A Walk To Remember Baca Online Bab 3

BAB 3

SEBAGAI peraturan umum, anggota gereja Southern Baptists tidak berdansa. Namun di Beaufort, peraturan itu tidak secara ketat diterapkan. Pendeta sebelum Hegbert—jangan tanya padaku siapa namanya—memberikan semacam kelonggaran mengenai pesta dansa sekolah selama acara itu masih diawasi orangtua atau guru. Hal ini kemudian menjadi semacam tradisi. Sewaktu Hegbert menjadi pendeta,sudah terlambat untuk melakukan perubahan lagi. Bisa dibilang Jamie adalah satu-satunya yang belum pernah pergi ke pesta dansa sekolah, dan sejujurnya aku tidak tahu apakah Jamie bahkan tahu bagaimana caranya berdansa.
Harus kuakui bahwa aku juga sempat waswas mengenai pakaian yang akan dikenakannya, meskipun itu bukan sesuatu yang bisa kukatakan padanya. Kalau Jamie pergi ke gereja—mengikuti dorongan Hegbert—ia biasanya mengenakan sweter tua dan rok kotak-kotak yang selalu kami lihat di sekolah setiap hari, namun acara dansa homecoming seharusnya menjadi kesempatan yang istimewa. Hampir semua anak perempuan membeli gaun baru dan anak laki-laki mengenakan setelan jas, dan tahun ini kami akan mengundang fotografer untuk memotret kami. Aku tahu Jamie tidak akan membeli gaun baru karena ia bukan dari keluarga berada. Pendeta bukanlah profesi yang menghasilkan banyak uang, tapi mencari uang tentu saja bukan tujuan para pendeta. Sasaran mereka adalah mencapai sesuatu yang lebih luhur.
Namun aku juga tidak ingin Jamie mengenakan sesuatu yang biasa ia kenakan ke sekolah setiap hari. Bukan untuk aku pribadi sebetulnya—aku tidak sekejam itu kok—tapi lebih untuk menanggapi apa yang mungkin dikatakan orang lain. Aku tidak ingin orang-orang mengejeknya atau menertawakannya.
Berita baiknya, kalaupun ada berita baik, adalah Eric tidak terlalu mengejekku mengenai Jamie karena ia sendiri sedang sibuk memikirkan teman kencannya. Ia akan mengajak Margaret Hays, yang merupakan ketua pemandu sorak di sekolah kami. Margaret bukan termasuk gadis cerdas, tapi ia punya kelebihan dalam caranya sendiri. Kelebihan yang kumaksud adalah kakinya yang indah. Eric mengusulkan agar kami kencan berempat, namun aku menolak karena aku tidak mau mengambil risiko Eric meledek Jamie atau semacamnya. Eric memang teman yang baik, meskipun kadang-kadang suka jail, terutama setelah ia habis menenggak beberapa gelas bourbon.
Hari pesta dansa itu diselenggarakan ternyata amat menyibukkan bagiku. Aku melewatkan hampir seluruh sore itu dengan membantu menghias ruang olahraga, dan aku harus ke rumah Jamie sekitar setengah jam lebih awal karena ayahnya ingin berbicara denganku, meskipun aku tidak tahu untuk apa. Jamie telah menyampaikan pesan ayahnya padaku kemarin, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa aku merasa antusias menantikan pertemuan itu.
Kurasa Hegbert akan berbicara tentang godaan serta jalan iblis yang dapat membawa kita ke sana. Namun, kalau ia menyinggung soal perzinaan, aku yakin aku akan langsung pingsan tepat di hadapannya. Sepanjang hari aku berdoa dengan harapan agar menemukan cara untuk
mengelak pertemuan ini, namun aku tidak yakin Tuhan akan mengabulkan permohonanku ini, mengingat kelakuanku di masa lalu. Aku benar-benar cemas memikirkan apa yang bakal terjadi.
Setelah mandi aku mengenakan setelan jas terbaikku, mampir di toko bunga untuk mengambil korsase Jamie, kemudian menuju rumahnya. Ibuku telah mengizinkanku untuk memakai mobilnya, dan aku memarkirnya persis di jalan depan rumah Jamie. Malam belum tiba, karena itu suasananya masih terang saat aku sampai di sana, dan aku mulai melangkah menyusuri jalan setapak menuju pintu rumahnya. Aku mengetuk pintu dan menunggu sebentar, kemudian mengetuk lagi. Dari balik pintu aku mendengar Hegbert berseru, “Iya, sebentar.” Meskipun sebetulnya Hegbert tidak buru-buru melakukan itu.
Aku pasti berdiri di sana selama dua menit atau lebih, mengawasi pintu, lekuk-lekuknya, retak-retak kecil di kusen jendelanya. Di sampingku terlihat kursi-kursi yang diduduki Jamie dan aku beberapa hari yang lalu. Kursi yang dulu kududuki masih menghadap ke arah yang berlawanan. Tampaknya mereka belum duduk di sana dalam beberapa hari terakhir ini.
Akhirnya pintu itu perlahan-lahan terbuka. Cahaya yang berasal dari lampu di dalam rumah membuat wajah Hegbert tampak sedikit lebih gelap. Sinarnya membias memantul di rambutnya. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, Hegbert memang sudah tua. Tujuh puluh dua tahun menurut perhitunganku. Baru kali inilah aku melihatnya dari dekat, dan aku bisa melihat semua kerutan yang ada di wajahnya. Kulitnya memang transparan, malah lebih daripada yang kubayangkan.
“Halo, Pendeta,” sapaku, sambil berusaha mengusir kegelisahanku. “Aku kemari untuk mengajak Jamie ke pesta dansa homecoming.”
“Tentu saja,” ujarnya. “Tapi sebelumnya, aku ingin berbicara denganmu.”
“Baik, Sir, karena itulah aku datang lebih awal.”
“Masuklah.”
Di gereja Hegbert selalu berpakaian amat rapi, namun sekarang ia tampak seperti petani, dengan kaus dan overall. Ia mempersilakanku duduk di kursi kayu yang ia bawa dari dapur. “Maafkan aku karena tidak langsung membuka pintu. Aku sedang menyusun khotbah untuk besok,” ujarnya.
Aku duduk.
“Tak apa-apa, Sir.” Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya kau memang harus memanggilnya “Sir”. Pembawaannya membuat Hegbert layak menyandang sebutan itu.
“Oke, kalau begitu, sekarang coba ceritakan sesuatu mengenai dirimu.”
Aku merasa permintaannya cukup aneh, mengingat bahwa ia sudah mengenal aku dan keluargaku sejak lama. Selain itu, ia juga yang membaptisku, dan ia selalu melihatku di gereja setiap hari Minggu, sejak aku masih bayi.
“Well, Sir,” aku mulai bicara, tanpa tahu apa sesungguhnya yang akan kukatakan. “Aku menjadi ketua organisasi sekolah. Aku tidak tahu apakah Jamie sudah menceritakannya kepada Anda.”
Ia mengangguk. “Jamie sudah menceritakannya. Teruskan.”
“Dan… ehm, kuharap aku bisa masuk University of North Carolina musim gugur yang akan datang. Aku sudah menerima formulir pendaftarannya.”
Hegbert mengangguk lagi. “Masih ada lagi?”
Aku harus mengakui bahwa aku sudah kehabisan bahan setelah itu. Sebagian dari diriku ingin meraih sebatang pensil yang terletak di ujung meja dan mengimbangkannya di atas jariku, untuk memberikan peragaan selama tiga puluh detik padanya, namun Hegbert tidak termasuk orang yang akan menghargai hal semacam itu.
“Kurasa tidak ada lagi, Sir.”
“Apakah kau keberatan kalau aku mengajukan pertanyaan padamu?”
“Tidak, Sir.”
Ia menatapku sejenak, seakan sedang mempertimbangkannya kembali.
“Kenapa kau mengajak putriku ke pesta dansa?” tanya Hegbert akhirnya.
Aku tercengang, dan aku tahu ekspresiku menunjukkannya dengan jelas.
“Aku tidak mengerti maksud Anda, Sir.”
“Kau tidak merencanakan sesuatu untuk… mempermalukannya, kan?”
“Tidak, Sir,” sahutku cepat. Aku terkejut menanggapi tuduhan itu. “Sama sekali tidak. Aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku, dan aku mengajaknya. Sesederhana itu.”
“Kau tidak berencana untuk berbuat jail?”
“Tidak, Sir. Aku tidak punya niat untuk berbuat itu padanya…”
Tanya-jawab ini masih terus berlangsung selama beberapa menit—interogasinya mengenai tujuanku yang sebenarnya—tapi untungnya Jamie muncul, dan kami semua menoleh ke arah Jamie pada waktu yang bersamaan. Akhirnya Hegbert menyudahi percakapan itu, dan aku menghela napas lega. Jamie mengenakan rok biru dan blus putih yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Untungnya ia menyimpan sweternya di dalam lemari. Harus kuakui bahwa penampilannya tidak buruk, meskipun aku tahu bahwa penampilannya masih terlalu sederhana dibandingkan dengan gadis-gadis lain di pesta itu. Seperti biasa, rambutnya disanggul ke atas. Kupikir akan lebih baik jika ia membiarkan rambutnya tergerai, namun aku tidak akan mengatakan hal itu padanya. Jamie tampak seperti… ehm, Jamie tampak seperti biasanya, tapi setidaknya ia tidak berencana untuk membawa Alkitab-nya. Keterlaluan kiranya kalau itu sampai terjadi.
“Kau sedang menyiksa Landon, ya?” kata Jamie riang pada ayahnya.
“Kami cuma mengobrol,” kataku dengan cepat sebelum Hegbert sempat menanggapi. Entah mengapa aku merasa bahwa ia belum memberitahu Jamie orang seperti apa aku ini menurut penilaiannya, dan kurasa sekarang bukanlah waktu yang tepat.
“Mungkin kita sebaiknya berangkat sekarang,” ujar Jamie selang beberapa saat. Sepertinya ia merasakan ketegangan dalam ruangan itu. Jamie menghampiri ayahnya dan mencium pipinya. “Jangan bekerja sampai larut malam, ya?”
“Ya,” sahut Hegbert. Bahkan dengan aku berada di ruangan itu, aku dapat merasakan bahwa Hegbert sungguh-sungguh mencintai putrinya dan tidak segan untuk memperlihatkan perasaannya. Masalahnya adalah bagaimana perasaannya terhadapku.
Kami pamit, dan aku menyerahkan korsase pada Jamie saat berjalan menuju mobil, dan kukatakan padanya bahwa aku akan menunjukkan cara memasang korsase itu sesudah berada di dalam mobil. Aku membukakan pintu baginya, mengitari mobil dan melangkah masuk. Dalam waktu yang singkat, Jamie sudah menyematkan bunganya.
“Aku tidak setolol itu, tahu. Aku tahu bagaimana caranya memasang korsase.”
Aku menghidupkan mesin mobil dan langsung meluncur ke sekolah, sementara percakapanku dengan Hegbert tadi terlintas dalam benakku.
“Ayahku tidak terlalu menyukaimu,” ujarnya seakan dapat membaca isi pikiranku.
Aku mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
“Ia menganggapmu tidak bertanggung jawab.”
Aku mengangguk lagi.
“Ia juga tidak menyukai ayahmu.”
“Aku mengangguk sekali lagi.
“Dan keluargamu.”
Aku mengerti maksudnya.
“Kau tahu apa yang kupikirkan?” tanya Jamie tiba-tiba.
“Tidak juga.” Aku sudah merasa tertekan pada saat itu.
“Menurutku semua ini merupakan bagian dari rencana Tuhan. Menurutmu apa pesan yang hendak disampaikan-Nya?”
Wah, mulai lagi nih, kataku dalam hati.
Jika kau mau tahu yang sebenarnya, aku tidak yakin apakah malam itu bisa jadi lebih buruk lagi. Hampir semua temanku berusaha menjaga jarak, dan Jamie tidak punya banyak teman. Karena itu kami melewatkan hampir sepanjang waktu berdua. Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa kehadiranku bukanlah keharusan. Mereka sudah mengubah peraturan demi Carey yang tidak punya teman kencan, dan itu membuatku merasa semakin tidak keruan begitu mengetahuinya. Tapi karena apa yang sudah dikatakan ayah Jamie kepadaku, agak sulit bagiku sekarang untuk mengantarnya pulang lebih awal, bukan?
Lagi pula, kelihatannya Jamie menikmati pesta dansa ini, bahkan aku dapat melihatnya dengan jelas. Ia menyukai dekorasi yang kupasang, ia menyukai musiknya, ia menyukai segala yang berhubungan dengan pesta dansa itu. Ia terus mengatakan padaku betapa menyenangkan segalanya. Ia juga bertanya apakah aku kelak bersedia membantunya menghias gereja untuk salah satu acara pertemuan mereka. Aku cuma bisa bergumam bahwa ia bisa meneleponku untuk itu. Meskipun aku mengatakannya tanpa rasa antusias, Jamie tetap mengucapkan terima kasih atas perhatianku. Sejujurnya, aku merasa putus asa selama satu jam pertama, meskipun Jamie tampak tidak menyadarinya.
Jamie harus pulang sebelum pukul sebelas, satu jam sebelum pesta dansa itu berakhir, yang membuat situasinya menjadi lebih mudah bagiku untuk diatasi. Begitu musik mulai mengalun, kami turun ke lantai dansa, dan ternyata Jamie lumayan bisa berdansa, meskipun baru kali inilah ia berdansa.
Jamie mengikuti langkah-langkahku dengan cukup andal selama sekitar beberapa lagu. Setelah itu kami duduk dan mulai mengobrol. Tentu saja, Jamie melontarkan kata-kata seperti “iman” dan “kebahagiaan” bahkan “penebusan dosa”. Ia juga bercerita tentang membantu para anak yatim-piatu dan menolong makhluk-makhluk malang yang terluka di jalan, tapi nadanya begitu ceria, sehingga sulit rasanya untuk tetap merasa sedih.
Sebenarnya keadaanku tidak terlalu buruk pada awalnya, dan tidak seburuk bayanganku. Baru setelah Lew dan Angela muncul segalanya benar-benar mulai kacau.
Mereka datang beberapa menit setelah kami duduk. Lew mengenakan kaus konyolnya, sebungkus rokok Camel yang diselipkan di lipatan lengannya, dan memakai gel rambut hingga berkilat. Angela bergelayut pada Lew sejak awal, dan tidak diperlukan seorang jenius untuk tahu bahwa Angela sudah minum beberapa gelas minuman keras sebelum tiba di situ. Gaunnya benar-benar gemerlap—ibunya bekerja di salon dan selalu mengikuti perkembangan mode—dan aku melihat bahwa Angela telah memulai kebiasaan yang sedang tren di antara wanita muda waktu itu, yaitu mengunyah permen karet. Ia tampak giat sekali, nyaris seperti seekor sapi yang sedang memamah biak.
Si Lew menuang minuman beralkohol ke wadah minuman punch, sehingga beberapa orang mulai mabuk. Begitu para guru tahu, punch bercampur alkohol itu sudah hampir habis dan mata sebagian orang mulai berkabut.
Ketika Angela menenggak habis isi gelasnya yang kedua, aku tahu bahwa sebaiknya aku mengawasi gadis itu. Meskipun ia sudah memutuskan hubungan kami, aku tidak ingin sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi atas dirinya. Angela adalah gadis pertama yang pernah kucium secara french kiss.
Meskipun gigi kami berbenturan sangat keras ketika pertama kali kami berciuman, sampai mataku berkunang-kunang dan aku harus minum aspirin begitu sampai di rumah, aku tetap masih punya perasaan terhadapnya.
Jadi aku sedang duduk bersama Jamie, nyaris tidak mendengar saat ia menceritakan hikmah dari pendalaman Alkitab, sewaktu Lew memergokiku mengawasi Angela melalui sudut mataku. Dalam suatu gerakan cepat ia merangkul pinggang Angela dan menariknya ke arah meja kami, sambil memandangku dengan tatapan mengancam. Kau tentu mengerti apa yang kumaksud.
“Kau sedang memandangi gadisku?” gertaknya.
“Tidak.”
“Iya, memang,” ujar Angela, dalam nada yang tidak jelas. “Dari tadi ia memandangiku. Ini mantan pacarku, yang pernah kuceritakan padamu.”
Mata Lew menyipit, persis seperti yang biasa dilakukan Hegbert. Rupanya seperti itulah pengaruhku terhadap banyak orang.
“Jadi kau orangnya,” ujarnya sambil menyeringai.
Aku memang bukan tukang berkelahi. Sekali-kalinya aku terlibat dalam suatu perkelahian adalah ketika aku duduk di kelas tiga SD, aku langsung menangis bahkan sebelum lawanku memukul. Biasanya aku tidak menemui banyak kesulitan dalam menghindari konflik seperti ini karena sifatku yang cenderung pasif. Selain itu, tak seorang pun akan mencari gara-gara denganku di saat aku sedang bersama Eric. Tapi Eric sedang berada entah di mana bersama Margaret, mungkin sedang berduaan di satu tempat.
“Aku tidak memandanginya,” kataku akhirnya, “dan aku tidak tahu apa yang sudah ia katakan padamu, tapi aku tidak yakin itu betul.”
Mata Lew semakin menyipit. “Kau menyebut Angela tukang bohong?” bentaknya.
Ups.
Kurasa Lew sudah berniat memukulku saat itu juga, namun tiba-tiba Jamie muncul untuk menengahi situasi.
“Apakah aku mengenalmu?” tanya Jamie dalam nada ceria, sambil menatap langsung mata Lew. Kadang-kadang Jamie sepertinya tidak memperhatikan situasi yang sebenarnya terjadi di sekelilingnya. “Tunggu dulu—ya, aku tahu siapa kau. Kau bekerja di bengkel di pusat kota. Nama ayahmu Joe, dan nenekmu tinggal di Foster Road, dekat persimpangan rel kereta api.”
Wajah Lew tampak bingung, seakan ia sedang berusaha menyelesaikan permainan puzzle yang terdiri atas terlalu banyak kepingan.
“Dari mana kau tahu semua itu? Apakah ia juga menceritakan semua itu padamu?”
“Tidak,” sahut Jamie, “yang benar saja.” Ia tertawa sendiri. Hanya Jamie yang bisa melihat kelucuan di saat seperti ini. “Aku pernah melihat fotomu di rumah nenekmu. Aku sedang lewat, dan ia membutuhkan bantuan untuk membawa masuk belanjaannya. Fotomu dipajang di atas perapian.”
Lew menatap Jamie seakan melihat ada tangkai jagung yang tumbuh keluar dari telinganya.
Sementara itu Jamie mengipasi dirinya dengan tangan. “Kami sedang duduk untuk mengambil napas setelah berdansa tadi. Memang panas sekali, ya. Kalian mau bergabung dengan kami? Ada kursi kosong. Aku akan senang mendengar tentang keadaan nenekmu.”
Nadanya terkesan begitu ceria, sehingga Lew tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tidak seperti kami yang sudah terbiasa akan hal-hal seperti ini, Lew belum pernah berhadapan langsung dengan orang seperti Jamie. Untuk sesaat ia hanya diam terpaku, sambil mencoba memutuskan apakah akan menghajar cowok dengan teman kencan yang sudah pernah membantu neneknya ini. Kalau ini sudah terdengar membingungkan bagimu, bayangkan bagaimana efeknya terhadap otak si Lew yang sudah terpolusi bensin.
Akhirnya ia mengeluyur pergi tanpa menjawab, sambil membawa Angela bersamanya. Sepertinya Angela sudah lupa bagaimana semua ini berawal, akibat terlalu banyak minuman yang ditenggaknya. Jamie dan aku mengawasi kepergiannya, dan setelah mereka berada dalam jarak yang cukup jauh, aku mengembuskan napasku. Sebelumnya aku bahkan tidak menyadari bahwa selama ini aku menahan napasku.
“Terima kasih,” gumamku malu-malu, begitu menyadari bahwa Jamie—Jamie!—yang telah menyelamatkanku agar tidak dipukuli habis-habisan.
Jamie menatapku heran. “Untuk apa?” tanyanya, dan ketika aku tidak merinci secara khusus duduk perkaranya, ia langsung melanjutkan kembali uraiannya mengenai kelas pendalaman Alkitab itu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Namun kali ini aku mendengarkan ceritanya, setidaknya dengan satu telinga. Paling tidak itulah yang bisa kulakukan setelah ia menyelamatkanku.
Ternyata tadi bukanlah pertemuan kami yang terakhir dengan Lew maupun Angela untuk malam itu. Dua gelas punch yang diminum Angela tadi akhirnya membuatnya muntah di kamar kecil. Lew, yang cuma banyak lagak, segera pergi begitu mendengar suara muntah-muntahnya, dengan menyelinap keluar melalui jalan masuk yang dilaluinya tadi, dan setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Seperti sudah ditakdirkan, Jamie-lah yang menemukan Angela di kamar kecil, dan jelas keadaan Angela tidak begitu baik ketika itu. Satu-satunya pilihan adalah membersihkannya dan mengantarnya pulang sebelum guru-guru memergokinya. Mabuk merupakan pelanggaran serius ketika itu, dan Angela bisa diskors atau bahkan dikeluarkan, kalau sampai ketahuan.
Sama seperti aku, Jamie juga tidak ingin itu sampai terjadi, meskipun aku mungkin akan berpikiran lain kalau kautanyakan itu padaku sebelumnya, karena Angela masih di bawah umur dan melakukan pelanggaran hukum. Selain itu Angela juga telah melanggar salah satu norma perilaku ajaran Hegbert. Hegbert akan mengerutkan alisnya melihat pelanggaran hukum dan mabuk-mabukan. Meskipun itu belum separah perzinaan, kami semua tahu bahwa ia akan menganggap itu pelanggaran serius, dan kami yakin Jamie juga memiliki pandangan yang sama. Mungkin memang begitu, namun nalurinya untuk menolong ternyata lebih dominan. Mungkin saat melihat Angela, ia langsung teringat pada “makhluk malang yang terluka” atau semacamnya dan langsung turun tangan.
Aku pergi dan menemukan Eric di bawah bangku penonton di ruang olahraga, dan ia bersedia berjaga di dekat pintu kamar kecil sementara Jamie dan aku masuk untuk membersihkan di dalam. Angela memang luar biasa. Muntahannya tercecer di mana-mana, kecuali di dalam kloset. Di tembok, di lantai, di wastafel—bahkan di langit-langit, tapi jangan tanya padaku bagaimana ia melakukannya. Jadi aku berada di dalam kamar kecil, merangkak di lantai, membersihkan muntahan di pesta dansa homecoming dalam setelan jas biruku yang terbaik, situasi yang justru sebenarnya ingin kuhindari. Dan Jamie, teman kencanku, juga sedang merangkak, melakukan hal yang sama.
Aku nyaris bisa mendengar lengkingan suara tawa Carey yang menyebalkan di kejauhan.
Akhirnya kami keluar dengan menyelinap melalui pintu belakang ruang olahraga, sambil memastikan Angela tetap tegak dengan berjalan dipapah oleh kami di kedua sisinya. Ia terus bertanya di mana Lew, tapi Jamie mengatakan padanya agar tidak usah khawatir. Jamie memiliki kemampuan untuk menenangkan Angela saat berbicara dengannya, meskipun Angela sudah setengah sadar. Aku bahkan tidak yakin ia tahu siapa yang sedang berbicara padanya. Kami mendudukkan Angela di kursi belakang mobilku, dan langsung tak sadarkan diri di sana. Sialnya Angela masih sempat muntah sekali lagi di lantai mobil sebelum pingsan. Baunya begitu menyengat sehingga kami terpaksa membuka jendela mobil agar tidak mual, sementara perjalanan menuju rumah Angela jadi terasa ekstra lama. Ibunya membuka pintu, menatap putrinya sekilas, kemudian membawanya masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tidak ada ucapan terima kasih. Kurasa ia malu, dan selain itu tidak ada yang perlu kami sampaikan padanya. Situasinya sudah cukup jelas.
Sudah pukul 22.45 saat kami selesai mengantar Angela pulang, dan aku langsung meluncur ke rumah Jamie. Aku betul-betul cemas begitu sampai di sana karena penampilan dan bau Jamie yang tidak keruan, dan diam-diam aku berdoa semoga Hegbert sudah tidur. Aku tidak ingin terpaksa harus menjelaskan semua ini padanya. Oh, Hegbert mungkin mau mendengarkan Jamie kalau ia yang menjelaskan pada ayahnya, namun hati kecilku mengatakan bahwa Hegbert pasti akan menemukan cara untuk menyalahkanku.
Aku mengantar Jamie sampai ke depan pintu rumahnya, dan kami berdiri di luar di bawah penerangan lampu teras. Jamie bersedekap dan tersenyum, ekspresi wajahnya seakan menunjukkan bahwa ia baru pulang dari berjalan-jalan dan menikmati keindahan suasana malam.
“Kumohon jangan kauceritakan ini pada ayahmu,” kataku.
“Tidak akan,” sahutnya. Ia masih tersenyum dan akhirnya menoleh ke arahku. “Aku senang sekali malam ini. Terima kasih telah mengajakku ke pesta dansa itu.”
Jamie berdiri di hadapanku, berlumuran muntahan, dan mengucapkan terima kasih yang tulus padaku atas malam ini. Kadang-kadang Jamie Sullivan bisa membuat orang tidak habis pikir terhadapnya.

0 Comments:

Post a Comment