canggih untuk publisitas. Kurasa kalau ia mencoba melakukan itu sekarang, pihak oposisinya akan menyelipkan segala macam ungkapan kotor di bagian yang kosong itu, tapi kami tidak pernah melihat itu sekali pun. Oke, mungkin satu kali. Seorang petani dari Duplin County pernah membubuhkan kata shit di bagian kosong itu, dan ketika ibuku melihatnya, ia menutup mataku dan mengucapkan sebuah doa pendek untuk memohon maaf bagi bajingan tidak terpelajar yang malang itu. Ibuku tidak mengucapkan persis begitu, tapi intinya seperti itu.
Jadi ayahku, Mr. Congressman, adalah tokoh masyarakat, dan semua orang tahu itu, termasuk si tua Hegbert. Nah, mereka berdua tidak merasa cocok satu sama lain, sama sekali tidak. Meskipun ayahku selalu pergi ke gereja Hegbert setiap kali ia ada di rumah, dan sejujurnya ayahku jarang sekali berada di rumah. Selain percaya bahwa para pezina ditakdirkan untuk membersihkan WC di neraka, Hegbert juga percaya bahwa komunisme merupakan “suatu penyakit yang menyeret umat manusia menuju alam kebatilan”. Meskipun penggunaan kata itu kurang tepat—aku tidak dapat menemukan padanannya di dalam kamus mana pun—jemaatnya toh mengerti apa yang ia maksud. Mereka juga tahu bahwa Hegbert sedang mengarahkan kata-katanya secara khusus pada ayahku, yang akan duduk dengan mata terpejam dan pura-pura tidak mendengar. Ayahku merupakan salah satu anggota komite Parlemen yang bertugas mengawasi infiltrasi “pengaruh Merah” ke dalam semua aspek kehidupan bernegara, termasuk bidang pertahanan nasional, pendidikan tinggi, dan bahkan dalam perkebunan tembakau. Kalau harus ingat bahwa kejadian ini berlangsung selama masa perang dingin, ketegangan-ketegangan terasa semakin meningkat, dan orang-orang di North Carolina membutuhkan sesuatu untuk meredakannya. Secara konsisten ayahku terus mencari fakta, yang dianggap tidak relevan oleh orang-orang seperti Hegbert.
Sesudahnya, setelah ayahku pulang dari gereja, ia akan mengatakan sesuatu seperti “Pendeta Sullivan sedikit aneh hari ini. Aku harap kalian menangkap bagian dari Alkitab tentang Yesus yang berbicara mengenai kaum miskin…”
Ya, Dad…
Ayahku memang berusaha meredakan berbagai situasi setiap kali ada kesempatan. Kurasa karena itulah ia bisa bercokol begitu lama di Kongres. Ia bisa mencium bayi paling jelek dalam sejarah umat manusia dan masih bisa menemukan sesuatu yang simpatik untuk diucapkan. “Dia anak yang tenang sekali,” akan dikatakannya jika si bayi mempunyai kepala yang besar, atau “Aku yakin dia gadis kecil yang paling manis di dunia ini,” kalau si bayi memiliki tanda lahir yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Pernah seorang wanita muncul dengan seorang bocah di atas kursi roda. Ayahku menoleh ke arah anak itu dan berkata, “Aku berani taruhan sepuluh lawan satu bahwa kau anak yang paling pintar di kelasmu.” Dan nyatanya memang begitu! Yeah, ayahku memang hebat sekali dalam hal-hal seperti itu. Ia selalu bisa mengatasi situasinya dengan cara yang terbaik. Dan ia bukanlah orang jahat, terutama kalau kau mempertimbangkan fakta bahwa ia tidak pernah memukulku atau semacamnya.
Tapi ia tidak menemaniku saat aku tumbuh dewasa. Aku tidak suka mengatakannya karena belakangan ini orang-orang cenderung menyatakan hal-hal seperti itu bahkan di saat orangtua mereka dulu ada di sana menemani mereka dan menggunakannya sebagai alasan untuk perilaku
mereka. Ayahku… ia tidak mencintaiku… karena itulah aku menjadi penari telanjang dan tampil dalam The Jerry Springer Show… Aku tidak menjadikannya alasan yang menjadikanku pribadi seperti sekarang ini, aku cuma menyatakannya sebagai suatu fakta. Ayahku biasa pergi selama sembilan bulan dalam setahun, tinggal di apartemen di Washington, D.C., sekitar lima ratus kilometer dari tempat kami. Ibuku tidak ikut bersamanya karena ayah dan ibuku ingin aku dibesarkan “dengan cara yang sama seperti mereka”.
Tentu saja, kakekku selalu mengajak ayahku berburu dan memancing, mengajarkannya main bola, menghadiri pesta-pesta ulang tahun ayahku, semua hal kecil yang kalau dikumpulkan menjadi berarti sebelum memasuki usia dewasa. Ayahku, di lain pihak, adalah sosok yang asing, seseorang yang nyaris tidak kukenal. Sampai umur lima tahun, aku mengira bahwa semua ayah tinggal di suatu tempat. Baru setelah sahabatku, Eric Hunter, bertanya padaku sewaktu TK siapa pria yang muncul di rumahku pada malam sebelumnya, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres mengenai keadaanku.
“Dia ayahku,” sahutku bangga.
“Oh,” ujar Eric sambil memeriksa isi kotak makan siangku untuk mencari cokelat Milky Way-ku, “Aku tidak tahu kau punya ayah.”
Ucapan itu terasa seperti tamparan telak di wajahku.
Jadi, aku dibesarkan oleh ibuku. Ia wanita yang baik, manis, dan lembut, jenis ibu yang diimpikan oleh hampir setiap orang. Namun ia bukan, dan tidak akan pernah bisa menjadi panutan pria dalam hidupku. Kenyataan itu, ditambah dengan buyarnya ilusiku mengenai ayahku di saat aku tumbuh dewasa, membuatku menjadi pemberontak, bahkan di usia yang sangat muda. Sebaiknya aku ingatkan padamu bahwa kenakalanku tidak bersifat jahat. Aku dan teman-temanku akan menyelinap keluar malam-malam dan sekali-sekali menyabuni kaca-kaca mobil atau makan kacang rebus di taman pemakaman di belakang gereja, tapi di tahun lima puluhan hal-hal seperti itulah yang akan membuat para orangtua lain menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik kepada anak-anak mereka, “Kau jangan seperti si Carter. Sebentar lagi dia pasti akan masuk penjara.”
Aku. Si berandal. Hanya karena makan kacang rebus di taman pemakaman. Coba bayangkan.
Singkat cerita, ayahku dan Hegbert tidak cocok satu sama lain, tapi bukan hanya karena pandangan politik mereka yang berbeda. Tidak, sepertinya ayahku dan Hegbert sudah saling mengenal sejak lama. Usia Hegbert sekitar dua puluh tahun lebih tua daripada ayahku, dan sebelum ia menjadi pendeta, ia pernah bekerja untuk kakekku. Kakekku—meskipun ia menghabiskan banyak waktu bersama ayahku—adalah seorang bajingan. Omong-omong, dialah yang menjadikan keluarga kami kaya-raya, tapi aku tidak ingin kau membayangkan dirinya sebagai orang yang banting tulang mati-matian dalam bekerja, dan memupuk kekayaannya perlahan-lahan. Kakekku jauh lebih lihai daripada itu. Caranya mengumpulkan uang amat sederhana—ia memulai usahanya sebagai penyelundup minuman keras, yang menimbun kekayaannya selama masa berlakunya Undang-undang Larangan Perdagangan Minuman Keras dengan memasok rum dari Kuba. Selanjutnya ia mulai membeli tanah dan menyewa buruh tani bagi hasil untuk mengolahnya. Ia memungut sembilan puluh persen dari uang yang dihasilkan oleh para petani untuk panen tembakau mereka, dan meminjamkan uang di saat mereka membutuhkan dengan bunga yang amat tinggi. Tentu saja, ia tidak pernah berniat menagih uangnya—hanya ia akan menyita tanah atau peralatan apa pun yang kebetulan mereka miliki. Setelah itu, mengikuti apa yang ia sebut sebagai “saat penuh inspirasinya”, ia membuka bank dengan nama Carter Banking and Loan. Satu-satunya bank lain dalam radius dua county secara misterius terbakar habis, dan tidak pernah dibuka kembali karena dampak Depresi. Meskipun
semua orang tahu apa yang sesungguhnya terjadi, tak pernah ada orang yang berkomentar karena takut akan akibatnya. Ketakutan yang ternyata memang bukan tidak beralasan. Bank itu bukan satu-satunya bangunan yang terbakar secara misterius.
Ia mengenakan bunga pinjaman yang luar biasa besar. Perlahan-lahan ia mulai menguasai lebih banyak tanah dan properti lain saat semakin banyak orang tidak bisa membayar utang. Saat Depresi mencapai puncaknya, ia menyita puluhan kegiatan usaha di seluruh pelosok daerah dengan tetap mempertahankan si pemilik usaha untuk melanjutkan usahanya dengan gaji ala kadarnya, karena para pengusaha itu juga sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Ia menjanjikan pada mereka bahwa begitu situasi ekonomi membaik, ia akan menjual bisnis mereka kembali pada mereka, dan orang-orang biasanya selalu mempercayai ucapannya.
Namun, tak pernah sekali pun ia memegang janjinya. Pada akhirnya ia menguasai kegiatan perekonomian di wilayah itu, dan menyalahgunakan kekuasaannya dengan segala cara.
Sebetulnya aku ingin mengatakan bahwa pada akhirnya ia menemui ajalnya dengan cara yang mengenaskan, namun kenyataannya tidak demikian. Ia meninggal di usia tua selagi tidur bersama wanita simpanannya di atas kapal pesiarnya di perairan Kepulauan Cayman. Ia hidup lebih lama daripada kedua istri dan putra tunggalnya. Suatu akhir yang luar biasa bagi orang seperti dia, bukan? Berdasarkan pengalaman aku tahu hidup ini memang tidak pernah adil. Pelajaran di sekolah berbeda dengan pelajaran dalam kehidupan nyata.
Tapi kembali ke cerita kita… Begitu Hegbert menyadari bahwa kakekku seorang bajingan, ia berhenti bekerja dan masuk sekolah teologi. Setelah itu ia kembali ke Beaufort dan mulai menjadi pendeta di gereja yang selalu kami datangi. Ia melewatkan tahun-tahun pertamanya dengan menyempurnakan khotbah bulanannya yang berapi-api mengenai dampak keserakahan, yang menyita hampir seluruh waktunya untuk hal-hal yang lain. Ia berusia empat puluh tiga tahun ketika menikah, dan berusia lima puluh lima tahun ketika putrinya, Jamie Sullivan, lahir. Istrinya, yang bertubuh mungil dan lebih muda dua puluh tahun daripada Hegbert, mengalami enam kali keguguran sebelum Jamie lahir dan akhirnya meninggal dalam persalinan, membuat Hegbert terpaksa membesarkan putrinya seorang diri.
Begitulah latar belakang di balik kisah drama itu.
Orang-orang mengenal ceritanya bahkan sebelum drama itu dipentaskan untuk pertama kali. Cerita itu merupakan salah satu cerita yang biasa dibicarakan orang setiap kali Hegbert akan membaptis seorang bayi atau memimpin suatu upacara pemakaman. Semua tahu ceritanya, dan kurasa karena itulah begitu banyak orang terharu saat menyaksikan drama Natal itu. Mereka tahu kisah itu berdasarkan kisah nyata, sehingga memberi arti khusus di dalamnya.
Jamie Sullivan duduk di kelas 3 SMU, sama seperti aku, dan ia sudah terpilih untuk berperan sebagai malaikat—orang lain jelas tak punya peluang untuk peran itu. Tentu saja, hal ini menjadikan drama kali ini menjadi ekstra spesial tahun itu. Sesuatu yang sangat akbar, mungkin paling akbar—setidaknya dalam pandangan Miss Garber. Sebagai guru drama, ia sudah amat antusias menanggapi berbagai kemungkinan sejak pertama kali aku duduk di kelasnya.
Aku sama sekali tidak berencana untuk mengambil pelajaran drama tahun itu. Sungguh! Tapi pilihannya cuma itu atau kimia II. Tadinya kukira ini kelas yang enteng, terutama dibandingkan dengan pilihanku yang lain. Tidak ada makalah, tidak ada ujian, tidak ada tabel di mana aku harus menghafalkan proton dan neutron serta mengombinasikan unsur dalam berbagai rumus… mana mungkin ada pilihan yang lebih baik bagi seorang siswa SMU? Sepertinya asyik sekali, dan ketika mendaftarkan diri, aku membayangkan diriku akan tidur sepanjang pelajaran itu, yang mengingat kegiatan makan kacang malam-malamku, menjadi amat relevan.
Pada hari pertama aku menjadi salah satu yang terakhir masuk kelas, persis hanya beberapa detik sebelum bel berbunyi, dan langsung duduk di deretan belakang. Miss Garber sedang memunggungi kelas, sibuk menulis namanya dalam huruf-huruf yang besar dan melingkar, seakan kami tidak tahu siapa dia. Semua tahu siapa dia—rasanya tidak mungkin tidak. Postur tubuhnya besar, tingginya paling tidak 180 cm, dengan rambut merah menyala dan kulit pucat yang menampakkan bintik-bintik di usianya yang menjelang empat puluh itu. Ia juga kelebihan berat—mungkin beratnya lebih dari seratus kilo—dan ia senang memakai gaun-gaun longgar bercorak bunga. Ia mengenakan kaca mata tebal, berbingkai tanduk berwarna gelap, dan ia menyapa semua orang dengan, “Haloooooo,” sambil seperti melantunkan suku kata yang terakhir. Miss Garber memang unik, itu pasti, dan ia masih lajang, yang menjadikan situasinya semakin mengenaskan. Seorang pria, berapa pun usianya, mau tidak mau akan merasa kasihan pada wanita seperti dia.
Di bawah namanya ia menulis beberapa tujuan yang ingin dicapainya untuk tahun itu. Nomor satu adalah “Percaya diri”, disusul “Sadar diri” dan yang ketiga, “Kepuasan diri”. Miss Garber memang ahli dalam soal yang menyangkut “diri”, yang menurut teori psikoterapi membuatnya berada di luar lingkup, meskipun ia mungkin tidak menyadarinya pada waktu itu. Miss Garber memang seorang perintis dalam bidang itu. Mungkin itu berhubungan dengan penampilannya, mungkin ia cuma berusaha untuk merasa lebih baik mengenai dirinya sendiri.
Tapi aku tidak yakin.
Baru setelah pelajaran dimulai aku menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Meskipun Beaufort High School tidak besar, aku tahu bahwa perbandingan antara siswa laki-laki dan perempuan adalah lima puluh banding lima puluh. Karena itulah aku terkejut bahwa murid di kelas ini sedikitnya sembilan puluh persen perempuan. Hanya ada satu siswa laki-laki lain di kelas itu, yang menurutku adalah hal positif, dan untuk sesaat perasaan “bersiap-siaplah, ini aku datang” melanda diriku. Cewek, cewek, cewek… pikirku. Cewek di mana-mana dan tidak ada ujian.
Oke, jadi aku bukan orang yang berpikir jauh ke depan.
Miss Garber mulai berbicara tentang drama Natal dan mengatakan pada semua siswa bahwa Jamie Sullivan akan menjadi malaikat tahun itu. Miss Garber mulai bertepuk tangan—ia juga anggota gereja—dan banyak yang berpendapat bahwa ia sedang naksir Hegbert. Saat pertama kali mendengar gosip itu, yang terlintas dalam benakku adalah untuk mereka sudah terlalu tua untuk punya anak, seandainya saja mereka sampai menikah. Bayangkan—transparan dengan bintik-bintik? Pemikiran tentang hal itu saja sudah cukup untuk membuat orang mendiring, tapi tentu saja tak seorang pun mengatakan apa-apa tentang itu, setidaknya dalam batas pendengaran Miss Garber dan Hegbert. Gosip adalah satu hal, tapi gosip yang menyakitkan adalah hal yang sangat berbeda, bahkan di SMU pun kami tidak sekejam itu.
Miss Garber masih bertepuk tangan, sendirian selama beberapa saat, sampai kami semua akhirnya ikut bertepuk tangan, karena jelas itulah yang diinginkannya. “Berdirilah, Jamie,” ujarnya. Jamie berdiri dan menoleh ke sana kemari, dan Miss Garber mulai bertepuk tangan dengan lebih bersemangat, seakan ia sedang berdiri menyambut kehadiran seorang bintang film ternama.
Jamie Sullivan memang gadis yang baik. Ia memang benar-benar baik. Beaufort kota kecil, sehingga hanya memiliki sebuah sekolah dasar. Karena itulah kami duduk di kelas-kelas yang sama seumur hidup kami, dan aku akan berbohong kalau mengatakan bahwa aku tidak pernah berbicara dengannya. Sekali, di kelas dua, ia duduk di sampingku selama setahun penuh, dan kami kadang-kadang mengobrol, meskipun itu tidak berarti bahwa aku menghabiskan banyak
waktu bersamanya dalam waktu senggangku. Dengan siapa aku bergaul di sekolah merupakan satu hal; dengan siapa aku bergaul setelah sekolah benar-benar berbeda, dan nama Jamie tidak pernah tercantum di dalam agenda pergaulanku.
Itu tidak berarti bahwa Jamie tidak menarik—jangan salah sangka. Ia sama sekali tidak jelek atau semacamnya. Untungnya ia mewarisi penampilan ibunya, yang lumayan cantik berdasarkan foto-foto yang pernah aku lihat, terutama mengingat siapa yang dinikahinya. Namun Jamie juga tidak bisa kuanggap menarik. Selain kenyataan bahwa ia bertubuh kurus, dengan rambut pirang madu, dan mata biru lembut, sering kali ia kelihatan… sederhana, itu pun kalau kau secara kebetulan memperhatikannya. Jamie tidak begitu peduli mengenai penampilan luar, karena ia selalu mencari hal-hal seperti “kecantikan yang terpancar dari dalam”, dan kurasa karena itulah ia tampak apa adanya. Selama aku mengenalnya—dan ingat, aku mengenalnya sudah sejak lama sekali—rambutnya selalu disanggul ke atas, mirip perawan tua, tanpa sedikit pun makeup di wajahnya. Ditambah dengan cardigan cokelat dan rok kotak-kotak, ia selalu tampak seakan sedang melamar pekerjaan sebagai pustakawan. Kami dulu menganggap itu hanya suatu fase, dan pada akhirnya Jamie akan melewatinya, namun kenyataannya tidak begitu. Bahakn selama tiga tahun pertama kami di SMU, ia tidak berubah sama sekali. Satu-satunya yang berubah hanyalah ukuran pakaiannya.
Bukan hanya penampilan Jamie yang membuatnya berbeda; tapi juga caranya bersikap. Jamie tidak pernah melewatkan waktunya dengan nongkrong di Cecil’s Diner atau pergi berpesta menginap bersama gadis-gadis lain, dan setahuku ia tidak pernah punya pacar seumur hidupnya. Si tua Hegbert mungkin akan mendapat serangan jantung kalau Jamie sampai punya pacar. Namun jika entah ada angin apa yang menyebabkan Hegbert mengizinkan putrinya punya pacar, hal itu tetap tidak ada bedanya. Jamie selalu membawa Alkitab ke mana pun ia pergi, dan jika bukan penampilannya atau Hegbert yang membuat anak laki-laki menjauh, penyebabnya pastilah Alkitab itu. Oke, aku menyukai Alkitab seperti kebanyakan anak lelaki remaja pada umumnya, namun Jamie sepertinya menikmatinya dengan cara yang sama sekali asing bagiku. Ia tidak hanya mengikuti pendalaman Alkitab selama masa liburan bulan Agustus, tapi juga membaca Alkitab selama istirahat makan siang di sekolah. Menurut pendapatku ini tidak normal, bahkan untuk putri seorang pendeta sekalipun. Di lihat dari sudut mana pun, membaca Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus tidak mungkin lebih menyenangkan daripada merayu cewek, kalau kau mengerti maksudku.
Namun keanehan Jamie tidak sampai di situ saja. Berkat kebiasaannya membaca Alkitab, atau mungkin karena pengaruh Hegbert, Jamie meyakini pentingnya menolong orang lain, dan itulah yang dilakukannya. Aku tahu ia menjadi relawan di panti asuhan di Morehead City, tapi untuk Jamie itu saja tidak cukup. Ia selalu ikut serta dalam kegiatan pengumpulan dana, membantu semua orang mulai dari kegiatan Pramuka sampai pemilihan Putri Indian. Aku juga tahu ketika Jamie berusia empat belas tahun, ia melewatkan sebagian liburan musim panasnya dengan mengecat bagian luar rumah seorang tetangga yang sudah tua.
Jamie adalah gadis yang akan mencabuti ilalang di kebun seseorang tanpa diminta atau membantu anak-anak menyeberangi jalan. Ia akan menabung uang sakunya untuk membeli sebuah bola basket baru untuk anak-anak yatim piatu, atau memasukkan uangnya ke dalam keranjang kolekte gereja pada hari Minggu.
Dengan kata lain, ia adalah tipe gadis yang akan membuat kami semua tampak buruk. Setiap kali ia melirik ke arahku, mau tidak mau aku akan merasa bersalah, bahkan di saat aku tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Jamie juga tidak hanya membatasi perbuatan baiknya kepada manusia. Seandainya ia berpapasan dengan seekor binatang yang terluka, ia juga akan berusaha menolong. Cerpelai, tupai, anjing, kucing, katak… baginya tidak ada bedanya. Dr. Rawlings, si dokter hewan, akan langsung mengenalinya dan menggeleng-gelengkan kepalanya begitu melihat Jamie berjalan menuju ruang prakteknya sambil membawa sebuah kardus yang berisi seekor binatang. Ia akan melepaskan kaca matanya dan membersihkannya dengan sapu tangan, sementara Jamie menjelaskan bagaimana cara ia menemukan makhluk malang itu dan apa yang telah menimpanya. “Ia ditabrak mobil, Dr. Rawlings. Kurasa sudah merupakan rencana Tuhan agar aku menemukannya dan berusaha untuk menyelamatkannya. Anda mau membantuku, kan?”
Dengan Jamie, segalanya merupakan rencana Tuhan. Itu merupakan suatu hal lagi. Ia selalu menyebut rencana Tuhan setiap kali kau berbicara dengannya, tidak peduli apa pun topiknya. Pertandingan baseball batal karena turun hujan? Tentunya sudah rencana Tuhan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang lebih buruk lagi. Ulangan mendadak trigonometri sehingga seluruh kelas mendapat nilai jelek? Tentunya rencana Tuhan untuk memberikan tantangan pada kita. Kau mengerti maksudku, kan?
Kemudian, tentu saja, masih ada kendala lain berupa Hegbert, yang tidak membantunya sama sekali. Posisinya sebagai putri seorang pendeta bukan hal yang mudah, namun ia membuatnya menjadi sesuatu yang sangat wajar dalam hidup ini, dan ia merasa amat beruntung diberkati dengan cara itu. Jamie biasa berkata, “Aku begitu beruntung memiliki ayah seperti ayahku.” Setiap kali ia mengatakan itu, kami semua hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati kami bertanya dari planet manakah ia sebetulnya berasal.
Namun, di samping semua ini, hal yang paling membuatku kesal mengenai dirinya adalah kenyataan bahwa ia selalu tampak begitu ceria, tidak peduli apa pun yang terjadi di sekitarnya. Aku berani bersumpah, gadis itu tidak pernah mengucapkan sesuatu yang buruk mengenai apa pun atau siapa pun, bahkan kepada kami yang tidak selalu begitu baik padanya. Ia akan bersenandung sendiri saat berjalan, melambai ke arah orang-orang yang tidak dikenalnya yang kebetulan lewat dengan mobil mereka. Kadang-kadang ibu-ibu akan lari ke luar rumah untuk menawarkan roti buah padanya setelah mereka memanggangnya seharian atau limun di saat matahari bersinar terik. Sepertinya semua orang dewasa di kota ini menyayanginya. “Ia gadis yang begitu manis,” puji mereka setiap kali nama Jamie muncul dalam percakapan. “Dunia ini akan jadi tempat yang lebih baik kalau ada lebih banyak orang seperti dia.”
Namun aku dan teman-temanku tidak melihatnya seperti itu. Dalam pandangan kami, seorang Jamie Sullivan sudah cukup banyak.
Aku sedang memikirkan semua ini sementara Jamie berdiri di hadapan kami pada hari pertama di kelas drama itu, dan kuakui bahwa aku tidak merasa begitu tertarik untuk melihatnya. Namun anehnya, ketika Jamie berbalik ke arah kami, aku langsung terkejut, seakan aku duduk di atas kabel listrik yang terbuka atau semacamnya. Ia memakai rok kotak-kotak dengan blus putih di balik cardigan cokelat yang sama seperti yang biasa kulihat jutaan kali, namun ada dua buah gundukan baru di dadanya yang tidak bisa disembunyikan oleh cardigannya. Aku berani sumpah gundukan itu tidak ada di sana sekitar tiga bulan sebelumnya. Ia tidak pernah memakai makeup dan masih tidak memakainya, namun kulitnya tampak segar, mungkin setelah mengikuti pendalaman Alkitab, dan untuk pertama kalinya ia tampak—hampir cantik. Tentu saja, aku langsung menyisihkan pikiran itu dari kepalaku. Namun saat ia melayangkan pandangan ke sekelilingnya, ia berhenti sebentar dan tersenyum padaku, jelas-jelas senang melihatku ada di kelas itu. Lama setelah itu aku baru tahu apa alasannya.

0 Comments:

Post a Comment