A Walk To Remember Baca Online Bab 5
BAB 5
KEESOKAN harinya aku berbicara dengan Miss Garber, mengikuti audisi, dan mendapatkan peran itu. Omong-omong, Eddie sama sekali tidak kecewa. Malah aku bisa melihat ia merasa amat lega dengan situasinya sekarang. Ketika Miss Garber bertanya padanya apakah ia tidak keberatan kalau aku yang berperan sebagai Tom Thornton, seketika wajahnya langsung tenang dan matanya melebar. “T-t-tidak, s-sama sekali tidak,” ujarnya tergagap. “A-a-aku m-mengerti.” Ia butuh waktu sepuluh detik untuk mengucapkan kata-kata itu.
Berkat kemurahan hatinya, Miss Garber memberinya peran sebagai si gelandangan, dan kami semua tahu bahwa ia mampu memerankannya dengan cukup baik. Tokoh gelandangan dalam drama itu bisu, namun si malaikat selalu tahu persis apa yang ada dalam pikirannya. Dalam satu adegan malaikat itu harus mengatakan kepada si gelandangan bisu bahwa Tuhan akan selalu menjaganya karena Tuhan menyayangi mereka yang miskin dan terlupakan. Itu merupakan salah satu petunjuk untuk para penonton bahwa malaikat itu memang dikirim dari surga. Seperti kuceritakan sebelumnya, Hegbert ingin betul-betul menekankan siapa yang menawarkan keselamatan dan penebusan dosa, dan itu sudah pasti bukan berasal dari hantu-hantu yang tidak jelas dari mana asalnya.
Latihan akan dimulai minggu depan, dan kami berlatih di ruang kelas, karena Playhouse tidak boleh digunakan sebelum kami dapat mengatasi semua “kecanggungan” kami. Kecanggungan di sini maksudnya kecenderungan kami untuk secara tidak sengaja merusak properti panggung. Properti itu dibuat sekitar lima belas tahun yang lalu oleh Toby Bush, ketika drama itu pertama kali dipentaskan. Seorang pekerja serabutan yang tidak punya pekerjaan tetap dan sudah pernah mengerjakan beberapa proyek untuk Playhouse sebelumnya. Ia tidak punya pekerjaan tetap karena ia terus minum bir sepanjang hari selama bekerja, dan sekitar pukul dua siang ia sudah dalam keadaan mabuk. Kurasa ia tidak dapat melihat dengan baik, karena ia sering secara tidak sengaja memukul jarinya sendiri dengan palu sedikitnya sekali dalam sehari. Setiap kali itu terjadi, ia akan melempar palunya dan melompat-lompat, sambil memegangi jarinya dan menyumpahi semua orang mulai dari ibunya sampai iblis. Setelah lebih tenang, ia akan mengambil bir lagi untuk meredakan rasa sakitnya sebelum kembali bekerja. Buku-buku jarinya sebesar buah kenari, selalu dalam keadaan bengkak karena sekian tahun kena palu, dan tak seorang pun mau menyewa tenaganya sebagai seorang pegawai tetap. Satu-satunya alasan Hegbert mempekerjakannya adalah karena Toby mau dibayar murah.
Namun Hegbert tidak mengizinkan kebiasaan minum-minum atau sumpah serapahnya, sedangkan Toby betul-betul tidak tahu bagaimana caranya berkerja dalam suatu lingkungan yang menerapkan peraturan ketat. Akibatnya, hasil pekerjaannya cuma asal jadi, meskipun itu tidak terlalu kelihatan. Setelah beberapa tahun berbagai properti panggung itu mulai rontok, dan Hegbert yang berusaha memperbaikinya sendiri. Hegbert memang ahli dalam membalik-balik halaman Alkitab, tapi ia tidak cukup mahir memalu paku. Properti-properti itu penuh dengan paku bengkok dan berkarat yang menonjol ke luar dari mana-mana, menembus permukaan kayu
di begitu banyak tempat sehingga kami harus waspada dalam melangkah. Kalau kami menyenggolnya di tempat yang salah, kami bisa terluka atau properti itu akan ambruk, dan membuat lubang-lubang paku kecil di seluruh permukaan lantai panggung.
Setelah beberapa tahun panggung Playhouse terpaksa dipugar. Meskipun mereka tidak bisa secara tegas menutup pintu untuk Hegbert, mereka meminta padanya untuk lebih berhati-hati di masa mendatang. Itu berarti kami harus berlatih di ruang kelas sampai bisa mengatasi kecanggungan-kecanggungan kami.
Untungnya Hegbert tidak terlibat secara langsung dalam penyutradaraan drama itu, karena kesibukannya sebagai pendeta. Tugas itu jatuh ke tangan Miss Garber, dan hal pertama yang diperintahkannya kepada kami adalah menghafal dialog secepat mungkin. Kami memang tidak punya banyak waktu untuk latihan sebagaimana biasanya karena Thanksgiving jatuh pada hari-hari terakhir di bulan November, dan Hegbert tidak ingin drama itu dipentaskan terlalu dekat dengan Hari Natal, agar tidak mempengaruhi makna sesungguhnya. Akibatnya kami hanya punya waktu tiga minggu untuk mempersiapkan pementasannya sebaik mungkin, yang berarti seminggu lebih cepat daripada biasanya.
Latihan dimulai pada pukul tiga, dan Jamie ternyata sudah hafal dialognya sendiri sejak hari pertama, yang jelas bukan hal yang mengejutkan. Namun yang membuatku terkejut adalah ia juga hafal semua dialogku, dan dialog para pemain lainnya. Di saat kami berlatih satu adegan, ia akan memerankan bagiannya tanpa naskah, sedangkan aku sibuk dengan setumpuk kertas, sambil berusaha menemukan yang mana kalimatku berikutnya. Setiap kali aku mengangkat kepala, aku melihat wajahnya yang penuh antusias, seakan sedang menantikan suatu keajaiban atau entah apa. Satu-satunya dialog yang kukuasai pada hari pertama adalah dialog si gelandangan bisu, dan tiba-tiba aku merasa iri pada Eddie, setidaknya dalam hal itu. Hal ini membutuhkan banyak kerja keras, bukan sesuatu yang kuharapkan saat mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas ini.
Perasaan mulia mengenai partisipasiku dalam drama itu meluntur pada latihan hari kedua. Meskipun aku tahu bahwa aku sedang melakukan “sesuatu yang benar”, teman-temanku tidak mau mengerti, dan mereka terus mengejekku sejak mereka tahu.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Eric begitu mendengar berita itu. “Kau akan main drama bersama Jamie Sullivan? Kau sudah sinting atau memang bodoh?” Aku menggumamkan jawaban bahwa aku punya alasan yang baik, namun Eric belum puas, dan ia mengatakan kepada semua orang bahwa aku jatuh cinta pada Jamie.
Tentu saja aku menyangkalnya, yang justru membuat mereka berasumsi bahwa itu benar, dan mereka tertawa semakin keras dan menceritakannya lagi pada orang berikut yang mereka temui. Ceritanya berkembang menjadi semakin ngawur—menjelang istirahat makan siang aku mendengar dari Sally bahwa aku sedang mempertimbangkan untuk bertunangan. Aku sebetulnya merasa Sally cemburu. Sudah bertahun-tahun ia naksir aku, dan perasaan itu mungkin bisa timbal-balik kecuali oleh fakta bahwa ia memiliki bola mata yang seperti kaca. Hal itu merupakan sesuatu yang sulit kuabaikan. Matanya mengingatkanku pada mata yang dipasang pada mata boneka burung hantu yang biasa dijual di toko antik, dan sejujurnya itu membuatku sedikit merinding.
Kurasa sejak itulah aku kesal lagi pada Jamie. Aku tahu itu bukan salahnya, namun akulah yang harus menerima serangan-serangan yang sebenarnya ditujukan pada Hegbert. Padahal Hegbert masih belum bisa membuatku merasa diterima sejak malam pesta dansa homecoming itu. Aku mulai tergagap-gagap membawakan dialogku di dalam kelas selama beberapa hari berikutnya. Aku tidak sungguh-sungguh berusaha menghafalkannya, dan sekali-sekali aku
membuat lelucon yang membuat semua tertawa, kecuali Jamie dan Miss Garber. Setelah latihan selesai aku langsung pulang untuk segera melupakannya, dan aku bahkan tidak peduli untuk membaca kembali naskahnya. Malah aku menceritakan kepada teman-temanku tentang kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan oleh Jamie dan bagaimana Miss Garber berhasil memaksaku ikut dalam drama ini.
Namun Jamie rupanya tidak berniat melepaskanku begitu saja. Tidak, ia membalasku di tempat yang paling menyakitkan, tepat melukai egoku.
Aku sedang pergi bersama Eric pada hari Sabtu malam setelah pertandingan kejuaraan football reguler di Beaufort, sekitar seminggu setelah latihan drama itu dimulai. Kami sedang berkumpul di tepian perairan di luar Cecil’s Diner, menikmati hushpuppy sambil melihat orang-orang lalu-lalang berkendaraan. Saat itulah aku melihat Jamie sedang berjalan di sepanjang jalan itu. Ia masih berada dalam jarak seratus meter, mengenakan sweter tuanya lagi, menoleh ke sana kemari sementara tangannya membawa Alkitab. Saat itu sudah pukul sembilan, yang berarti sudah larut baginya untuk keluar, dan yang lebih aneh lagi adalah melihatnya berada di bagian kota ini. Aku langsung berbalik memunggunginya dan menaikkan kerah jaketku, namun Margaret—yang biasanya telat mikir—ternyata cukup cerdas untuk tahu siapa yang sedang dicari Jamie.
“Landon, pacarmu datang.”
“Dia bukan pacarku,” sahutku. “Aku tidak punya pacar.”
“Tunanganmu, kalau begitu.”
Kurasa ia juga sempat berbicara dengan Sally.
“Aku belum bertunangan,” sahutku. “Sudah, ah.”
Aku menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Jamie telah melihatku, dan rupanya sudah. Ia sedang berjalan ke arah kami. Aku pura-pura tidak tahu.
“Nah, ia kemari,” ujar Margaret, yang lalu cekikikan.
“Aku tahu,” sahutku.
Dua puluh detik kemudian ia mengatakannya lagi.
“Ia masih menuju kemari.” Jamie memang sigap.
“Aku tahu,” desisku. Kalau bukan karena bentuk kakinya, Margaret bisa membuatmu gila, sama seperti yang dilakukan Jamie.
Aku menoleh ke belakang lagi. Kali ini Jamie tahu aku sudah melihatnya dan ia tersenyum serta melambai ke arahku. Aku membuang muka, dan tak lama setelah itu ia sudah berdiri persis di sebelahku.
“Halo, Landon,” sapanya, tanpa memedulikan wajah kesalku. “Halo, Eric, Margaret…” Ia menegur semua orang satu per satu. Semua menggumamkan “halo” sambil berusaha tidak melihat ke arah Alkitab-nya.
Eric sedang menggenggam sekaleng bir, dan ia menyembunyikannya ke belakang punggungnya agar Jamie tidak melihatnya. Jamie bahkan bisa membuat Eric merasa bersalah saat ia berada cukup dekat dengannya. Mereka dulu bertetangga, dan Eric pernah jadi tempat Jamie menumpahkan semua pendapatnya. Di belakangnya Eric menjuluki Jamie “si penyelamat”, yang jelas-jelas ia kaitkan dengan organisasi Bala Keselamatan—Salvation Army. “Jabatannya seharusnya Brigjen,” seloroh Eric. Tapi begitu Jamie berdiri persis di hadapannya, ceritanya langsung lain. Dalam benak Eric, Jamie memiliki hubungan khusus dengan Tuhan, dan ia tidak ingin menampilkan kesan yang kurang baik pada Jamie.
“Apa kabar, Eric? Aku jarang melihatmu belakangan ini.” Ia mengatakannya seakan masih sering berbicara dengan Eric.
Eric mengubah posisi berdirinya dan menunduk, dengan ekspresi yang memperlihatkan rasa bersalah.
“Ya, aku memang jarang ke gereja akhir-akhir ini,” sahutnya.
Jamie tersenyum ramah. “Kurasa itu tidak apa-apa, asal jangan jadi kebiasaan.”
“Tidak akan.”
Aku pernah mendengar tentang pengakuan dosa—yang dilakukan oleh umat Katolik dengan duduk di bilik bersekat dan mengungkapkan semua dosa mereka pada seorang pastor—dan seperti itulah Eric saat ia berada di dekat Jamie. Untuk sesaat aku merasa Eric akan memanggilnya dengan sebutan “ma’am”.
“Kau mau bir?” tanya Margaret. Kurasa ia sedang mencoba melucu, namun tidak ada yang tertawa.
Jamie mengangkat tangannya untuk menyentuh rambutnya. “Oh… tidak, tidak usah… tapi, terima kasih.”
Ia menatapku lekat-lekat dengan mata yang bersinar ramah, dan aku langsung tahu bahwa aku dalam kesulitan. Tadinya kukira Jamie akan memintaku berbicara empat mata atau semacamnya, yang sejujurnya kurasa akan lebih baik, namun ternyata bukan itu rencananya.
“Kau benar-benar tampil bagus dalam latihan minggu ini,” katanya padaku, “Aku tahu kau harus mengingat banyak dialog, tapi aku yakin kau akan segera menghafalnya. Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih karena mau menawarkan diri waktu itu. Kau memang pria sejati.”
“Trims,” sahutku, perutku mulai mulas. Aku mencoba untuk tetap bersikap tenang, tapi semua temanku sedang menatapku, tiba-tiba mempertanyakan apakah aku telah mengatakan yang sebenarnya pada mereka tentang Miss Garber yang memaksaku dan entah apa lagi.
“Teman-temanmu seharusnya bangga,” lanjut Jamie.
“Oh, tentu saja,” sahut Eric antusias. “Bangga sekali. Landon ini memang orang baik, sampai rela menawarkan diri.”
Gawat.
Jamie tersenyum pada Eric, kemudian berpaling kembali padaku, wajahnya riang seperti biasa. “Aku juga ingin mengatakan jika kau perlu bantuan, kau boleh datang kapan saja. Kita bisa duduk di teras seperti waktu itu dan berlatih dengan dialog-dialog yang kaurasa perlu.”
Aku melihat mulut Eric membentuk kata-kata “seperti waktu itu” ke arah Margaret. Situasinya semakin gawat. Perutku terasa semakin mual.
“Oke,” gumamku, sambil bertanya-tanya bagaimana aku bisa melepaskan diri dari semua ini. “Aku bisa menghafalnya di rumah.”
“Landon, kadang-kadang membantu lho jika ada teman berlatih,” usul Eric.
Sudah kubilang Eric suka menggodaku, meskipun ia sahabatku.
“Tidak usah, sungguh,” kataku pada Eric. “Aku akan menghafalnya sendiri.”
“Mungkin,” ujar Eric sambil tersenyum, “ada baiknya kalau kalian berdua latihan di depan anak-anak panti asuhan saat kalian sudah menguasainya dengan lebih baik. Semacam geladi resik, kan? Aku yakin mereka akan menikmatinya.”
Boleh dibilang kau bisa melihat cara otak Jamie bekerja begitu kata panti asuhan itu disebut. Semua tahu bahwa itu adalah obsesinya. “Menurutmu begitu?” tanya Jamie.
Eric mengangguk serius. “Aku yakin. Landon sebetulnya yang pertama kali punya ide itu, tapi aku tahu kalau aku seorang anak yatim piatu, aku akan menyukainya, meskipun itu cuma pertunjukan drama.”
“Aku juga,” timpal Margaret.
Saat mereka membicarakannya, satu-satunya yang terlintas dalam benakku adalah adegan dalam Julius Caesar saat Brutus menikam Caesar dari belakang. Kau juga, Eric?
“Jadi itu ide Landon?” tanya Jamie, sambil mengangkat alisnya. Jamie menatapku, dan aku langsung tahu bahwa ia sedang mempertimbangkan kebenarannya.
Namun Eric tidak berniat melepaskanku begitu saja. Setelah berhasil membuatku terpojok seperti ini, ia bisa menghabisiku dengan mudah. “Kau mau melakukannya, Landon?” tanya Jamie. “Memberikan hiburan pada anak-anak di panti asuhan itu, maksudku.”
Itu sesuatu yang sulit untuk ditolak, kan?
“Kurasa begitu,” kataku tak berdaya sambil memelototi sahabatku. Bila dilatih, Eric bisa jadi pemain catur yang hebat.
“Bagus, kalau begitu semuanya sependapat. Itu kalau kau setuju tentunya, Jamie.” Senyuman Eric begitu manis, sehingga cukup untuk memberi rasa manis pada separo RC Cola yang beredar di seluruh negeri.
“Ehm… oke, kurasa aku bisa membicarakannya dengan Miss Garber dan pimpinan panti asuhan. Jika mereka setuju, kurasa itu ide yang bagus sekali.”
Dan nyatanya, jelas terlihat bahwa Jamie sangat menyukai ide itu.
Sekak Mat.
Hari berikutnya, aku menghabiskan empat belas jam untuk menghafal dialogku, menyumpahi teman-temanku, dan mempertanyakan bagaimana hidupku bisa lepas kendali seperti ini. Tahun terakhirku di SMU jelas tidak akan seperti yang kubayangkan pada awalnya. Tapi kalau aku harus tampil di hadapan sekelompok anak yatim piatu, jelas aku tidak ingin kelihatan seperti orang tolol.
KEESOKAN harinya aku berbicara dengan Miss Garber, mengikuti audisi, dan mendapatkan peran itu. Omong-omong, Eddie sama sekali tidak kecewa. Malah aku bisa melihat ia merasa amat lega dengan situasinya sekarang. Ketika Miss Garber bertanya padanya apakah ia tidak keberatan kalau aku yang berperan sebagai Tom Thornton, seketika wajahnya langsung tenang dan matanya melebar. “T-t-tidak, s-sama sekali tidak,” ujarnya tergagap. “A-a-aku m-mengerti.” Ia butuh waktu sepuluh detik untuk mengucapkan kata-kata itu.
Berkat kemurahan hatinya, Miss Garber memberinya peran sebagai si gelandangan, dan kami semua tahu bahwa ia mampu memerankannya dengan cukup baik. Tokoh gelandangan dalam drama itu bisu, namun si malaikat selalu tahu persis apa yang ada dalam pikirannya. Dalam satu adegan malaikat itu harus mengatakan kepada si gelandangan bisu bahwa Tuhan akan selalu menjaganya karena Tuhan menyayangi mereka yang miskin dan terlupakan. Itu merupakan salah satu petunjuk untuk para penonton bahwa malaikat itu memang dikirim dari surga. Seperti kuceritakan sebelumnya, Hegbert ingin betul-betul menekankan siapa yang menawarkan keselamatan dan penebusan dosa, dan itu sudah pasti bukan berasal dari hantu-hantu yang tidak jelas dari mana asalnya.
Latihan akan dimulai minggu depan, dan kami berlatih di ruang kelas, karena Playhouse tidak boleh digunakan sebelum kami dapat mengatasi semua “kecanggungan” kami. Kecanggungan di sini maksudnya kecenderungan kami untuk secara tidak sengaja merusak properti panggung. Properti itu dibuat sekitar lima belas tahun yang lalu oleh Toby Bush, ketika drama itu pertama kali dipentaskan. Seorang pekerja serabutan yang tidak punya pekerjaan tetap dan sudah pernah mengerjakan beberapa proyek untuk Playhouse sebelumnya. Ia tidak punya pekerjaan tetap karena ia terus minum bir sepanjang hari selama bekerja, dan sekitar pukul dua siang ia sudah dalam keadaan mabuk. Kurasa ia tidak dapat melihat dengan baik, karena ia sering secara tidak sengaja memukul jarinya sendiri dengan palu sedikitnya sekali dalam sehari. Setiap kali itu terjadi, ia akan melempar palunya dan melompat-lompat, sambil memegangi jarinya dan menyumpahi semua orang mulai dari ibunya sampai iblis. Setelah lebih tenang, ia akan mengambil bir lagi untuk meredakan rasa sakitnya sebelum kembali bekerja. Buku-buku jarinya sebesar buah kenari, selalu dalam keadaan bengkak karena sekian tahun kena palu, dan tak seorang pun mau menyewa tenaganya sebagai seorang pegawai tetap. Satu-satunya alasan Hegbert mempekerjakannya adalah karena Toby mau dibayar murah.
Namun Hegbert tidak mengizinkan kebiasaan minum-minum atau sumpah serapahnya, sedangkan Toby betul-betul tidak tahu bagaimana caranya berkerja dalam suatu lingkungan yang menerapkan peraturan ketat. Akibatnya, hasil pekerjaannya cuma asal jadi, meskipun itu tidak terlalu kelihatan. Setelah beberapa tahun berbagai properti panggung itu mulai rontok, dan Hegbert yang berusaha memperbaikinya sendiri. Hegbert memang ahli dalam membalik-balik halaman Alkitab, tapi ia tidak cukup mahir memalu paku. Properti-properti itu penuh dengan paku bengkok dan berkarat yang menonjol ke luar dari mana-mana, menembus permukaan kayu
di begitu banyak tempat sehingga kami harus waspada dalam melangkah. Kalau kami menyenggolnya di tempat yang salah, kami bisa terluka atau properti itu akan ambruk, dan membuat lubang-lubang paku kecil di seluruh permukaan lantai panggung.
Setelah beberapa tahun panggung Playhouse terpaksa dipugar. Meskipun mereka tidak bisa secara tegas menutup pintu untuk Hegbert, mereka meminta padanya untuk lebih berhati-hati di masa mendatang. Itu berarti kami harus berlatih di ruang kelas sampai bisa mengatasi kecanggungan-kecanggungan kami.
Untungnya Hegbert tidak terlibat secara langsung dalam penyutradaraan drama itu, karena kesibukannya sebagai pendeta. Tugas itu jatuh ke tangan Miss Garber, dan hal pertama yang diperintahkannya kepada kami adalah menghafal dialog secepat mungkin. Kami memang tidak punya banyak waktu untuk latihan sebagaimana biasanya karena Thanksgiving jatuh pada hari-hari terakhir di bulan November, dan Hegbert tidak ingin drama itu dipentaskan terlalu dekat dengan Hari Natal, agar tidak mempengaruhi makna sesungguhnya. Akibatnya kami hanya punya waktu tiga minggu untuk mempersiapkan pementasannya sebaik mungkin, yang berarti seminggu lebih cepat daripada biasanya.
Latihan dimulai pada pukul tiga, dan Jamie ternyata sudah hafal dialognya sendiri sejak hari pertama, yang jelas bukan hal yang mengejutkan. Namun yang membuatku terkejut adalah ia juga hafal semua dialogku, dan dialog para pemain lainnya. Di saat kami berlatih satu adegan, ia akan memerankan bagiannya tanpa naskah, sedangkan aku sibuk dengan setumpuk kertas, sambil berusaha menemukan yang mana kalimatku berikutnya. Setiap kali aku mengangkat kepala, aku melihat wajahnya yang penuh antusias, seakan sedang menantikan suatu keajaiban atau entah apa. Satu-satunya dialog yang kukuasai pada hari pertama adalah dialog si gelandangan bisu, dan tiba-tiba aku merasa iri pada Eddie, setidaknya dalam hal itu. Hal ini membutuhkan banyak kerja keras, bukan sesuatu yang kuharapkan saat mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas ini.
Perasaan mulia mengenai partisipasiku dalam drama itu meluntur pada latihan hari kedua. Meskipun aku tahu bahwa aku sedang melakukan “sesuatu yang benar”, teman-temanku tidak mau mengerti, dan mereka terus mengejekku sejak mereka tahu.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Eric begitu mendengar berita itu. “Kau akan main drama bersama Jamie Sullivan? Kau sudah sinting atau memang bodoh?” Aku menggumamkan jawaban bahwa aku punya alasan yang baik, namun Eric belum puas, dan ia mengatakan kepada semua orang bahwa aku jatuh cinta pada Jamie.
Tentu saja aku menyangkalnya, yang justru membuat mereka berasumsi bahwa itu benar, dan mereka tertawa semakin keras dan menceritakannya lagi pada orang berikut yang mereka temui. Ceritanya berkembang menjadi semakin ngawur—menjelang istirahat makan siang aku mendengar dari Sally bahwa aku sedang mempertimbangkan untuk bertunangan. Aku sebetulnya merasa Sally cemburu. Sudah bertahun-tahun ia naksir aku, dan perasaan itu mungkin bisa timbal-balik kecuali oleh fakta bahwa ia memiliki bola mata yang seperti kaca. Hal itu merupakan sesuatu yang sulit kuabaikan. Matanya mengingatkanku pada mata yang dipasang pada mata boneka burung hantu yang biasa dijual di toko antik, dan sejujurnya itu membuatku sedikit merinding.
Kurasa sejak itulah aku kesal lagi pada Jamie. Aku tahu itu bukan salahnya, namun akulah yang harus menerima serangan-serangan yang sebenarnya ditujukan pada Hegbert. Padahal Hegbert masih belum bisa membuatku merasa diterima sejak malam pesta dansa homecoming itu. Aku mulai tergagap-gagap membawakan dialogku di dalam kelas selama beberapa hari berikutnya. Aku tidak sungguh-sungguh berusaha menghafalkannya, dan sekali-sekali aku
membuat lelucon yang membuat semua tertawa, kecuali Jamie dan Miss Garber. Setelah latihan selesai aku langsung pulang untuk segera melupakannya, dan aku bahkan tidak peduli untuk membaca kembali naskahnya. Malah aku menceritakan kepada teman-temanku tentang kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan oleh Jamie dan bagaimana Miss Garber berhasil memaksaku ikut dalam drama ini.
Namun Jamie rupanya tidak berniat melepaskanku begitu saja. Tidak, ia membalasku di tempat yang paling menyakitkan, tepat melukai egoku.
Aku sedang pergi bersama Eric pada hari Sabtu malam setelah pertandingan kejuaraan football reguler di Beaufort, sekitar seminggu setelah latihan drama itu dimulai. Kami sedang berkumpul di tepian perairan di luar Cecil’s Diner, menikmati hushpuppy sambil melihat orang-orang lalu-lalang berkendaraan. Saat itulah aku melihat Jamie sedang berjalan di sepanjang jalan itu. Ia masih berada dalam jarak seratus meter, mengenakan sweter tuanya lagi, menoleh ke sana kemari sementara tangannya membawa Alkitab. Saat itu sudah pukul sembilan, yang berarti sudah larut baginya untuk keluar, dan yang lebih aneh lagi adalah melihatnya berada di bagian kota ini. Aku langsung berbalik memunggunginya dan menaikkan kerah jaketku, namun Margaret—yang biasanya telat mikir—ternyata cukup cerdas untuk tahu siapa yang sedang dicari Jamie.
“Landon, pacarmu datang.”
“Dia bukan pacarku,” sahutku. “Aku tidak punya pacar.”
“Tunanganmu, kalau begitu.”
Kurasa ia juga sempat berbicara dengan Sally.
“Aku belum bertunangan,” sahutku. “Sudah, ah.”
Aku menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Jamie telah melihatku, dan rupanya sudah. Ia sedang berjalan ke arah kami. Aku pura-pura tidak tahu.
“Nah, ia kemari,” ujar Margaret, yang lalu cekikikan.
“Aku tahu,” sahutku.
Dua puluh detik kemudian ia mengatakannya lagi.
“Ia masih menuju kemari.” Jamie memang sigap.
“Aku tahu,” desisku. Kalau bukan karena bentuk kakinya, Margaret bisa membuatmu gila, sama seperti yang dilakukan Jamie.
Aku menoleh ke belakang lagi. Kali ini Jamie tahu aku sudah melihatnya dan ia tersenyum serta melambai ke arahku. Aku membuang muka, dan tak lama setelah itu ia sudah berdiri persis di sebelahku.
“Halo, Landon,” sapanya, tanpa memedulikan wajah kesalku. “Halo, Eric, Margaret…” Ia menegur semua orang satu per satu. Semua menggumamkan “halo” sambil berusaha tidak melihat ke arah Alkitab-nya.
Eric sedang menggenggam sekaleng bir, dan ia menyembunyikannya ke belakang punggungnya agar Jamie tidak melihatnya. Jamie bahkan bisa membuat Eric merasa bersalah saat ia berada cukup dekat dengannya. Mereka dulu bertetangga, dan Eric pernah jadi tempat Jamie menumpahkan semua pendapatnya. Di belakangnya Eric menjuluki Jamie “si penyelamat”, yang jelas-jelas ia kaitkan dengan organisasi Bala Keselamatan—Salvation Army. “Jabatannya seharusnya Brigjen,” seloroh Eric. Tapi begitu Jamie berdiri persis di hadapannya, ceritanya langsung lain. Dalam benak Eric, Jamie memiliki hubungan khusus dengan Tuhan, dan ia tidak ingin menampilkan kesan yang kurang baik pada Jamie.
“Apa kabar, Eric? Aku jarang melihatmu belakangan ini.” Ia mengatakannya seakan masih sering berbicara dengan Eric.
Eric mengubah posisi berdirinya dan menunduk, dengan ekspresi yang memperlihatkan rasa bersalah.
“Ya, aku memang jarang ke gereja akhir-akhir ini,” sahutnya.
Jamie tersenyum ramah. “Kurasa itu tidak apa-apa, asal jangan jadi kebiasaan.”
“Tidak akan.”
Aku pernah mendengar tentang pengakuan dosa—yang dilakukan oleh umat Katolik dengan duduk di bilik bersekat dan mengungkapkan semua dosa mereka pada seorang pastor—dan seperti itulah Eric saat ia berada di dekat Jamie. Untuk sesaat aku merasa Eric akan memanggilnya dengan sebutan “ma’am”.
“Kau mau bir?” tanya Margaret. Kurasa ia sedang mencoba melucu, namun tidak ada yang tertawa.
Jamie mengangkat tangannya untuk menyentuh rambutnya. “Oh… tidak, tidak usah… tapi, terima kasih.”
Ia menatapku lekat-lekat dengan mata yang bersinar ramah, dan aku langsung tahu bahwa aku dalam kesulitan. Tadinya kukira Jamie akan memintaku berbicara empat mata atau semacamnya, yang sejujurnya kurasa akan lebih baik, namun ternyata bukan itu rencananya.
“Kau benar-benar tampil bagus dalam latihan minggu ini,” katanya padaku, “Aku tahu kau harus mengingat banyak dialog, tapi aku yakin kau akan segera menghafalnya. Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih karena mau menawarkan diri waktu itu. Kau memang pria sejati.”
“Trims,” sahutku, perutku mulai mulas. Aku mencoba untuk tetap bersikap tenang, tapi semua temanku sedang menatapku, tiba-tiba mempertanyakan apakah aku telah mengatakan yang sebenarnya pada mereka tentang Miss Garber yang memaksaku dan entah apa lagi.
“Teman-temanmu seharusnya bangga,” lanjut Jamie.
“Oh, tentu saja,” sahut Eric antusias. “Bangga sekali. Landon ini memang orang baik, sampai rela menawarkan diri.”
Gawat.
Jamie tersenyum pada Eric, kemudian berpaling kembali padaku, wajahnya riang seperti biasa. “Aku juga ingin mengatakan jika kau perlu bantuan, kau boleh datang kapan saja. Kita bisa duduk di teras seperti waktu itu dan berlatih dengan dialog-dialog yang kaurasa perlu.”
Aku melihat mulut Eric membentuk kata-kata “seperti waktu itu” ke arah Margaret. Situasinya semakin gawat. Perutku terasa semakin mual.
“Oke,” gumamku, sambil bertanya-tanya bagaimana aku bisa melepaskan diri dari semua ini. “Aku bisa menghafalnya di rumah.”
“Landon, kadang-kadang membantu lho jika ada teman berlatih,” usul Eric.
Sudah kubilang Eric suka menggodaku, meskipun ia sahabatku.
“Tidak usah, sungguh,” kataku pada Eric. “Aku akan menghafalnya sendiri.”
“Mungkin,” ujar Eric sambil tersenyum, “ada baiknya kalau kalian berdua latihan di depan anak-anak panti asuhan saat kalian sudah menguasainya dengan lebih baik. Semacam geladi resik, kan? Aku yakin mereka akan menikmatinya.”
Boleh dibilang kau bisa melihat cara otak Jamie bekerja begitu kata panti asuhan itu disebut. Semua tahu bahwa itu adalah obsesinya. “Menurutmu begitu?” tanya Jamie.
Eric mengangguk serius. “Aku yakin. Landon sebetulnya yang pertama kali punya ide itu, tapi aku tahu kalau aku seorang anak yatim piatu, aku akan menyukainya, meskipun itu cuma pertunjukan drama.”
“Aku juga,” timpal Margaret.
Saat mereka membicarakannya, satu-satunya yang terlintas dalam benakku adalah adegan dalam Julius Caesar saat Brutus menikam Caesar dari belakang. Kau juga, Eric?
“Jadi itu ide Landon?” tanya Jamie, sambil mengangkat alisnya. Jamie menatapku, dan aku langsung tahu bahwa ia sedang mempertimbangkan kebenarannya.
Namun Eric tidak berniat melepaskanku begitu saja. Setelah berhasil membuatku terpojok seperti ini, ia bisa menghabisiku dengan mudah. “Kau mau melakukannya, Landon?” tanya Jamie. “Memberikan hiburan pada anak-anak di panti asuhan itu, maksudku.”
Itu sesuatu yang sulit untuk ditolak, kan?
“Kurasa begitu,” kataku tak berdaya sambil memelototi sahabatku. Bila dilatih, Eric bisa jadi pemain catur yang hebat.
“Bagus, kalau begitu semuanya sependapat. Itu kalau kau setuju tentunya, Jamie.” Senyuman Eric begitu manis, sehingga cukup untuk memberi rasa manis pada separo RC Cola yang beredar di seluruh negeri.
“Ehm… oke, kurasa aku bisa membicarakannya dengan Miss Garber dan pimpinan panti asuhan. Jika mereka setuju, kurasa itu ide yang bagus sekali.”
Dan nyatanya, jelas terlihat bahwa Jamie sangat menyukai ide itu.
Sekak Mat.
Hari berikutnya, aku menghabiskan empat belas jam untuk menghafal dialogku, menyumpahi teman-temanku, dan mempertanyakan bagaimana hidupku bisa lepas kendali seperti ini. Tahun terakhirku di SMU jelas tidak akan seperti yang kubayangkan pada awalnya. Tapi kalau aku harus tampil di hadapan sekelompok anak yatim piatu, jelas aku tidak ingin kelihatan seperti orang tolol.
0 Comments:
Post a Comment